Postmodernisme dan Fragmentasi Narasi
Huyssen mengamati bahwa era postmodern ditandai dengan fragmentasi narasi besar dan pergeseran fokus ke "potongan-potongan kecil" budaya (Huyssen, 1986). Di media sosial, ini tercermin dalam tren konten seperti Instagram Stories atau TikTok Reels, yang hanya bertahan beberapa detik tetapi memiliki dampak besar. Potongan-potongan kecil ini menggambarkan bagaimana narasi personal maupun sosial direduksi menjadi fragmen-fragmen visual atau verbal yang dapat dikonsumsi dengan cepat. Hal ini berkontribusi pada hilangnya konteks dan kedalaman dalam narasi digital. Misalnya, seorang aktivis yang ingin menyampaikan pesan sosial harus menyesuaikan pesannya menjadi video berdurasi 15 detik agar relevan di TikTok. Akibatnya, pesan yang kompleks sering kali kehilangan dimensi kritisnya dan berubah menjadi slogan atau tagar yang mudah dibagikan tetapi sulit dipahami secara mendalam.
Komodifikasi Identitas Digital
Pembuatan konten di media sosial juga tidak terlepas dari komodifikasi identitas digital. Dalam budaya media sosial, identitas seseorang sering kali dikonstruksi melalui konten yang mereka buat atau bagikan. Identitas ini kemudian menjadi komoditas yang dapat dimonetisasi, baik melalui endorsement, sponsorship, atau kolaborasi dengan merek. Sebagai contoh, seorang influencer di Instagram membangun identitasnya melalui unggahan yang mencerminkan gaya hidup tertentu---mulai dari pilihan busana, destinasi liburan, hingga makanan yang dikonsumsi. Identitas tersebut kemudian diubah menjadi "brand personal" yang menarik sponsor. Namun, dalam proses ini, aspek autentik dari identitas kreator sering kali dikorbankan demi memenuhi ekspektasi pasar. Dari perspektif Huyssen, fenomena ini mencerminkan bagaimana kapitalisme tidak hanya mengeksploitasi kerja fisik, tetapi juga kerja kreatif dan emosional. Identitas digital, yang seharusnya menjadi ekspresi pribadi, akhirnya berubah menjadi alat komersial untuk menarik keuntungan.
Nostalgia Digital dan Memori Kolektif
Dalam beberapa tulisannya, Huyssen juga menyebutkan tentang bagaimana budaya massa sering kali menggunakan nostalgia sebagai alat untuk menarik perhatian dan membangun memori kolektif (Huyssen, 1986). Â Di media sosial, nostalgia menjadi elemen penting dalam produksi konten, terutama di platform seperti Instagram, yang penuh dengan filter vintage atau tren yang menghidupkan kembali estetika era tertentu. Namun, nostalgia digital ini sering kali bersifat dangkal. Ia tidak menawarkan refleksi mendalam terhadap masa lalu, melainkan hanya mengkomodifikasi elemen-elemen visual atau estetika untuk kepentingan pasar. Misalnya, tren menggunakan filter retro di Instagram sering kali mempromosikan "vibes" masa lalu tanpa benar-benar merenungkan konteks sosial atau sejarah dari estetika tersebut.
Tantangan dan Peluang
Meskipun pembuatan konten media sosial sering kali terjebak dalam logika kapitalisme dan algoritma, fenomena ini juga menawarkan peluang untuk kreativitas baru. Media sosial memungkinkan lebih banyak orang untuk menjadi kreator, membuka akses yang lebih luas bagi individu dari berbagai latar belakang untuk berbagi ide dan karya mereka. Namun, untuk mewujudkan potensi ini, kita perlu mempertanyakan kembali struktur yang mendasari media sosial, termasuk bagaimana algoritma bekerja dan siapa yang diuntungkan dari sistem ini. Perspektif kritis seperti yang ditawarkan Huyssen dapat membantu kita melihat bahwa media sosial bukanlah ruang yang netral. Ia adalah medan budaya yang penuh dengan kekuatan ekonomi, politik, dan ideologi yang membentuk bagaimana kreativitas diartikulasikan dan diterima.
Dalam perspektif Andreas Huyssen, media sosial dapat dipandang sebagai perwujudan baru dari budaya massa di era postmodern. Kreativitas yang awalnya merupakan ekspresi personal kini telah direduksi menjadi komoditas dalam ekosistem digital yang dikendalikan oleh algoritma dan logika kapitalisme. Akibatnya, narasi, identitas, dan memori dalam konten media sosial sering kali kehilangan dimensi kritisnya. Dengan merefleksikan kembali cara kita menggunakan media sosial, kita dapat mencoba membangun ruang digital yang lebih inklusif, autentik, dan mendalam di mana kreativitas bukan hanya menjadi alat untuk keuntungan, tetapi juga sarana untuk memahami dunia secara lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H