Penerapan pariwisata halal di beberapa daerah di Indonesia cukup berkembang. Lombok, Sumatera Barat, dan Aceh merupakan 3 daerah yang sangat gencar untuk mengembangkan konsep wisata halal.
Di tahun politik ini, isu pariwisata halal kembali mencuat akibat salah satu peserta pemilu ingin mengembangkan konsep pariwisata halal di Bali. Destinasi paling favorit bagi wisatawan mancanegara dengan mayoritas penduduk bergama hindu dan budaya yg menjadi daya tarik utamanya.
Isu penerapan wisata halal di Bali ini bukan yang pertama kalinya. Pada tahun 2015 saat istilah wisata halal belum muncul, Bali direncanakan menjadi salah satu dari 13 daerah yang dinyatakan siap mengembangkan wisata syariah di Indonesia. Namun rencana ini menuai penolakan dari masyarakat Bali.
Pada intinya, wisata syariah dan wisata halal itu dasarnya sama, sama-sama berdasarkan ajaran Islam. Namun masyarakat umum lebih menerima istilah halal dibanding syariah karena terkesan identik dengan syariat dan hukum islam. Maka saat ini istilah wisata halal lah yang digunakan oleh kementrian pariwisata untuk membranding wisata bagi pasar Muslim.
Sebelumnya saya pernah menulis juga tentang pariwisata halal dengan judul "Wisata Halal, Islamisasi Pariwisata atau Komersialisasi Label Halal". Dalam tulisan itu saya sedikit banyak menjelaskan definisi, latar belakang dan konsep wisata halal.
Konsep wisata halal ini sudah diterapkan di beberapa daerah bahkan negara berkembang. Di Indonesia, Lombok merupakan daerah pertama yang ditetapkan sebagai destinasi dengan branding wisata halal oleh Kementrian Pariwisata. Konsep ini pun didukung penuh oleh pemerintah daerah dengan adanya peraturan gubernur dan peraturan daerah tentang Pariwisata Halal.
Peraturan ini menjadi yang pertama di Indonesia dan berkat totalitas pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan wisata halal ini, Lombok pun mendapatkan penghargaan sebagai destinasi wisata halal terbaik dari World Halal Tourism Award pada tahun 2015 dan 2016. Dengan branding wisata halal, bukan berarti Lombok hanya menerima wisatawan muslim.
Wisata yang seperti pada umumnya, namun hotel, restoran, dan jasa wisata lainnya dianjurkan untuk disertifikasi halal. Hal ini guna meyakinkan wisatawan muslim bahwa produk-produk wisata yg dikonsumsi wisatawan di Lombok terjamin halal. Begitu juga dianjurkan untuk menyediakan fasilitas yang dibutuhkan wisatawan Muslim seperti Musholla dan kebutuhan lainnya.
Walaupun seperti itu, tidak sedikit juga wisatawan dari negara-negara barat yang bukan termasuk pasar Muslim mengunjungi daerah ini. Selain Lombok, Kementrian pariwisata juga menetapkan 9 daerah lainnya sebagai destinasi wisata halal yaitu: Aceh, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.
Kesepuluh destinasi tersebut diberi pelatihan, dimonitoring, dan dievaluasi, yang ditujukan untuk bersaing dalam Global Muslim Traveler Index. Indonesia pun menempati peringkat kedua negara OKI (Organisasi Kerjasama Islam) dalam Global Muslim Travel Index (GMTI) 2018 yang peringkat pertama adalah Malaysia dan ketiga Uni Emirate Arab.
Negara berkembang lainnya yang juga tertarik untuk menarik wisatawan Muslim adalah Jepang. Negara Sakura ini sadar akan besarnya potensi pasar wisatawan Muslim namun belum sepenuhnya bisa menerapkan konsep halal.
Di Jepang lebih dikenal dengan sebutan Muslim-Friendly yang mana restoran dengan label ini tidak menjual daging babi dan alkohol. Ini bukan halal namun cukup menarik wisatawan Muslim, hal ini juga dikarenakan minimnya pengetahuan para pemangku kebijakan di negara ini terhadap konsep halal dalam Islam.
