Saya kembali ke kampung dan menemukan sang guru tidak membaca lagi sumbangan di masjid. Tetapi rajin membaca dan mengirimkan SMS romantis dan kecemasan yang merundung hatinya. Kecemasan pada masa lalu yang terenggut dan upaya masa muda yang sulit beradaptasi zaman. Mau atau tidak, pak guru pun memulih jalan yang tengah diderai badai senja. Poak guru tak lagi dengan kalimat-kalimat spiritualnya menyambut para donatur masjid. Dia dalam lingkaran puberitas, angka dua, angka yang ditandangnya sebagai angka kemenangan jalannya. Seperti dirinya dalam lingkaran gadis-gadis yang tidak bermain -main dengan buku mata pelajaran lagi di sekolah. Jempol tangannya disemai kalimat-kalimat berita cinta serta bagaimana menjadi seorang wanita yang tayang di iklan-iklan tv. Mereka membenci dan tak menyukai lagi naturalisme gadis desa. Mereka bergaul dengan guruku beserta remaja-remaja mode versi kampung.hasil adaptasi anak muda desa oleh refleksi realitas media-media. Mereka menjadi generasi yang jijik dengan kapur siri nenek dan merasa bangga pada gaya oplosan ...begaul dengan iklan-iklan di tv.
Kini, dari dua puluh dua oktober dua ribu sembilan kembali meretas jalan baru, kampung-kampung,desa-desa,pedalaman-pedalaman larut dalam bayang-bayang irasionalitas. Tanpa kehendak pikir tergerak-gerak menyembah tubuh-tubuh dan gaya pikir tuan-tuan modal. Menyimpang dalil kebermaknaan kultural. Isu keterbelakangan membawa serta dongeng-dongen kampung meninggalkan lembah-lembah, sungai-sungai. Tak ketinggalan dalam negosiasi dan penyembahan pada kalimat-kalimat fiktif kemajuan. Menelisik dalam episode keterjajahan baru.
Baik si kerbau,si buaya dan si cicak tidak ingin ketinggalan pada episode reproduksi serta globalisasi pesanan dari Amrik, hingga pinggir kali.ikutmelesat ke dalam lembah-lembah baru yang tak kunjung usai...!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H