Mohon tunggu...
Irfan Palippui
Irfan Palippui Mohon Tunggu... -

Irfan Palippui,biasaiyamo cika!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Membela" Tere Liye

2 Maret 2016   16:13 Diperbarui: 2 Maret 2016   16:35 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Indonesia itu merdeka, karena jasa-jasa tiada tara para pahlawan--yang sebagian besar diantara mereka adalah ulama-ulama besar, juga tokoh2 agama lain. Orang-orang religius, beragama. Apakah ada orang komunis, pemikir sosialis, aktivis HAM, pendukung liberal, yang pernah bertarung hidup mati melawan serdadu Belanda, Inggris atau Jepang? Silahkan cari.

Anak muda, bacalah sejarah bangsa ini dengan baik. Jangan terlalu terpesona dengan paham-paham luar, seolah itu keren sekali; sementara sejarah dan kearifan bangsa sendiri dilupakan."

(Polemik status I: Tere Liye)

Bung Tere, saya sebenarnya tidak ingin bati-bati (mencampuri) kamu! Atau terlalu mau mencampuri jasa-jasamu terhadap nasehat-nasehatmu, motivasimu, juga cerita-cerita cinta dalam novelmu-novelmu. Banyak orang menyenangimu karena kamu menjadi orang paling produktif beberapa tahun terakhir ini. Banyak fansmu! Dalam posisi ini saya salut padamu. Kamu dapat menyejukkan hati orang yang lagi galau, baper setelah membaca karyamu. Ya, paling tidak menjadi penghibur, obat setres di zaman sumpek ini. 

Kamu akhirnya membalas postingan atas keberatannya “fans-fansmu” dari status sebelumnya , yang tentunya status itu telah membuat keheboan di bumi sosmed. Baru saja kamu melakukan klarifikasi! Tetapi, segera dihapus kembali. Entah? Lalu saya memungutnya di kampung sebelah. Saya ingin berkomentar juga sebagaimana seorang pecinta kepada sang idola.

Di tempat lain, di status berbeda, kamu sekaligus mengklarifikasi kepada pengidola lainnya,  sebagaimana mau menjaga hubungan cinta yang telah lekat begitu lama. Kamu rupanya juga was-was ditinggal pergi, dan menulis dalam sajak “jangan”: Jangan menghukum masa depan dengan masa lalu/Karena kita selalu bisa memperbaiki situasi/Jangan menghukum kesempatan dengan penantian/Karena terkadang melepaskan sesuatu justeru memperoleh yang terbaik.../Jangan menghukum waktu terbaik dengan keterlambatan/Karena dalam urusan perasaan, tidak ada yang tahu kapan dan di mana tibanya/Dan jangan menghukum kebersamaan dengan kesendirian/Karena, aduhai, kita tidak memutuskan bersama hanya karena bosan sendiri/Pun jangan menghukum diri sendiri dengan pertanyaan2 orang lain/Karena kita tidak menjalani kehidupan orang lain/Dan orang lain tidak menjalani kehidupan kita

 Kamu memang jago memotivasi. Dalam baris yang kamu sebut "sajak" masih sangat terasa baunya. Kamu sangat paham tentang masa lalu dan masa depan. sangat. terlebih masa depan para pemujamu dan orang-orang di bangsamu. 

***  

Klarifikasi pertama Bung Tere, kamu menganggap bahwa seolah-olah saat ini kebanyakan telah melupakan peran ulama, tokoh2 agama lain sebagai pahlawan kemerdekaan.

 Bung Tere yang saya idolakan, statement ini memang sangat membabi buta. Saya mungkin tidak perlu menunjukkan lagi, bagaimana anak muda sekarang sangat menyayangi Gusdur atau menyayangi Romo Mangun, Soegija Pranata, sampai guru ngaji mereka. Bahkan, di papan jalan di daerah yang pernah saya datangi, selalu terpajang nama-nama beliau itu. Lalu, kamu meragukan keseimbangan atau kesenjangan sejarah? 

Keseimbangan macam apa? Keseimbangan terhadap tokoh pejuang republik yang nisannya saja sulit ditemukan, apalagi mau dijadikan nama jalan! Dominasi sejarah mana lagi yang dirimu sangsikan dan sanksikan! Di klarifikasimu kamu benar-benar menjadi pendendam dan berkata:  Saya simply hanya melakukan pola yang sama. Pola yang sama dilakukan oleh ORBA secara berkali-kali.

Di poin klarifikasimu, sang idolaku, kamu meminta orang mencari bikinan sejarah orde baru yang tumpah ruah itu, dengan menunjukkan posisi yang kebalik. padahal, rasa-rasanya, kita sudah terlalu kenyang dengan itu.

Lagi, kamu menutupnya begini: “Jangan terlalu terpesona dengan paham-paham luar, seolah itu keren sekali; sementara sejarah dan kearifan bangsa sendiri dilupakan.”

Seolah-olah yang dipelajari saat ini, tidak campur aduk satu sama lain. juga, dianggap “laknat”, tidak seimbang,  karena (mungkin) rerata dianggap belok kiri, dan menjadi wacana dominan. Bahaya! Seperti omongan sejarawan militer ala Orba.

Bung Tere, jangan merasa kita telah lupa diri, dan menganggap telah memakan habis paham luar itu. Paham luar segalanya! Bukan begitu,bung. Sebagai orang yang masih belajar, kita juga sedang belajar tentang diri, dan mungkin bisa menemukan diri lewat diri orang lain.

Padahal Bung Tere, sayang, ketika saya pikir dalam-dalam soal kabar tentang ajaran agama (monoteis) sekalipun itu, ternyata, juga impor. Paham-paham luar juga, paham yang telah kita jadikan sebagai bagian dari diri ini, dalam rangka menjadi Indonesia, Bung Tere. Dan, kita syukuri sumbangan dari luar itu, sebagaimana telah membantu mendedikasikan paradigmanya untuk dipake berjuang, dipake memerdekakan diri, om.

 Om Tere, sudahlah! mari belajar menjadi Indonesia secara bersama.

teruslah menjadi motivator, sebab anak muda seperti kami yang sering baper, sangat butuh hiburan darimu...

 

 

.

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun