Januari, 2017. Di sebuah pelabuhan besar bersandar sebuah “kapal besar”. Konon “kapal besar” itu milik seorang pembesar, tinggalnya di kota besar, yang sedang melakukan piknik ke kota yang selalu merasa besar.
Di sinilah cerita bermula. Orang besar itu kemudian singgah di kota “seolah-olah besar” itu, dan melakukan transaksi “besar-besaran”. Sebenarnya, niat awal hanya untuk piknik, mengunjungi tempat-tempat eksotik nan menyenangkan lalu menghamburkan uang besar, sebagai “oleh-oleh” dibawa pulang. Namun takdir dan kecerdikan mengubah segalanya. Orang besar itu berubah pikiran, secara pragmatis otaknya tiba-tiba berputar, sambil menatap kosong, ia tertawa rumit nan imut.
Kejadian demi kejadian pun terjadi. Di sela piknik itu, sang orang besar dipertemukan berbagai kemungkinan, meski bukan tanpa polemik menyertainya, ia sukses memaksakan untuk menyebut dirinya sukses merebut hati setiap orang. Singkat cerita, kapal besar miliknya itu pun dipakai menyampaikan ke setiap orang bahwa ia sanggup membawanya berlayar jauh ke dasar samudera. Membawanya pada pelayaran mulia serta janji sejahtera lahir batin. Alih-alih membeberkan itu ke setiap orang, sebagai jaminan hidup, ternyata di setengah perjalanan, kapal besar karam. Sang pembesar tetap tertawa rumit nan imut. Ia membatin sambil menatap matahari jatuh di setengah air mata perjalannanya. Ia beku. Lagi, sesekali ia tertawa rumit nan imut, dan sedikit gusar. Dari dalam kapal, ia melambaikan tangannya pada ratusan ribu “perahu” yang memainkan musik tanpa beban, yang sedari awal tak sekali pun menganggap kapal besar nan megah itu begitu penting!
Dua paragraf di atas adalah cerita tentang mimpi saya di sore yang didera hujan dan angin tanpa ampun. Ya, itu yang membangunkan saya, sore tadi. Saya sengaja menuliskannya di awal karena memiliki relevansi dengan topik pembicaraan selanjutnya, tentang perahu dan kapal besar yang konon telah berlayar – pelayaran unyu-unyu.
Lanjut. Pertama-tama saya ingin menjelaskan posisi saya sendiri di tengah hiruk pikuk orang membicarakan alumni UNM. Kedua, release yang mengikutkan nama saya lewat forum Perhimpunan Alumni Arus Bawah (PERAHU)tidak dimaknai sebagai ikatan alumni, IKA tandingan, atau apa pun namanya – saya tidak memposisikan diri sebagai ketua. Ketiga, saya ataupun PERAHU sudah menegaskan bahwa betapa tidak pentingnya keberadaan IKA UNM itu. Keempat, saya dan PERAHU, sedang bersuara sebagai akibat dari adanya suara yang seolah-olah menyuarakan kami. Kelima, setiap orang berhak menyuarakan dirinya, berhak menolak segala upaya yang membuatnya mute atau silence. Mereka berhak menolak segala bentuk politisasi pun komodifikasi terhadap dirinya. Oleh sebab itu, saya dan PERAHU, sedang berada pada poin kelima di atas.
Antara akhir tahun 2016 hingga menjelang 2017, IKA UNM (entah siapa pun di dalamnya, entah yang sah atau palsu) menjadi buah bibir baik non maupun alumni. Banyak spekalusi bermunculan. Banyak tokoh atau juru selamat nongol ke mimbar media. Semuanya membicarakan IKA UNM. Lalu apa semua itu? Mereka harus ribut satu sama lain. Apa sih sesungguhnya di dalam IKA itu hingga begitu seksi? Menggodakah? Apa faedahnya bagi alumni? Pertanyaan di atas sekali lagi tidak akan saya jawab seeksplisit di sini. Saya mau bercerita tentang pegalaman pribadi mengenai IKA UNM, dan perlunya emansipasi dan ekualitas.
Sudah terbilang hampir tujuh tahun, saya tidak lagi berstatus sebagai mahasiswa UNM. Artinya, sejak saat itu saya telah tercatat sebagai alumni. Selama waktu itu perkenalan saya dengan IKA UNM tidak lebih dari penanda (karena telah di yudisium dan menerima sertifikat kelulusan dari sekian IPK) bahwa saya bukan lagi mahasiswa di Almamater Orens yang bergedung megah itu. Juga, ini hal paling tidak terlupakan, setiap akan memasuki kampus UNM Parangtambung atau sekadar lewat, di depannya terdapat sebuah gedung yang bertuliskan IKA SAO PANRITA. Gedung yang sama sekali tidak sehebat dan sekait dengan namanya, sebab kalau anda masuk hanya akan bertemu serakan sampah atau kamar kecil yang menjijikkan. Sejak saat itu saya tidak pernah merasa terkait dengan ikatan-ikatan atau paguyuban yang mengaitkan orang satu dan lainnya. Pikiran lainnya, ohh, kita atau orang yang tak (dianggap) penting dalam ranah sosioekopolitik tidaklah perlu memikirkannya. Kamu belum sukses! Tidak pantas dalam barisan "enjel" (Enda jelas) itu. Selain itu, mungkin karena toilet dan bau kencing dalam gedung itu, telah menandakan adanya bau ketidakberesan dari pengelolaan Ikatan-ikatan itu. Begitulah keawaman saya terhadap bau-bau IKA.
Ada kesan kita (atau alumni lainnya) memang sengaja di liyan-kan – dipandang bagian dari bagian yang tak menjadi bagian. Kita sengaja di mute-kan oleh (meminjam Bahasa Jacques Ranciere) sensible distribution. Distribusi sensibel ini merupakan produk yang sengaja mepartisi alumni. Misalnya, kamu yang guru atau buruh cukup sampai di sini. Kamu yang dipelosok desa sana cukup menunggu akibat dari apa yang telah dikuasakan kepada pihak ini. Tidak perlu bagimu mengurusi hal ini, sebab ini urusan kelompok partisi lainnya – partisi kaum elit. Takdirmu ditentukan oleh kelompok otoritas pengetahuan, "orang cerdas", dan penuh niat baik untuk membangun polis (singgasana alumni). Seperti urusan hidup negara diserahkan sepenuhnya kepada partai politik yang "asbabun berdirinya", selalu mengalasankan rakyat.
Ini merupakan masalah besar yang dihadapi oleh alumni berhadapan dengan hasrat kuasa di atas nama dan kuantitasnya yang makin membengkak. Secara tak ataupun langsung, kerumunan kelompok tertentu tersebut, selalu mengabsenkan kuantitas alumni yang berserak hingga pinggiran. Dengan kalimat ampuh, "mereka harus diwakilkan/disuarakan lewat suatu kumpulan terorganisir " adalah pernyataan yang sekaligus meniadakan mereka dari "bagian". Mereka dibuatkan pakem: kapan boleh bersuara dan kapan tidak boleh. Kalimat (akan) "disuarakan" kemudian menjadi legitimasi yang pada akhirnya lupa kata "suara" itu sendiri. Bahkan, bisa jadi, melupakan namanya sendiri (IKATAN...) sebab yang tersisa hanyalah nama ketua. Seorang tuan yang dapat menggunakan kata alumni itu di mana-mana. Alumni menjadi komoditas. Barang yang dibeli lewat musyawarah/silatnas, selanjutnya dapat dipakai atau dijual murah di pasaran, asalkan bisa memuaskan sang tuan.
Can subaltern speak? Atau dapatkah semua alumni dari pelosok-pelosok jauh bersuara? Ya, kami bisa bersuara sendiri. Kami memiliki emansipasi sendiri, dan sesungguhnya telah ekual sejak kepedulian dan niat baik dipakai sekadar alat kuasa belaka. Sejak kami merasa memahami betapa tidak perlu dan pentingnya IKA UNM. Olehnya itu, kami tidak butuh diwakilkan atau direpresentasikan – alih-alih mengubah situasi. Pemapanan organisasi yang lahir dari rahim yang tidak kritis, representatif, hanyalah menguatkan rezim partisi dan membebalkan subjek (alumni) lainnya. Kami ingin menciptakan redistribution of sensible dari PERAHU kami masing-masing. Dari aneka cerita, kompleksitas masalah, serta perbedaan tantangan yang dihadapinya. PERAHU bukan satu, namun berserak di mana-mana. Satu perahu karam, tidak akan mengikutkan ratusan ribu lainnya, sebab sedari awal telah teremansipasi dan terdidik oleh mental ekualitasnya. Inilah yang membangunkan saya dari atas PERAHU sore tadi, sekaligus menyaksikan pelayaran yang unyu-unyu.
Palopo, 05 Januari 2017