Ormas) yang terlibat dalam pembangunan pagar laut ini dituding sebagai ormas bodong oleh sejumlah pihak.
Jakarta, 16 Januari 2025 – Baru-baru ini, sebuah kelompok yang mengklaim sebagai pemilik proyek pagar laut sepanjang 30 kilometer di Tangerang menarik perhatian publik. Kelompok tersebut menyebut bahwa proyek yang mereka bangun bertujuan untuk mitigasi tsunami dan abrasi di pesisir utara Pulau Jawa, khususnya di wilayah Tangerang. Namun, klaim tersebut segera menuai kontroversi setelah Organisasi Masyarakat (Klaim Mitigasi Tsunami dan Abrasi
Proyek pagar laut yang dibangun oleh kelompok yang mengaku bernama JRP (Jaringan Rakyat Peduli) tersebut awalnya dipublikasikan sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana alam, khususnya untuk melindungi pesisir Tangerang dari ancaman tsunami dan abrasi. Menurut kelompok tersebut, pagar laut ini dirancang untuk menjadi pelindung bagi warga yang tinggal di pesisir serta untuk mengurangi kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh gelombang tinggi atau pergeseran pantai akibat abrasi. Bila kondisi tanggul laut baik, maka area sekitar pagar bambu dan di sekitarnya dapat dimanfaatkan sebagai tambak ikan. Dan ini memberikan peluang ekonomi baru dan kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Tambak ikan di dekat tanggul juga dapat dikelola secara berkelanjutan untuk menjaga ekosistem tetap seimbang. Tanggul-tanggul ini dibangun oleh inisiatif masyarakat setempat yang peduli terhadap ancaman kerusakan lingkungan
Namun, banyak pihak meragukan klaim ini, terutama mengenai efektivitas dan tujuan asli dari proyek pagar laut tersebut. Sejumlah ahli lingkungan hidup menyatakan bahwa proyek besar semacam ini seharusnya melibatkan kajian dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang selama ini memiliki wewenang dalam proyek-proyek terkait mitigasi bencana alam dan pengelolaan pesisir. Selain itu klaim JRP itu bertentangan dengan nelayan lain di pesisir laut. Laporan warga yang resah juga menjadi titik awal pemerintah bergerak.
Tudingan Ormas Bodong
Kontroversi semakin berkembang setelah beberapa pihak menuduh bahwa kelompok yang mengklaim sebagai pemilik proyek pagar laut ini bukanlah organisasi yang sah atau terdaftar, melainkan organisasi masyarakat (ormas) bodong. Dalam laporan yang diterbitkan oleh CNN Indonesia, disebutkan bahwa JRP, yang mengaku memiliki hak atas proyek ini, belum dapat menunjukkan legalitas atau bukti otentik mengenai status organisasi mereka. Selain itu, sejumlah aktivis mengkritik proses pembangunan pagar laut yang dianggap tidak transparan dan tidak melibatkan konsultasi publik.
Tudingan ormas bodong ini memunculkan pertanyaan lebih lanjut tentang niat dan tujuan kelompok yang terlibat dalam proyek tersebut. Beberapa kalangan mencurigai adanya motif ekonomi yang tidak transparan di balik proyek ini. Dikhawatirkan, proyek pagar laut yang seharusnya menjadi solusi untuk masalah lingkungan malah menjadi alat untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Respons dari JRP
Menghadapi tudingan ini, pihak JRP memberikan klarifikasi bahwa mereka memang memiliki izin dan otoritas dalam menjalankan proyek pagar laut tersebut. Mereka menegaskan bahwa pembangunan pagar laut ini bukan hanya untuk mitigasi bencana, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Mereka juga berencana untuk menggelar pertemuan dengan pihak berwenang dan masyarakat untuk membahas lebih lanjut tentang proyek tersebut, guna memastikan bahwa tujuan mereka dapat dipahami dengan jelas oleh publik.
Namun, meskipun klaim tersebut sudah disampaikan, keraguan dari publik tetap ada. Sejumlah kalangan menilai bahwa kejelasan dan keterbukaan informasi tentang proyek ini sangat penting, baik untuk meyakinkan masyarakat tentang manfaatnya maupun untuk memastikan bahwa proyek ini tidak menyimpang dari tujuan utamanya.
Disegel KKP karena Keluhan Nelayan
Meski diklaim JRP dibangun secara swadaya oleh masyarakat, namun Kementerian Kelautan dan Perikanan menyegel pagar laut itu justru karena pengaduan nelayan yang merasa kesulitan mencari ikan. Apalagi pemagaran laut tersebut tidak memiliki izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). KKP juga menegaskan penyegelan pemagaran laut tersebut juga atas instruksi Presiden Prabowo Subianto serta arahan langsung dari Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono.
Jadi konflik terkait pembangunan pagar laut di Tangerang ini mencerminkan ketegangan antara nelayan yang mendukung proyek tersebut dan mereka yang menentangnya. Nelayan yang pro dengan JRP menganggap pagar laut sebagai solusi untuk melindungi pesisir dari ancaman tsunami dan abrasi, serta sebagai langkah untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Di sisi lain, nelayan yang tidak setuju dengan proyek ini meragukan klaim tersebut dan khawatir proyek ini justru merugikan mereka, baik dari segi ekosistem maupun akses mereka terhadap sumber daya laut. Perbedaan pandangan ini semakin kompleks dengan tudingan tentang legalitas JRP sebagai organisasi yang sah. Oleh karena itu, solusi terhadap masalah ini memerlukan dialog terbuka yang melibatkan semua pihak, termasuk masyarakat pesisir, ahli lingkungan, dan pemerintah, untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H