Ke depannya dipastikan negara ini benar-benar akan menerapkan konsep halal dalam beberapa gaya hidupnya khususnya di sektor pariwisata, apalagi tren pariwisata saat ini terus berkembang dan kepedulian wisatawan muslim terhadap produk halal meningkat.
Bagaimana jika wisata halal diterapkan di Bali?
Kemungkinan penerapan wisata halal di Bali sangat kecil, melihat mayoritas penduduknya beragama Hindu dan persepsi halal bagi mereka juga berbeda. Namun jika memang wisata halal ingin diterapkan di Bali, apakah bisa? Ya sangat bisa.
Wisata itu butuh segmentasi dan wisata halal merupakan salah satu upaya untuk segmentasi pasar tersebut. Kita bisa mengambil contoh Banyuwangi yang juga dalam dua tahun terakhir ini menerapkan konsep wisata halal. Kepala daerahnya mewajibkan para penyedia jasa wisata seperti hotel dan restoran bersertifikasi halal untuk produk makanannya dan harus menyediakan musholla.
Selain itu, salah satu pantai disana dijadikan pantai berkonsep halal dengan memisahkan tamu laki-laki dan perempuan. Jika tidak pun pantai-pantai disana diwajibkan untuk menyediakan Musholla. Hal ini bisa saja diterapkan di Bali tanpa mengurangi dan menghilangkan wisata-wisata yang sudah ada.
Jika pemerintah daerah Bali dan elemen masyarakat menyetujui sehingga menginginkan penerapan wisata halal disana, mereka bisa mencari tempat atau destinasi wisata yang sedikit peminatnya. Contoh saja satu pantai dan sekitarnya yang sangat sepi pengunjung mereka jadikan kawasan wisata halal. Dengan ini kawasan ini benar-benar diterapkan konsep wisata halal dari makanan yang bersertifikasi halal, penyediaan tempat shalat, hingga mungkin pemisahan antara tamu laki-laki dan perempuan.Â
Apakah akan menghilangkan wisata yang sebelumnya sudah ada? Sama sekali tidak. Justru Bali menambah segmentasi pasar mereka. Selain dikunjungi oleh wisatawan dari pasar-pasar yang sebelumnya sudah ada, Bali akan dikunjungi oleh wisatawan Muslim yang khawatir akan makanan tidak halal dan yang tidak sesuai agamanya saat mengunjungi Bali.
Kawasan wisata yang sebelumnya sepi bisa menjadi ramai, masyarakat sekitar mendapatkan dampak positifnya dari ekonomi dan Para penyedia jasa di Bali pun akan merekomendasikan tamu Muslim yang ingin berwisata dengan konsep halal di Bali ke kawasan ini. Maka dengan ini segmentasi pasar di Bali meluas dan menjangkau semua kalangan.
Perlukah wisata halal diterapkan di Bali?
Perlu atau tidaknya wisata halal di Bali, studi tentang penerapan konsep wisata halal harus dikaji lebih lanjut. Apakah memang diperlukan atau memang diinginkan untuk mengembangkan pasar yang lebih lagi terkait pariwisata di Bali. Namun kemungkinan ini sangatlah kecil mengingat banyak penolakan dan respon yang tidak positif dari masyarakat terhadap wisata halal ini.
Menurut Menteri Pariwisata Arief Yahya, Bali tidak perlu wisata halal karena positioning Bali sebagai pariwisata budaya berbasis Tri Hita Karana sudah sangat kuat. Walaupun tidak berkonsep wisata halal, setidaknya Bali harus tetaplah menyediakan jasa dan fasilitas wisata yang ramah bagi muslim dan wisatawan lainnya tanpa menghilangkan budaya aslinya yang sudah kuat.
Jadi apa yang diperlukan? Halal sama kamu biar bisa berwisata bareng ;)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H