Mohon tunggu...
Rio Estetika
Rio Estetika Mohon Tunggu... Freelancer - Dengan menulis maka aku Ada

Freelancer, Teacher, Content Writer. Instagram @rioestetika

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lulusan sebagai Pencipta: Tawaran Idealis dan Tantangan Nyata

6 Februari 2024   21:37 Diperbarui: 6 Februari 2024   22:05 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dinamika pendidikan Indonesia hingga kini terus bergejolak dengan beragam temuan fakta dan realitas, yang terkadang sangat melenceng dari idealita pendidikan yang seharusnya. Mulai dari problem kesejahteraan guru yang hingga kini masih dalam perjuangan, sampai otak-atik pendekatan pembelajaran yang cocok untuk genaerasi masa sekarang. Namun demikian, adanya dinamika tersebut justru menjadi aura positif bagi progresstifitas pendidikan. Dinamika lainnya yang turut menjadi sorotan adalah persoalan output pendidikan atau lulusan.

Esai menarik tentang lulusan pendidikan yang diuraikan oleh Dartim, Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Surakarta yang terbit pada harian Solopos secara daring pada 27 Januari 2024. Pak Dartim, dalam esainya yang berjudul "Lulusan sebagai Pencipta" tersebut memberikan sudut pandang tentang kondisi ideal lulusan pendidikan itu harus memiliki karakter pencipta, yaitu memberikan warna-warna baru dalam mengurai problem-problem kehidupan serta menjadi pribadi yang memiliki nilai tambah (kebermanfaatan). Pada taraf pemenuhan kebutuhan dan hajat hidup, lulusan pendidikan harus mampu menciptakan produknya sendiri dan tidak menjadi konsumen semata.

Guna mewujudkan kondisi ideal di atas Pak Dartim memberikan satu pertimbangan gagasan tentang perubahan paradigma pendidikan. Menurutnya, pendidikan harus diarahkan pada kerangka epistemologi untuk bisa membuat, menciptakan, dan menghasilkan temuan baru (new invention). Seperti itulah seharusnya orientasi kurikulum yang diterapkan di dunia pendidikan. Kurikulum yang menghasilkan lulusan dengan karakter pencipta atau pembuat (creator). Selain itu, untuk mendukung semangat karakter pencipta ini, dunia pendidikan juga harus diorientasikan pada tumbuhnya kesadaran individu tentang pentingnya nilai tambah suatu produk atau nilai guna barang (baca: sumber daya). Pada saat yang sama, pendidikan mampu menambah nilai guna suatu barang (kemanfaatan) dalam menemukan alternatif solusi dari beragam persoalan kehidupan. Hasil akhirnya akan tercipta lulusan yang berkarakter, beradab, cerdas, serta terampil dalam mengamalkan ilmu tersebut di masyarakat. Tawaran gagasan Pak Dartim begitu idealis dan sarat akan sebuah upaya gigih dan perlu effort yang besar. Tidak ada yang salah dengan tawaran beliau, namun tetap harus mempertimbangkan realitas serta modal budaya yang ada.

Beberapa tahun belakangan ini lulusan pendidikan justru menjadi kelompok yang timpang dalam realitas masyarakat. Banyak diantara mereka yang bekerja tidak sejalan dengan bidang keilmuan ketika masa menempuh pendidikan. Ada lulusan S1 Pertanian malah justru bekerja sebagai tambal ban, lulusan S1 Hukum malah menjadi guru sekolah dasar, ada pula lulusan S1 Elektronika malah bekerja teller pada instansi perbankan, dan sebagainya. Ketidaksesuain profesi dengan bidang ilmu yang dikuasai merupakan satu diantara fakta pada lulusan pendidikan hingga kini. Sarjana pertanian yang seharusnya mampu memformulasikan cara baru dan metode pertanian agar swasembada pangan tercapai, justru puas dengan menjadi penambal ban. Si sarjana Eletronika yang harusnya mampu mengembangkan perangkat elektronik lebih canggih,justru malah sibuk bermuka manis dihadapan pelanggan bank. Masih untung mereka memiliki pekerjaan, karena banyak juga diantaranya yang menjadi pengangguran terdidik (terselubung), begitulah menurut Chudiel dalam bukunya "Sekolah Dibubarkan Saja!". Adanya kondisi tersebut, tidak berlebihan jika negara ini identik disebut sebagai negara konsumtif dan target pasar.

Melihat fakta di atas seolah pengetahuan dan ilmu yang dipelajari pada masa pendidikan (sekolah) tidak ada relevansinya sebagai solusi atas permasalahan hidup. Mengapa? Apa yang salah dengan sistem pendidikan negeri ini? Dan apa yang kurang dari sekolah-sekolah di negeri ini? Dunia pendidikan kerap mendapat catatan merah berkaitan dengan profil lulusan yang ideal. Setengah abad lebih usia negara ini, namun belum juga menunjukkan perubahan yang lebih baik utamanya berkaitan lulusan pendidikan. Hingga hari ini untuk pemenuhan kebutuhan pokok saja, negara ini perlu import padahal kita tahu betul betapa kayanya negeri ini.

Perbaikan pendidikan dengan harapan menghasilkan lulusan yang ideal tetap dilakukan. Hal ini terbukti dengan perombakan dan perubahan-perubahan kurikulum, terakhir Kurikulum Merdeka yang diklaim lebih humanis, berorientasi pada kebutuhan, literasi, numerasi, dan penguatan profil pelajar Pancasila. Namun, pada realitasnya kurikulum baru ini juga membuat kelabakan praksis pendidikan. Kurikulum Merdeka seolah bungsu dengan masih menjamurnya metode belajar gaya bank, sebagaimana diungkap oleh Alfian Bahri dalam bukunya berjudul "Yang Absen Dari Pendidikan Kita". Pembelajaran gaya bank yaitu guru adalah pemilik pengetahuan layaknya kekayaan pribadi. Sementara peserta didik dianggap belum berpengetahuan dan berkebutuhan untuk menerima pengetahuan. Hampir seluruh model pembelajaran di Indonesia seperti itu, menerima dan duplikasi. Buktinya, masih adanya jual-beli kiat sukses AKM, kisi-kisi soal ujian, kunci sukses SNMPTN, dan sebagainya.

Kembali pada tawaran Pak Dartim, bahwa perubahan paradigma pendidikan pada kerangka epistemologi, utamanya bagian kurikulum untuk menghasilkan output lulusan ideal perlu mempertimbangkan kekuatan dan modal sosial, budaya, dan psikologis. Mengapa demikian? Karena selama ini tata kelola pendidikan di Indonesia kerap mengekor dan silau pada kesuksesan pendidikan negara lain. Ketika melihat keberhasilan pendidikan Finlandia dengan literasinya maka pemangku kebijakan pendidikan serentak bersemangat menggemborkan literasi tanpa peduli bagaimana kesiapan psikologis, budaya, dan sarana prasarana tiap satuan pendidikan. Semua terus disemangati untuk terus maju menembus batas. Begitupun ketika melihat Jepang yang sukses dengan inovasi digitalisasi pendidikannya, maka pemangku kebijkan pendidikan juga menggebu untuk digitalisasi pendidikan, salah satu buktinya adalah lahirnya Platform Merdeka Mengajar (PMM) dan Assesment Nasional Berbasis Komputer (ANBK).

Pemangku kebijakan akan senang menyebutkan rapor pendidikan dengan presentase yang terus meningkat. Realitanya, untuk menjadi lulusan ideal bukan berdasarkan tampilan kuantitas, melainkan kualitas. Untuk mendapatkan kualitas yang baik tentunya juga harus melalui proses yang baik juga. Lulusan pendidikan terbaik adalah manusia yang menjalani proses dengan baik dan tidak terpisahkan dari rasa kemanusiaannya. Apabila proses tersebut terpisah dari rasa kemanusiaan, maka hasilnya adalah lulusan ciptaan pabrik "sekolah" yang ada sekarang. Mereka menjadi manusia yang berorientasi hanya pada ekonomi, materialis dan individualis. Ironi memang, tata kelola pendidikan justru makin menjauhkan manusia dari rasa kemanusiaannya dan bukan pendidikan yang membebaskan, namun tetap saja ditumbuh-suburkan.

Author: Rio Estetika (Guru SD Muhammadiyah 14 Surakarta)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun