Mohon tunggu...
AHU Online
AHU Online Mohon Tunggu... -

Kanal Resmi Publikasi Humas Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ditjen AHU Siapkan Saksi Ahli Hadapi Uji Materi UU Jaminan Fidusia

3 Mei 2019   17:01 Diperbarui: 3 Mei 2019   20:55 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dirjen AHU Saat Membuka Konsiyering Jaminan Fidusia di Bogor (Foto : Dok. Ditjen AHU)

"Penyusunan atau penajaman dari keterangan ahli perlu dilakukan untuk bisa menjawab uji materi UU Jaminan Fidusia yang diajukan ke MK"

BOGOR -- Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI siap memberikan keterangan dengan menghadirkan saksi ahli terkait judicial review atau uji materi Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dirjen AHU Cahyo R Muzhar meminta kepada Direktorat Perdata khususnya Subdit Fidusia untuk bisa menyusun poin-poin argumentasi dan mendiskusikannya kepada saksi ahli untuk menghadapi sidang lanjutan di MK pada 13 Mei 2019 nanti.

"Penyusunan atau penajaman dari keterangan ahli perlu dilakukan untuk bisa menjawab uji materi UU Jaminan Fidusia yang diajukan ke MK," kata Cahyo saat membuka Konsinyering Koordinasi Stake Holder di Bidang Jaminan Fidusia, di Hotel Asana Grand Pangrango, Bogor, Jawa Barat, Kamis (2/5/2019).

Sementara itu, Direktur Perdata Daulat P Silitonga mengungkapkan Pasal 15 ayat 2 dan 3 yang diuji merupakan pokok utama manfaat hukum jaminan fidusia yang memberikan rasa keadilan bagi pemberi dan penerima fidusia. Konsekuensi apabila dihilangkannya kekuatan eksekutorial yang terdapat di Pasal 15 ayat 2 dan debitor cidera janji terdapat di Pasal 15 ayat 3 dapat menghilangkan manfaat pendaftaraan jaminan fidusia.

"Beberapa manfaat jaminan fidusia yang hilang seperti menekan risiko bisnis dalam keputusan pembiayaan, memberikan kepastian hukum dan mencegah terjadinya fidusia ulang terhadap benda jaminan dan memberikan proses yang mudah dan cepat jika terjadi wanprestasi," ujarnya.

Dia menjelaskan sampai saat ini masih banyak yang beranggapan bahwa sertifikat jaminan fidusia bagi kreditur bukan merupakan hak prioritas apabila debitur cidera janji, sementara untuk mengeksekusi atas kuasanya sendiri terhadap obyek jaminan fidusia harus sesuai dengan ketentuan Pasal 15 yang penyelesaiannya harus melalui gugatan di pengadilan.

"Saya melihat banyaknya kesalah pahaman ini yang akhirnya membawa permasalahan seharusnya merupakan ranah perdata, menjadi ranah konstitusi," ungkapnya.

Untuk diketahui, dua warga yang bernama Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo mengajukan uji materi ke MK terkait UU Jaminan Fidusia. Pemohon telah melakukan Perjanjian Pembiayaan Multiguna atas penyediaan dana pembelian satu unit mobil mewah Toyota Alphard V Model 2.4 A/T 2004. Sesuai perjanjian yang telah disepakati, Pemohon berkewajiban membayar utang kepada PT ASF senilai Rp222.696.000 dengan cicilan selama 35 bulan dengan terhitung sejak 18 November 2016. Selama 18 November 2016 -- 18 Juli 2017, pemohon telah membayarkan angsuran secara taat.

Namun, pada 10 November 2017, PT ASF mengirim perwakilan untuk mengambil kendaraan pemohon dengan dalil wanprestasi. Atas perlakuan tersebut Pemohon mengajukan surat pengaduan atas tindakan yang dilakukan perwakilan PT ASF. Namun tidak ditanggapi hingga pada beberapa perlakuan tidak menyenangkan selanjutnya.

Menerima perlakuan tersebut, pemohon berupaya mengambil langkah hukum dengan mengajukan perkara ke Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan pada 24 April 2018 dengan gugatan perbuatan melawan hukum dengan nomor registrasi perkara 345/PDT.G/2018/PN.jkt.Sel. Pengadilan mengabulkan gugatan pemohon dengan menyatakan PT ASF telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun pada 11 Januari 2018, PT ASF kembali melakukan penarikan paksa kendaraan pemohon dengan disaksikan pihak kepolisian.

Atas perlakuan paksa tersebut, pemohon menilai PT ASF telah berlindung di balik pasal yang diujikan pada perkara a quo. Padahal, tambah Suri Agung, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut berkedudukan lebih tinggi dari UU a quo. Dengan demikian, para pemohon pun berpendapat bahwa tidak ada alasan paksa yuridis apapun bagi pihak PT ASF untuk melakukan tindakan paksa termasuk atas dasar Pasal a quo.

Source

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun