Mohon tunggu...
Rio Estetika
Rio Estetika Mohon Tunggu... Freelancer - Dengan menulis maka aku Ada

Freelancer, Teacher, Content Writer. Instagram @rioestetika

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sisi Gelap Perguruan Muhammadiyah, Jalan Terjal Memberdayakan Dhuafa

25 Februari 2024   09:24 Diperbarui: 25 Februari 2024   09:32 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Literatur Al-Quran dalam menguraikan kisah kaum dhuafa (mustadh'afin) terbagi menjadi tiga kutub. Pertama, superioritas penindas (mustadh'ifin). Kedua, kelompok lemah dan tertindas (mustadha'afin). Ketiga, kekuatan pembebas dan pembela kaum tertindas, yang dipelopori oleh para Nabi dan utusan Allah Swt. 

Ini menunjukkan bahwa Islam berwatak subversif terhadap kekuasan disekitarnya. Karena memang demikianlah cita-cita Islam, mengubah tata nilai lama yang bobrok dan menindas dengan tata nilai baru yang humanis dan memihak kaum lemah. Al-Quran sendiri menjelaskan bahwa istilah mustadh'afin sendiri tidak hanya terbatas pada golongan orang yang lemah secara ekonomi saja, tetapi juga sosial, politik, maupun pendidikan.

Muhammadiyah dengan didorong teologi Al-Ma'un  (ajaran) pendiri gerakan ini yaitu KH. Ahmad Dahlan, telah memainkan peran kutub ketiga dalam pemberontakan sosial, yaitu membela dan membantu pihak-pihak yang ter-marjinalkan, mereka yang lemah, yatim, dhuafa (mustadh'afin). 

Melalui pendidikan, Muhammadiyah tidak hanya memberi melain berupaya melakukan pemberdayaan sosial. Mengupayakan agar seorang individu manusia dapat berdaya, baik intelektual, emosional, dan spiritualnya. 

Konsep pemberdayaan yang dilakukan adalah menempatkan individu bukan sebagai objek, melainkan sebagai subjek perubahan-transformasi yang menolong mereka sendiri. Maka, hingga saat ini jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah telah mencapai angka fantastis. Merujuk pada data dari Majlis Pendidikan PP Muhammadiyah, jumlah sekolah sebanyak 3.334 (jenjang SD sampai Perguruan Tinggi).

Namun, dari jumlah yang fantastis itu tidak serta merta seluruh sekolah Muhammadiyah mampu tampil apik dalam mengurai problem-problem dhuafa. Ada sekolah Muhammadiyah sangat elite dan mahal, yang hanya mampu diakses oleh kelas ekonomi menengah keatas. 

Ada pula sekolah Muhammadiyah untuk jalan saja harus terseok berjibaku dengan situasi tak menentu. Biasanya sekolah ini dapat diakses dengan biaya terjangkau, sehingga mereka (yang dhuafa) pun bisa turut mengaksesnya. 

Dua realitas tersebut menunjukkan bahwa dalam tubuh Muhammadiyah, ada ketimpangan yang curam diantara sekolah milik Muhammadiyah. Hal ini selain menjadi warna khazanah pendidikan di Muhammadiyah, juga menjadi problema dan sisi gelap perguruan Muhammadiyah. 

Bagaimana pendidikan Muhammadiyah dapat menaikkan kelas dan membebaskan dhuafa, jika masih ada sekolah Muhammadiyah tidak menampakkan kemajuannya. 

Pola pendidikan sepertia apa yang akan diberikan untuk memberdayakan dhuafa secara intelektual, emosional, dan spiritual. Bukankan sekolah seperti itu justru adalah dhuafa tipe baru? Tentunya, ini adalah pekerjaan rumah bagi Muhammadiyah keseluruhan yang harus segera dituntaskan. Mengingat lembaga pendidikan adalah salah satu sarana unggulan Muhammadiyah dalam merealisasikan tujuan dan cita-cita besar persyarikatan.

Sekolah Muhammadiyah Elite, Jangan Egois!

Sebagaimana telah menjadi rahasia umum dikalangan warga Muhammadiyah, bahwa sekolah-sekolah  Muhammadiyah tumbuh dan berkembang dari bawah, setapak demi setapak, hingga menjadi sekolah Muhammadiyah yang tampil elite dengan prestasi gemilang para guru dan siswanya. 

Sekolah Muhammadiyah seperti ini tentunya gagah dan gampang jika membantu untuk mengurusi anak-anak dhuafa. Namun, demikian tidak secara keseluruhan sekolah Muhammadiyah yang elit itu mau direpotkan dan konsen pada urusan kaum dhuafa dan marjinal. Sekolah Muhammadiyah elit telah berada pada zona stabil, dimana ada kecenderungan untuk terus menjaga kualitas dan kestabilannya.

Fakta di atas dibuktikan dengan biaya sekolah yang mahal serta prosesi penerimaan peserta didik dengan yang ketat menggunakan kriteria ini dan itu. 

Alasannya, demi mempertahankan kualitas input pendidikan. Apabila sekolah Muhammadiyah elit memiliki paradigma tersebut maka sungguh sangat egois sebagai bagian dari tubuh Muhammadiyah. Karena sudah barang tentu hanya kelas menengah ke atas saja yang dapat mengakses pendidikan berkualitas. 

Sedangkan, kaum dhuafa akan semakin terpinggirkan dan hanya mampu bersekolah di sekolah Muhammadiyah yang belum maju dengan layanan pendidikan seadanya dan asal jalan. 

Oleh karena itu, sekolah Muhammadiyah elit harus mau membagi praktik baiknya kepada lembaga dan sekolah Muhammadiyah yang belum maju. Agar sekolah yang belum maju itu memiliki daya dan upaya untuk turut serta mengurai problem-prolem dhuafa.

Sekolah Muhammadiyah elit yang sudah stabil tata kelola asetnya, haruslah menjadi pioner dan pelopor pemberdayaan dhuafa. Hal tersebut seminimal mungkin dapat dilkukan dengan membuka peluang beasiswa bagi anak-anak dhuafa tanpa harus disyaratkan dengan penguasaan jenis kemampuan tertentu. Karena selama ini, anak dhuafa yang pintar saja baru bisa mendapatkan akses beasiswa dan pendidikan. 

Lalu, bagi mereka anak dhuafa yang tidak terlalu pintar tetapi juga ingin mengenyam pendidikan agar supaya pintar kerap tidak mendapatkan kesempatan. Maka, sekolah Muhammadiyah elit perlu menghadirkan pendidikan alternatif bagi kaum dhuafa yang lemah intelektualnya agar sedikit demi sedikit mereka memiliki keterampilan hidup. Kalimat lainnya, prioritasnya adalah membesarkan yang kecil tanpa mengecilkan yang sudah besar.

Ekosistem Pendidikan Akar Rumput adalah Kunci

Ekosistem pendidikan perlu dibangun dalam gerakan Muhammadiyah di akar rumput. Kemajuan sekolah Muhammadiyah bergantung dari stakeholdernya untuk senantiasa terbuka, aruh dan weruh kepada pimpinan cabang maupun ranting Muhammadiyah. 

Bersama-sama menciptakan batas-batas nomenklatur yang disepakati bersama dan saling berkolaborasi untuk memajukan lembaga dengan mendayagunakan sumber daya yang ada secara maksimal dan dalam koridor adab maupun etika hukum yang berlaku.

Sekolah Muhammadiyah bergerak dari bawah (buttom up) sedikit demi sedikit membangun ekosistem positif, kerja sama, kolaborasi hingga akhirnya melejit bersama dalam kemajuan. Pimpinan cabang maupun ranting juga harus berkomunikasi dengan sekolah binaannya begitu juga sebaliknya. 

Pembentukan ekosistem pendidikan tersebut akan memperkuat imunitas lembaga pendidikan Muhammadiyah dalam upaya-upaya pemberdayaan kaum dhuafa. Karena akan terasa rumit memberdayakan murid dhuafa jika upah guru saja kerap dilabeli dengan iming-iming pahala, karena saking kecilnya gaji guru dan jauh dari standar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun