Politik, Benda Mati Menggiurkan?
Bicara politik bicara tentang kepentingan, jabatan serta kekuasaan. Politik sangat identik dengan ketiga hal tersebut.Â
Politik itu sendiri masuk dalam segala lini kehidupan, bukan hanya di kalangan para politisi, partai-partai politik, lembaga negara atau pemerintahan saja. Akan tetapi, politik itu diterapkan dalam segala aspek yang berujung pada kepentingan seseorang maupun kelompok terhadap suatu hal. Politik merupakan suatu trik atau cara dimana pelakunya dapat mencapai apa yang ditargetkan atau diinginkan.
 Contoh  sederhana penerapan politik yang sering kita temui adalah ketika seorang pria tertarik kepada seorang wanita, pria tersebut akan melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian dan mendapatkan wanita yang diinginkannya, entah dengan mendekati orang tua, keluarga maupun kerabat dekat dari wanita tersebut hingga dia tidak perduli berapa banyak uang yang harus di keluarkan, berapa banyak waktu yang dia habiskan dan berapa banyak tenaga yang ia curahkan demi mendapatkan wanita tersebut. Dalam kondisi demikianlah politik itu dimainkan oleh pelakunya. Pada intinya, politik itu hanyalah benda mati, ia tidak akan bergerak jika tidak ada yang menggerakkannya. Politik hanya cara untuk mencapai kepentingan semata.
Contoh di atas hanya sebuah ilustrasi penulis karena melihat kenyataan yang ada terutama ketika mendekati pemilu baik pemilihan umum kepala daerah maupun presiden. Disaat itulah seluruh partai politik mengusung kader-kader terbaiknya, membangun koalisi dengan partai lainnya guna memenangkan pilkada atau pilpres. Semua rela berkorban waktu, uang dan tenaga karena harus melakukan kampanye kesana kemari untuk merebut hati dan suara rakyat. Kampanye ini sangat rentan terhadap pelanggaran kode etik yang berlaku, meskipun tidak semua pelaku politik menggunakan cara yang buruk hanya untuk memenangkan pemilu. Namun, sudah menjadi rahasia umum jika pemilu tiba akan ada banyak money politic dan black campaign dimana-mana, itulah yang kemudian merusak citra politik.
Hari ini, tidak dapat kita pungkiri bahwa citra perpolitikan di negeri ini sudah tercoreng nama baiknya, bukan hanya karena praktek money politic dan black campaign, hal tersebut juga diakibatkan karena banyaknya para pejabat negara yang tersandung kasus korupsi. Pejabat-pejabat yang tidak lain berasal dari partai-partai besar hingga partai yang baru seumur jagung. Mulai dari kasus suap pilkada, pencucian uang dan kasus-kasus lainnya sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita, bahkan tidak sedikit  dari masyarakat yang sudah enggan untuk perduli terhadap kondisi perpolitikan di Indonesia.
Melihat kondisi tersebut siapakah yang pantas untuk disalahkan? Jawabannya bukan politik, juga bukan partai politik namun tidak lain adalah pelaku politik itu sendiri. Keinginan untuk memperkaya diri sendiri maupun kelompok menjadikan mereka lupa kepada rakyat. Kemewahan yang diberikan oleh negara dirasa kurang cukup hingga akhirnya terjebak ke lubang yang salah. Lagi-lagi budaya? Ia benar, semacam terdapatÂ
budaya yang salah jika kita meneropong lebih dalam lagi permasalahan politik di negara ini. Budaya itu tidak dilegalkan namun merajalela. Budaya korupsi? Harus membunuh 7 generasi untuk membersihkan budaya tercela yang memasuki arena perpolitikan Indonesia. Membunuh generasi ini maksudnya adalah memberantas pelaku politik yang terjerat kasus korupsi dan membangun generasi bersih melalui pendidikan berkarakter yang menanamkan nilai-nilai nasionalisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H