Mohon tunggu...
Rio Estetika
Rio Estetika Mohon Tunggu... Freelancer - Dengan menulis maka aku Ada

Freelancer, Teacher, Content Writer. Instagram @rioestetika

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Refleksi Cinta Tanah Air di Zaman Tanpa Batas

30 November 2024   18:34 Diperbarui: 30 November 2024   18:34 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dokumen pribadi

Tulisan kali ini merupakan essai puisi dalam merefleksikan peringatan hari sumpah pemuda. Nah, pada momentum tersebut saya mencoba mereview pusiai karya Denny JA yang berjudul "Nasionalisme di Era Algoritma", yang kemudian saya ikut sertakan dalam event lomba pada @krator.era_ai dan tidak mendapatkan juara. Supaya tidak mubazir, maka essai tersebut saya sematkan di kompasiana. Selamat membaca.

Di akhir tulisan, saya sematkan karya puisi dari Denny JA

Nasionalisme senantiasa bergema kencang ketika momentum peringatan Sumpah Pemuda. Hal tersebut sangatlah wajar, mengingat peristiwa besar Sumpah Pemuda beserta yang terlibat didalamnya. Peneguhan identitas bangsa oleh para pemuda kala itu telah menyulut api semangat untuk lahirnya sebuah bangsa menjadi satu kesatuan negara yang utuh dan berdaulat. Maka, sebuah keniscayaan jika momen Sumpah Pemuda hingga kini tetap terus digelorakan guna merawat nasionalisme. Puisi "Nasionalisme di Era Algoritma" karya Denny JA menarik untuk dibaca, diresapi dan dikaji sebagai salah satu bentuk merawat cinta kepada tanah air.

Berangkat dari judul "Nasionalisme di Era Algoritma" secara tersirat menggambarkan sebuah realitas adanya nilai-nilai lama, misal nasionalisme yang bertumbukan dengan konsep/nilai dunia baru, yaitu digitalisasi. Frasa judul tersebut menarik pembaca untuk membangun sebuah paradigma, bagaimana nilai atau konsepsi tradisional seperti cinta tanah air dan nasionalisme dapat berfungsi pada era alogaritma dan globalisasi beserta paparan dampaknya. Puisi Denny JA ini, menokohkan seorang pemuda bernama Darma yang melakukan kontemplasi dan perenungan atas sebuah realitas  bahwa manusia semakin dalam tenggelam di dunia digital dan nasionalisme semakin mengkhawatirkan di tengah derasnya digitalisasi dan globalisasi yang melipat batas ruang dan waktu. Lalu muncul pertanyaan, "Apakah artinya cinta tanah air, di zaman tanpa batas ini?

Tema besar puisi "Nasionalisme di Era Algoritma" , yaitu nasionalisme yang masih ada dalam diri manusia, meskipun teknologi dan digitalisasi semakin mengaburkan batas-batas budaya dan geografis. Perantara pemuda bernama Darta, Denny JA menggaungkan kegelisahan kaum muda yang terhimpit antara dua realitas dunia -sisi pertama terikat oleh batas-batas nilai/norma tradisional, sementara yang lainnya bebas terbuka tanpa batas dalam ranah digital. Puisi Denny JA tersebut tengah mengartikulasikan bahwa meskipun kehidupan semakin global dengan digitalisasi yang massif, cinta tanah air dan nasionalisme tetap menjadi ikatan mendalam dalam hati dan abadi. Puisi ini menggaris bawahi bahwa nasionalisme bukan terbatas pada fisik, wilayah tetapi merupak perasaan mengakar pada jiwa dan terus bergelora meskipun di tengah gempuran alogaritma.

Struktur bahasa dalam puisi memiliki narasi yang mengisahkan perjalanan batin Darta, lalu puisi juga diselingi bait-bait reflektif yang mempertanyakan kembali makna cinta tanah air di era digitalisasi. Kemudian bahasa puisi ini banyak mengandung metafora untuk menunjukkan batapa banyaknya generasi muda gamang dalam menghadapi realitas antara dunia nyata dengan dunia maya.

  • Metafora "Negara adalah peta yang kabur di ujung jari", menggambarkan bagaimana dunia modern bekerja tidak lagi mengenal sekat-sekat maupun batas ruang dan waktu. Dunia terasa berada di ujung jari melalui pengoperasian perangkat digital, informasi belahan dunia lainnya dapat diketahui. Peta negara yang dahulu menampilkan batas-batas teritorial menjadi kabur dan tak nampak pasti karena akses internet dan dunia maya menjadikan dunia terasa kecil dan terbuka tanpa sekat. Seseorang bisa berkomunikasi lintas negara tanpa perlu menyadari batas-batas geografisnya.
  • Repetisi pada beberapa kata, seperti tanah air, algoritma dan identitas, memberikan pemaknaan yang berkesan bahwa tanah air merupakan identitas yang tak dapat digantikan oleh apapun . Meski era algoritma dan digitalisasi hadir dengan menawarkan kecanggihan, tanah air sebagai suatu identitas tetaplah melekat erat dalam hati, jiwa, dan raga.
  • Simbilisme "embun pada daun yang enggan jatuh" menggambarkan bahwa cinta tanah air akan tetap tegak dan kokoh, walaupu zaman terus berubah. Sebagaimana embun yang tampak ringkih dan remeh, cinta tanah air akan selalu menjadi identitas yang tak akan pernah terhapus.

Danny JA memantik pembaca untuk ikut serta dalam penelusuran batin seorang pemuda bernama Darta yang hidup di dunia keterbukaan. Pembaca dibawa seolah menjadi Darta yang mempertanyakan eksistensi batas negara dan cinta tanah air pada dunia yang semakin mendekati konsepsi tanpa batas dan sekat. Algoritma, tumpahan informasi, dan globalisasi yang riuh menjadi satu sehingga begitu rumit membedakan antara realitas dan khayal. Namun, berbeda halnya dengan cinta tanah air yang merupakan rasa yang telah melekat semenjak kelahiran bagai nada dasar yang selalu bergema pada tiap nadi yang tak mungkin dihapuskan.

Perenungan Sumpah Pemuda tahun 1928, leluhur Darta dan pemuda lainnya mengikrarkan janji untuk bersatu. Melalui puisinya, Denny JA secara halus mengingatkan dan memberikan memori kepada kita bahwa ikrar pemuda kala itu bukan sekedar catatan sejarah yang berlalu begitu saja, tetapi sesuatu yang terus hidup dalam hati lintas generasi. Sumpah dan janji tersebut menjadi "akar yang menembus dalam" mengikat relung hati. Meskipun Darta dan pemuda masa kini akrab dengan "bahasa algoritma" beserta turunannya dalam menjalani keseharian hidup, hati mereka senantiasa "bernada Indonesia". Hal tersebut merupakan pesan dan pembelajaran bahwa meskipun dominasi era digital dengan cara baru dalam komunikasi, bahasa Indonesia tetap menjadi bagian penting dalam merawat identitas dan cinta tanah air.

Kemudian, Denny JA melaui puisinya memandang bahwa nasionalisme masa kini mungkin tidak lagi berwujud dalam perjuangan fisik atau pembelaan pada batas negara secara realisis. Nasionalisme masa kini lebih menekankan sejauh mana rasa cinta dan ikatan batin yang mengakar pada sejarah, budaya, serta identitas. Dalam situasi dunia hampir tanpa sekat ini, nasionalisme menjadi lebih fleksibel dan cair . Seperti akar yang tersembunyi namun tetap kuat menopang beban kehidupan pepohonan. Bertemali dengan hal tersebut, maka penting untuk menegaskan identitas di era global ini. Walaupun hampir semua dapat diakses secara bebas dan universal, ada segala sesuatu yang unik dan tak terganti yang hanya dapat dijumpai dalam "rumah" bernama Indonesia, yaitu nasionalisme berupa cinta yang selalu memberikan rumah dan arah untuk pulang.

Menjadi kesimpulan, bahwa nasionalisme di tengah gempuran bahasa algoritma justru berevolusi menjadi sesuatu yang lebih personal dan ikatan yang tak mudah tergantikan. Meskipun zaman berubah, identitas sebagai bangsa Indonesia akan selalu hidup dalam relung hati paling dalam, memberikan kesadaran kembali pada akar budaya dan sejarah sebagai pijakan hidup berbangsa dan bernegara dalam satu kesatuan.

NASIONALISME DI ERA ALGORITMA

 

Denny JA

(Di tahun 2024, sambil memainkan aplikasi kecerdasan buatan, anak muda itu merenungkan nasionalisme)

-000-


Di balik layar ponselnya, ia bertanya:

Apakah arti tanah air, di zaman tanpa batas ini?

Negara adalah peta yang kabur di ujung jari,

batas-batasnya larut dalam pixel dan kode.

Tapi, di antara getar algoritma dan sinyal digital,

datang bisikan dari jauh, dari tahun 1928.

Sejarah bersimpuh di hadapannya.

Di langit, nampak leluhur menggali akar,

menyatukan suku, bahasa, dan agama.

Dari Sumatra hingga Papua, sumpah pun diikrarkan.

Satu bahasa, satu tanah air, satu bangsa: Indonesia.

Mereka memahat impian dari luka dan air mata,

menjahit setiap perbedaan dalam simpul kuat.

Mantra itu menjadi akar yang menembus dalam, meneguhkan tanah air yang belum bernama, namun menyala dalam jiwa.

Ia, Darta, hidup di era digital yang tanpa batas.

Ia melihat dunia berbaur menjadi satu,

di antara pixel, kode, dan bising algoritma. (1)

Dalam riuh suara global yang tumpang tindih,

tanah airnya bagai nada dasar yang terus bergema,

nada yang tak terhapus.

Darta juga terheran:

"Di jantung algoritma yang tanpa rimba,

mengapa cintaku pada tanah air tetap berakar,

seperti embun pada daun yang enggan jatuh,

meski musim berganti dan waktu tak mengijinkannya."

Dunia digital mencairkan batas negara,

tapi tanah air bukan sekadar garis di peta;

ia ikatan yang merasuk jiwa,

melekat erat di setiap rasa.

Bahasa digital meleburkan segala suara,

tapi bahasa nasional bukan sekadar kata;

ia gema dalam dada,

jejak identitas yang kita bawa.

Di hatinya, tumbuh warna tanah yang tak tergantikan,

identitasnya berpadu dalam cinta yang tak kasat mata,

menjadi akar yang tak tampak namun kuat.

Sekarang, ia bicara dengan bahasa algoritma,

namun hatinya tetap bernada Indonesia.

Informasi memang tak mengenal batas.

Sinyal mengaburkan jarak.

Tapi cinta tanah air tetap tumbuh dalam senyap.

Sejarah memberinya memori.

Negara memberinya identitas.

Tanah air memberi rumah untuk pulang.***

Bali, 14 Oktober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun