Lagi, kamu menutupnya begini: “Jangan terlalu terpesona dengan paham-paham luar, seolah itu keren sekali; sementara sejarah dan kearifan bangsa sendiri dilupakan.”
Seolah-olah yang dipelajari saat ini, tidak campur aduk satu sama lain. juga, dianggap “laknat”, tidak seimbang, karena (mungkin) rerata dianggap belok kiri, dan menjadi wacana dominan. Bahaya! Seperti omongan sejarawan militer ala Orba.
Bung Tere, jangan merasa kita telah lupa diri, dan menganggap telah memakan habis paham luar itu. Paham luar segalanya! Bukan begitu,bung. Sebagai orang yang masih belajar, kita juga sedang belajar tentang diri, dan mungkin bisa menemukan diri lewat diri orang lain.
Padahal Bung Tere, sayang, ketika saya pikir dalam-dalam soal kabar tentang ajaran agama (monoteis) sekalipun itu, ternyata, juga impor. Paham-paham luar juga, paham yang telah kita jadikan sebagai bagian dari diri ini, dalam rangka menjadi Indonesia, Bung Tere. Dan, kita syukuri sumbangan dari luar itu, sebagaimana telah membantu mendedikasikan paradigmanya untuk dipake berjuang, dipake memerdekakan diri, om.
Om Tere, sudahlah! mari belajar menjadi Indonesia secara bersama.
teruslah menjadi motivator, sebab anak muda seperti kami yang sering baper, sangat butuh hiburan darimu...
.