Mohon tunggu...
Jurnalis Cendekia
Jurnalis Cendekia Mohon Tunggu... Jurnalis - Aktivis-Ekonom-Penulis

Cogito Ergo Sum ; Aku berpikir maka aku ada.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Komodifikasi Kreatifitas: Fenomena Pembuatan Konten Media Sosial dalam Perspektif Kritis Andreas Huyssen

10 Desember 2024   16:43 Diperbarui: 10 Desember 2024   16:43 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ditulis Oleh: Wisnu Wardana

Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta

Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi ruang utama bagi individu untuk mengekspresikan kreativitas. Namun, fenomena ini tak lepas dari komodifikasi, di mana kreativitas berubah menjadi alat ekonomi yang dieksploitasi untuk mendapatkan perhatian, keuntungan finansial, dan status sosial. Dari perspektif kritis Andreas Huyssen, kita dapat memahami bahwa media sosial tidak hanya menjadi sarana ekspresi, tetapi juga mesin budaya massa yang memengaruhi cara masyarakat memproduksi dan mengonsumsi konten. Menurut datareportal.com pada tahun 2024, pengguna media sosial global telah mencapai 5,04 miliar orang atau sekitar 62,3% populasi dunia, dengan rata-rata pengguna menghabiskan 2 jam 23 menit per hari di media sosial.

Di Indonesia, durasi ini lebih tinggi, mencapai rata-rata 3 jam 11 menit per hari, menjadikan Indonesia salah satu negara dengan penggunaan media sosial terlama di dunia. Platform seperti TikTok dan Instagram mendominasi perhatian pengguna dengan rata-rata waktu penggunaan masing-masing 34 jam dan 28 jam per bulan. Selain itu, laporan terbaru dari statista.com tahun 2024, menunjukkan bahwa investasi dalam iklan digital, termasuk kolaborasi dengan pembuat konten atau influencer, meningkat hingga 17% pada 2023. Angka ini mencerminkan bahwa konten kreatif tidak lagi hanya dianggap sebagai hiburan tetapi juga alat pemasaran yang efektif. Dalam pandangan Huyssen, budaya massa cenderung menciptakan standar estetika yang homogen (Huyssen, 1986). Di media sosial, algoritma platform menentukan konten mana yang layak ditampilkan berdasarkan tingkat keterlibatan (engagement). Akibatnya, pembuat konten sering kali merasa tertekan untuk menghasilkan materi yang sesuai dengan tren populer, mengorbankan orisinalitas demi relevansi pasar. Sebagai contoh, banyak konten viral di TikTok mengadopsi format tertentu, seperti tantangan tarian atau tren suara, yang diatur oleh logika kapitalisme digital. Kreativitas individual menjadi terfragmentasi dan terstandarisasi, menghasilkan konten yang lebih berfokus pada daya tarik pasar daripada ekspresi diri otentik.

Komodifikasi ini membawa sejumlah dampak signifikan, baik positif maupun negatif. Di satu sisi, platform media sosial memberikan peluang bagi individu untuk monetisasi kreativitas mereka. Banyak kreator konten mampu menjadikan aktivitas online sebagai karier penuh waktu, menghasilkan pendapatan dari iklan, sponsor, atau penjualan produk. Namun, di sisi lain, ketergantungan pada media sosial untuk validasi sosial sering kali menciptakan tekanan psikologis. Kreator konten menghadapi tuntutan konstan untuk memproduksi materi yang menarik, yang dapat memengaruhi kesehatan mental mereka. Selain itu, masyarakat umum semakin terbiasa mengonsumsi konten dalam format yang cepat dan dangkal, melemahkan kapasitas mereka untuk menikmati karya kreatif yang mendalam. Untuk mengatasi tantangan ini, pembuat konten dan masyarakat perlu mengembangkan pendekatan kritis terhadap media sosial. Hal ini mencakup kesadaran akan algoritma dan cara platform mengarahkan perhatian pengguna, serta upaya untuk menciptakan konten yang mengutamakan nilai daripada sekadar popularitas.

Sebagai pengguna, penting untuk mendukung kreator yang menawarkan perspektif unik dan konten yang mendidik atau memotivasi. Dengan cara ini, kita dapat mendorong ekosistem digital yang lebih sehat, di mana kreativitas dihargai sebagai bentuk ekspresi manusia, bukan sekadar alat kapitalisme digital. Melalui lensa kritis Huyssen, pembuatan konten di media sosial dapat dipandang sebagai cerminan dinamika budaya massa dan estetika postmodern yang kompleks. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa di balik layar ponsel pintar, terdapat interaksi yang terus-menerus antara kreativitas, teknologi, dan kekuatan pasar. Dengan demikian, memahami dan menavigasi dinamika ini adalah kunci untuk memanfaatkan media sosial secara lebih bijaksana.

Kreativitas dalam Cengkeraman Kapitalisme Budaya

Huyssen dalam kajiannya tentang budaya massa dan postmodernitas mengkritik bagaimana kapitalisme mengubah seni dan kreativitas menjadi produk komersial (Huyssen, 1986). Dalam konteks media sosial, kreativitas tidak lagi dipandang sebagai ekspresi autentik, tetapi sebagai sarana untuk mencapai tujuan komersial. Seorang kreator konten tidak hanya menciptakan karya seni; mereka juga harus memahami algoritma, tren pasar, dan preferensi audiens agar karyanya "berhasil." Dengan kata lain, kreativitas yang sebelumnya bersifat personal kini diatur oleh logika kapitalisme yang mengutamakan keuntungan ekonomi. Fenomena ini jelas terlihat pada platform seperti Instagram dan TikTok, di mana estetika visual dan hiburan instan menjadi standar dominan. Misalnya, seorang fotografer yang dulu membuat karya seni untuk pameran kini terpaksa menyesuaikan estetika karyanya agar sesuai dengan algoritma Instagram. Hasilnya adalah homogenisasi konten di mana kreativitas cenderung diarahkan untuk mengikuti tren yang sama demi relevansi dan keterlihatan di platform.

Algoritma sebagai Kurator Estetika

Dalam analisisnya, Huyssen juga membahas bagaimana budaya massa di era modern memengaruhi preferensi estetika masyarakat (Huyssen, 1986). Di era digital, algoritma platform media sosial telah mengambil peran sebagai "kurator estetika." Konten yang diangkat ke permukaan oleh algoritma biasanya adalah yang paling mudah dicerna, cepat viral, dan menarik perhatian dalam waktu singkat. Akibatnya, kreator konten merasa terpaksa menyesuaikan karyanya dengan preferensi algoritma ini. Misalnya, TikTok memprioritaskan video yang memiliki durasi pendek dan engaging dalam tiga detik pertama. Ini mendorong kreator untuk fokus pada gimmick, efek visual, atau tren yang sedang viral, daripada mengeksplorasi ide-ide orisinal yang mungkin memerlukan waktu untuk dipahami. Algoritma tersebut menghilangkan ruang untuk konten yang berlapis dan reflektif, memaksa kreator untuk mereduksi kompleksitas karya mereka demi keterlihatan dan engagement.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun