Dalam dunia per-sekolahan kita mengenal istilah raport. Yakni laporan hasil belajar peserta didik dalam rentang waktu tertentu. Biasanya sekolah memberikan rapor pada pertengahan tahun dan akhir tahun ketika kelulusan atau kenaikan kelas. Seiring perkembangan dan adaptasi dunia pendidikan yang pesat, raport sebagai laporan hasil dan ketuntasan belajar telah menjelma menjadi instrumen (alat) standarisasi untuk beragam kepentingan. Idealnya, raport bagi guru adalah instrumen umpan balik untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan peserta didik dalam satu kelas.Â
Sehingga,guru dapat melakukan refleksi dan meningkatkan kualitas pembelajarannya. Bagi orang tua, raport memiliki fungsi sebagai gambaran pencapaian belajar anaknya di sekolah. Kedua hal tersebut merupakan fungsi dan kegunaan raport yang selama ini dipahami secara teoritis.
Berkembangnya situasi pendidikan era kini, maka muncul beragam standarisasi pencapaian pembelajaran. Â Hal ini juga termasuk raport, bahwa didalam raport juga ada poin-poin standar yang ditetapkan untuk mendapatkan nilai dan atau ambang ketuntasan belajar.Â
Namun , standarisasi tidak pernah berjalan baik. Ada situasi dimana kemampuan setiap peserta didik berbeda-beda, peserta didik akan dipaksa untuk mencapai poin atau aspek pelajaran sekalipun ia belum mampu. Jika peserta didik tak mampu, maka kemudian praktik-praktik manipulatif akan dimunculkan. Dengan dalih perintah kurikulum, "siswa tidak boleh tinggal kelas", maka budaya pengkatrolan nilai menjadi cara paling aman dan mudah untuk pencapaian standarisasi tersebut.
Pada situasi dia atas, guru pada hari ini harus rela menghempaskan "hak preogatifnya" untuk memberikan nilai secara jujur dan terbuka. Maka, pengkatrolan nilai tanpa bukti yang kuat kerap dilakukan demi pencapaian nilai yang standar itu. Â Pada titik ini guru menjadi tak berdaya, karena sistem dan hirarki pendidikan yang memaksa hal tersebut terjadi. Sehingga, jangan ada dongkol dan marah apabila peserta didik maupun orang tua berpikir, pasti bakal dapat nilai diatas KKM dan lulus sekalipun bersekolah asal-asalan.Â
Fatalnya, orang tua juga tak kunjung meningkat literasinya tentang raport ini. Selama mereka melihat nilai raport anaknya baik semua, maka belajarnya di sekoah dianggap juga baik-baik saja, dan orang tua menerima hal itu. Pemaksaan standar baik dengan "katrol nilai" cukup membuat orang tua terpuaskan. Pada poin ini, saya sebagai guru juga tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa dipungkiri juga bahwa dengan hal tersebut citra sekolah juga akan menanjak, padahal penuh aib yang tertutupi oleh kalkulasi angka-angka. Dari sini saja, kita bisa melihat bahwa pendidikan di Indonesia sudah bermasalah secara fundamental dan hingga hari ini sedang berjalan dengan penuh kesadaran.
Raport Sebagai Alat Tagih
Realitas lain yang muncul adalah raport sebagai alat tagih. Memang terkesan menggelikan, namun begitulah fakta yang ada. Bagi sekolah-sekolah  tertentu menggunakan raport sebagai alat tagih kekurangan administrasi  para peserta didiknya. Apalagi bagi sekolah kecil yang sumber financialnya masih bergantung pada masyarakat (melalui SPP, uang gedung, dan lain sebagainya), kebijakan raport sebagai sarana penarikan uang administrasi kerap dilakukan. Sekolah akan memberikan ultimatum seraya memohan, "mohon melunasi kekurangan administrasi sampai bulan .... untuk dapat mengambil raport...".Â
Sehingga, sekolah akan berinovasi membuat berbagai macam raport beserta standarnya. Ada raport adab/karakter, raport life skills, atau bahkan raport tahfidz (hafalan Al Quran) dan sebagainya, yang semua itu kemudian dilabeli dengan raport evaluasi dan sebagainya. Hal tersebut menarik, bahwa sekolah menyediakan alternatif dan layanan pendidikan yang beragam untuk menunjang pembentukan kompetensi peserta didiknya.
Hal seperti di atas baik kah? Tentu baik, jika memang penilaian standar yang ada dalam raport adalah jujur dan terbuka, dan terbukti otentik atas hasil belajar peserta didik. Apabila hasil nilai adalah dari "pengkatrolan", maka sama saja dengan manipulatif dan hal seperti itu adalah pendidikan ilusif. Tidak ada yang benar-benar mendewasakan manusia, tidak ada pengembangan skill dan kognisi yang benar-benar otentik. Pada akhirnya bukti mutu hanyalah kalkulasi dan angka-angka  semata.Â
Buang Belenggu Standarisasi
Hemat saya, apapun teorinya tujuan akhir pendidikan adalah memanusiakan manusia dan membuatnya memiliki dampak positif bagi kehidupannya dimasa depan. Senada hal tersebut, Haidar Bagir (2019) menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu aktivitas mengaktualkan potensi manusia sehingga benar-benar menjadi manusia sejati. Maka, melabeli peserta didik dengan standarisasi adalah sebuah penghinaan. Karena peserta didik pada dasarnya merupakan realitas bergerak, hidup, tumbuh, berkembang, berbeda, spekulatif, unik, dinamis. Hal tersebut merupakan dasariah manusia yang tidak memerlukan standarisasi tertentu untuk menjadikan  jati diri yang sejati.
Membebaskan pendidikan dari standarisasi berbelit, meluaskan keterbukaan hasil, dan memberikan guru kebebasan yang besar dalam penilaian. Nampaknya dapat menjadi jalan tengah dalam mengurai situasi pendidikan masa kini. Memberikan kebebasan yang nyata bagi guru dan siswa memungkinkan terbentuknya iklim pendidikan yang jujur dan bahagia. Pada gilirannya cita-cita terbentuknya SDM yang unggul dan berkualitas nyata dapat terealisasikan.
Author: Rio Estetika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H