Mohon tunggu...
Rio Estetika
Rio Estetika Mohon Tunggu... Freelancer - Dengan menulis maka aku Ada

Freelancer, Teacher, Content Writer. Instagram @rioestetika

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hiruk-Pikuk PPPK Dalam Lingkungan Perguruan Muhammadiyah

23 Desember 2023   09:25 Diperbarui: 23 Desember 2023   09:48 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dokumen pribadi

Melansir dari solopos.com (12/23/2023) Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah atau PDM Solo Joko Riyanto mengatakan para guru sekolah Muhammadiyah di Solo harus mengundurkan diri jika hendak mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja atau PPPK, hal itu disampaikan pada  Selasa (3/10/2023). Hal tersebut adalah salah satu bentuk integritas guru Muhammadiyah terlepas akan diterima sebagai PPPK atau tidak. Dia mengakui, upaya ini dilakukan agar Muhammadiyah memiliki kader yang istiqamah dan bisa mengembangkan potensinya secara optimal di bawah naungan mereka.

Fakta di lapangan, guru-guru Muhammadiyah yang mendaftar PPPK 2023 saat ini tidak serta merta mengundurkan diri. Nah, hal ini memantik penulis untuk sedikit mengulasnya. Mendalami regulasi di perguruan Muhammadiyah, berkaitan dengan pegawainya yang mendaftar PPPK maka seharusnya sebelum mendaftar, pihak yang bersangkutan harus mengundurkan diri. Namun demikian, regulasi tersebut tidak serta merta bisa diterapkan. Bagi sekolah-sekolah Muhammadiyah yang sudah mampu memberikakan kesejahteraan financial yang "layak dan profesional" tentunya kebijakan pada lini kepala sekolah dengan kuasanya akan mudah, dan para guru tidak akan tergiur dengan PPPK. Sehingga dalam perkembangannya pembentukan kader-kader Muhammadiyah yang tetap istiqomah akan lebih jauh dapat melenggang tanpa aral melintang yang berat.

Berbanding terbalik dengan sekolah-sekolah Muhammadiyah yang masih "kembang-kempis" tata kelolanya, dimana untuk memberikan kesejahteraan financial secara "layak dan profesional" saja harus menggadaikan kata-kata motivasi ke-ikhlasan dan pahala tiada tara. Tentunya kepala sekolah akan memberikan kelonggaran pada guru-guru yang mau mendaftar PPPK. Hal tersebut bukan tanpa sebab. Situasi lembaga yang belum mampu mensejahterakan guru, akan membuat kepala sekolah iba pada guru yang bersangkutan, mengingat prosesi PPPK juga memakan rentang waktu yang cukup panjang. Semisal guru yang bersangkutan dikeluarkan lantas ia tidak memiliki income lainnya, tentu hal tersebut bukankah akan menjadi sebuah bentuk kedzaliman tersendiri. Bukankah nilai ta'awun (tolong-menolong) merupakan prinsip yang dijunjung tinggi oleh Muhammadiyah. Pandangan penulis, pada titik itulah kepala sekolah mengalami dilema. Ikut serta merta menjalankan regulasi perguruan Muhammadiyah yang harus mengeluarkan guru pendaftar PPPK padahal ada tanggung jawab moral pada guru yang kesejahteraannya masih harus diperjuangkan.  Memang ketika guru bersangkutan keluar, sekolah dapat membuka rekrutmen guru baru dengan membuka lowongan untuk fresh graduate dan sebagainya. Sekolah Muhammadiyah yang kembang kempis itu,sadar atau tidak pastinya akan memainkan  siklus kinerja yang membutuhkan lobbying berkaitan dengan kesejahteran finansial  "layak dan profesional", yang kembali  harus ditawar dengan kata-kata "ikhlas beramal ibadah dan perjuangan".

Mencederai Muhammadiyah ?

Guru Muhammadiyah pendaftar PPPK dan Kepala sekolah yang tidak mengeluarkan guru tersebut, apakah dikatakan mencederai Muhammadiyah? Memang secara etika organisatoris hal tersebut merupakan bentuk ketidakpatuhan pada regulasi dalam sistem keguruan di Muhammadiyah.  Sebelum memberikan justifikasi "mencederai" jauh lebih penting mengkaji terlebih dahulu mengapa regulasi berkaitan dengan PPPK di lingkungan perguruan Muhammadiyah enggan dipatuhi secara sami'na wa atho'na. 

Menilik pada teori Bootleggers and Baptists, bahwa seringkali kebijakan publik  atau regulasi yang terlihat didukung oleh alasan moral atau kebaikan umum sebenarnya juga menguntungkan kelompok-kelompok tertentu secara finansial atau kepentingan lainnya. Regulasi  seringkali didorong oleh aliansi antara kelompok-kelompok yang memiliki tujuan yang berbeda secara publik, tetapi pada akhirnya saling mendukung untuk kepentingan mereka sendiri. 

Dalam konteks regulasi di perguruan Muhammadiyah yang mengharuskan guru keluar ketika mendaftar sebagai PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja), kita bisa mempertimbangkan Teori Bootleggers and Baptists. Muhammadiyah mungkin memiliki aturan tersebut dengan tujuan yang dianggap moral atau berlandaskan nilai-nilai keagamaan, namun pada akhirnya, ada keuntungan tertentu yang mungkin tersembunyi di balik regulasi ini, semisal keinginan  Muhammadiyah untuk mencipta kader-kader loyal dan istiqomah. Atau ada kemungkinan bahwa aturan ini juga memiliki manfaat tersirat bagi perguruan Muhammadiyah secara finansial atau organisasional. Misalnya, dengan menjaga guru-guru tetap di bawah aturan internal mereka, perguruan Muhammadiyah dapat mempertahankan kendali lebih besar atas sistem penggajian dan manajemen sumber daya manusia. Secara tidak langsung, ini juga dapat memengaruhi tingkat loyalitas guru-guru terhadap lembaga tersebut.

Sementara itu, alasan para guru mendaftar sebagai PPPK bisa berkaitan dengan isu upah yang "layak dan profesional". Mereka mungkin merasa bahwa upah yang mereka terima di perguruan Muhammadiyah tidak sebanding dengan tingkat profesionalisme dan tuntutan kerja mereka. Mendaftar sebagai PPPK bisa memberikan mereka kesempatan untuk mendapatkan pengakuan dan kompensasi yang lebih baik, yang mungkin tidak mereka dapatkan di perguruan Muhammadiyah. Ini mencerminkan prinsip Teori Bootleggers and Baptists di mana motivasi publik (seperti moralitas atau nilai-nilai) seringkali beriringan dengan kepentingan atau keuntungan tertentu yang mungkin tidak begitu jelas pada awalnya.

Guru Muhammadiyah Ikut PPPK, Tidak Paham Adagium Perjuangan Muhammadiyah?

Gejolak fenomena  tuntutan upah "layak dan profesional" di lingkungan perguruan Muhammadiyah, mungkin akan segera ditimpali dengan adagium K.H Ahmad Dahlan pada awal merintis Muhammadiyah. "Hidup-hidupilah Muhammadiyah, Jangan mencari Hidup di Muhammadiyah" , adagium dan jargon tersebut memang sarat makna dan memantik motivasi perjuangan. Sehingga, apabila ada pimpinan perguruan Muhammadiyah  dalam merespon sebuah tuntutan kelayakan upah dengan adagium tersebut secara mentah-mentah, maka itu adalah pemahaman yang parsial dan cacat akademik. Guru sejatinya adalah tenaga profesional (UU No. 14 Tahun 2005), maka selayaknya digaji secara layak dan profesional sebagaimana tenaga profesional lainnya (titik!). Sehingga, apabila lembaga pendidikan Muhammadiyah masih  memberikan gaji kepada guru dibawah standar lalu ditimpali dengan adagium yang mulia di awal adalah problem besar dan berpotensi menjadikan Muhammadiyah terhambat kemajuannya.

Guru Muhammadiyah paham betul arti tentang keikhlasan berjuang dan beribadah. Guru Muhammadiyah yang memahami dan mempraktikkan anjuran Allah Swt dalam Qs. Al Baqarah ayat 245, mereka tidak akan uring-uringan di Muhammadiyah soal rezeki dan kelayakan upah. Justru guru-guru tersebut adalah yang loyal pada Muhammadiyah dengan segala kemampuan dan batas kesanggupannya.  Adagium "hidup-hidupilah Muhammadiyah" merupakan sebuah etos kerja di  Muhammadiyah, bahwa guru Muhammadiyah harus mau mensejahterakan lembaganya menggunakan segala kompetensinya, dengan demikian ia juga akan sejahtera. Di sisi lain ada juga guru Muhammadiyah yang berkhidmat untuk perguruan Muhammadiyah sebatas mencari nafkah, dan ada pula yang bertindak manipulatif memanfaatkan sumber daya AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) untuk kepentingan pribadinya sendiri. 

Konteks profesionalitas, guru tidak menjual ilmu dan ke-ikhlasan. Guru menjual "skill" keterampilan bagaimana sebuah konsep ilmu pengetahuan dapat dipahami oleh orang lain, yang pada titik akhirnya ilmu itu dapat dimengerti dan digunakan oleh orang yang bersangkutan dalam kehidupannya. Misalnya: Guru Al Quran yang mengajar tahsin  dan tilawah. Apakah guru tersebut menjual ilmu tahsin dan tilawah? Tentu tidak, karena ilmu adalah milik Allah Swt dan mustahil guru menjual sesuatu yang tidak dimilikinya. Guru Al Quran memiliki skill mengajar dan metode bagaimana menjadikan orang yang tidak bisa tahsin dan tilawah menjadi bisa tahsin dan tilawah. Nah bagian "skill mengajar", waktu, tenaga, dan pikiran itulah yang harusnya dihargai secara profesional dan diupahi secara layak. Hal tersebut juga berlaku untuk guru-guru pada disiplin Ilmu yang lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun