Oleh: Abdul Halim, Ph.D
(Dosen Prodi Pend. Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMKT)
umkt.ac.id, Samarinda - Dalam era kemajuan teknologi yang pesat, Indonesia menghadapi situasi krusial yang semakin diperumit oleh masifnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan penetrasi penggunanya di kalangan pelajar. Meskipun teknologi memberikan akses terbuka kepada beragam pengetahuan, ada realitas yang mengkhawatirkan. Dalam konteks ini, menurut data Kominfo, terungkap bahwa pengguna aktif internet di Indonesia telah mencapai 200 juta orang. Hal ini menegaskan bahwa teknologi internet sudah meresap dalam kehidupan sehari-hari semua orang di Indonesia. Meskipun demikian, paradoks muncul ketika melihat posisi Indonesia yang berada di peringkat 74 dari 79 negara dalam kemampuan literasi, dengan skor 371 menurut Program for International Student Assessment (PISA). Kesenjangan ini menyoroti ketidakseimbangan antara aksesibilitas teknologi yang meluas dan rendahnya keterampilan literasi siswa di Indonesia, menciptakan tantangan serius dalam menghadapi era AI dan teknologi canggih.
Kesenjangan kemampuan literasi ini semakin diperparah oleh masifnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan. Faktanya, kurangnya kesiapan dari sisi  tanpa adanya bimbingan. Guru sebagai pendidik ataupun sistem pendidikan seharusnya membuat teknologi kecerdasan buatan sebagai batu loncatan untuk mengembangkan Higher Order Thinking Skills (HOTS), namun kenyataan lapangan malah menunjukkan sebaliknya. Selanjutnya, terdapat indikasi bahwa sebagian guru di Indonesia mungkin belum sepenuhnya memahami perkembangan teknologi, dan kurangnya keterampilan teknologi di kalangan pendidik menghambat kemampuan mereka membimbing siswa secara efektif dalam mengantisipasi dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sementara siswa mungkin memiliki kemampuan dasar kognitif dalam belajar, namun masih terdapat kekurangan dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi seperti HOTS. Kesenjangan ini tidak hanya disebabkan oleh ketidakmampuan siswa memanfaatkan teknologi yang tersedia, tetapi juga karena kurangnya bimbingan dari guru yang mungkin kurang memahami teknologi informasi secara menyeluruh.
"Meskipun teknologi membantu, tetapi kemampuan analisis dan pemahaman siswa tetap kunci." Kata seorang guru.
"Saya ini sudah tua, sepertinya sudah tidak bisa lagi kalau harus belajar internet," ucap guru yang lain.
Kurangnya keterampilan teknologi di kalangan guru menjadi salah satu hambatan utama dalam mengatasi kesenjangan antara teknologi dan literasi di Indonesia. Guru, sebagai agen utama dalam membentuk karakter dan pengetahuan siswa, seharusnya memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan teknologi secara efektif ke dalam kurikulum mereka. Namun, keberadaan kesenjangan ini menciptakan pemisah antara generasi yang tumbuh bersama teknologi, terutama generasi Z yang lahir dan tumbuh dengan pengalaman teknologi yang canggih, dengan para pendidik yang masih terdiri dari generasi baby boomers, yang mungkin hanya memiliki pemahaman dasar terhadap perangkat gawai, dan hal ini menimbulkan kecemasan bagi mereka. Terlebih lagi, kemampuan mereka dalam menguasai teknologi terbaru mungkin belum sepenuhnya terwujud.
Masifnya penetrasi teknologi kecerdasan buatan di kalangan pelajar memberikan potensi besar untuk mengembangkan HOTS, namun hal ini belum dapat direalisasikan dengan optimal karena keterbatasan pemahaman dan keterampilan teknologi dari sebagian besar guru. Inisiatif untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan guru terkait teknologi menjadi langkah krusial dalam memastikan bahwa perkembangan teknologi, termasuk kecerdasan buatan, benar-benar menjadi alat yang efektif dalam membentuk keterampilan literasi dan berpikir tingkat tinggi siswa Indonesia. Pentingnya memahami teknologi sebagai lebih dari sekadar alat pembelajaran tercermin dalam peran pentingnya keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS) dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan. Dalam era di mana informasi dapat diakses dengan cepat dan mudah, kemampuan untuk mengembangkan HOTS menjadi sangat krusial. Guru yang 'melek teknologi' memiliki peran vital dalam memandu siswa untuk tidak hanya menerima informasi secara pasif, melainkan juga merangsang mereka untuk mengeksplorasi, menganalisis, dan menyintesis pengetahuan secara kreatif dan kritis.
Namun, keterbatasan guru terhadap teknologi terkini dapat menjadi penghambat dalam memaksimalkan potensi HOTS siswa dengan bantuan teknologi. Meskipun kecerdasan buatan (AI) memiliki potensi besar untuk memfasilitasi pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi melalui pengajaran yang personal dan adaptif, keterbatasan pemahaman dan keterampilan teknologi dari sebagian guru dapat menghambat implementasi penuhnya. Dengan guru yang belum sepenuhnya memahami atau menguasai teknologi terkini, potensi AI untuk memberikan pengalaman belajar yang memadai untuk mengembangkan HOTS mungkin tidak dapat dimaksimalkan sepenuhnya. Oleh karena itu, perlu ada upaya serius dalam meningkatkan pemahaman dan keterampilan guru terkait teknologi agar dapat memanfaatkan potensi AI secara optimal dalam mendukung pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa. Selain itu, peran guru dalam memberikan bimbingan yang komprehensif terhadap penggunaan teknologi di dalam kelas menjadi kunci. Bukan hanya mengajarkan cara menggunakan perangkat dan aplikasi, tetapi juga membimbing siswa untuk memahami implikasi etis, keamanan digital, dan kemampuan untuk memilah informasi yang relevan dari yang tidak relevan agar tidak mudah menjadi korban kabar hoax.
Perlu diakui bahwa tantangan ini tidak hanya berkaitan dengan guru sebagai individu, tetapi juga melibatkan perubahan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan. Kebijakan pengembangan profesional bagi guru, penyediaan infrastruktur teknologi yang memadai di sekolah, dan penyesuaian kurikulum untuk menggabungkan elemen-elemen teknologi menjadi langkah-langkah krusial untuk mengatasi kesenjangan ini. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa meskipun kebutuhan akan pengembangan profesionalisme guru dalam menghadapi kemajuan teknologi sangat penting, banyak guru yang belum mendapatkan kesempatan yang memadai dari pemerintah. Kondisi ini menciptakan ketidaksetaraan dalam akses guru terhadap peluang peningkatan keterampilan dan pengetahuan teknologi yang relevan. Seringkali, guru yang berinisiatif untuk mengembangkan diri mereka dalam bidang teknologi melakukannya atas dasar inisiatif pribadi, bukan sebagai bagian dari suatu program atau arahan sistematis dari pemerintah. Hal ini mengindikasikan adanya kekosongan dalam pengembangan profesionalisme guru secara menyeluruh di tingkat nasional. Dalam beberapa kasus, guru mungkin merasa terpinggirkan atau tidak didukung secara aktif dalam usaha mereka untuk menyelaraskan pengajaran dengan perkembangan teknologi.
Untuk mengatasi kesenjangan ini, sangat penting bagi para pembuat kebijakan, termasuk Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di tingkat pusat maupun daerah, untuk merancang dan melaksanakan program pengembangan guru yang berfokus pada integrasi teknologi secara efektif dalam dunia pendidikan. Mengingat dampak transformatif dari Kecerdasan Buatan (AI) di berbagai sektor profesional, guru perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar mereka mampu mengidentifikasi arah serta mengantisipasi perubahan yang terus berkembang dalam lanskap dunia pendidikan.
Mengambil inspirasi dari filosofi pendidikan John Dewey (1859-1952), seorang filsuf Pendidikan terkenal dari Amerika, bahwa sekolah harus berfungsi sebagai lembaga yang membentuk individu yang bijaksana, reflektif, dan kritis dalam memahami situasi. Penekanan Dewey pada prinsip demokrasi, partisipasi, dan interaksi sosial sesuai dengan kebutuhan saat ini, di mana para pendidik tidak hanya diharapkan untuk mengembangkan keterampilan teknologi, tetapi juga mendukung pembentukan keterampilan berpikir kritis pada siswanya. Dengan melibatkan siswa dalam interaksi sosial dan mendorong partisipasi aktif, pendidik dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pengembangan karakter, pemikiran reflektif, dan keterlibatan sosial yang positif. Guru harus memahami peran mereka sebagai fasilitator berpikir kritis. Di luar fungsi tradisionalnya dalam menyampaikan informasi, guru perlu mendorong keterlibatan aktif, penyelidikan, dan dialog di antara siswa. Integrasi teknologi ke dalam proses ini menjadi sangat penting, karena teknologi berperan sebagai alat untuk eksplorasi dan pembelajaran kolaboratif.