Mohon tunggu...
Rio Estetika
Rio Estetika Mohon Tunggu... Freelancer - Dengan menulis maka aku Ada

Freelancer, Teacher, Content Writer. Instagram @rioestetika

Selanjutnya

Tutup

Money

Minyak Dunia Murah Meriah, Harga BBM Tak Turun Pak Jokowi?

20 April 2020   07:08 Diperbarui: 20 April 2020   07:10 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi. Sumber: www.tirto.id

Penurunan harga minyak dunia juga sudah berlangsung sejak Desember 2019. Berdasarkan data Bloomberg, per pukul 15.38 WIB h, Jumat (17/4/2020), harga minyak mentah golongan West Texas Intermediate untuk kontrak Mei 2020 berada di angka 18,34 dolar AS per barel. 

Kondisi tersebut seharusnya menjadikan harga BBM di tanah air mengalami penurunan. Padahal, jika harga BBM turun bisa menjadi stimulus tambahan di tengah pandemi Covid-19. 

Di sisi lain Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara mempunyai keharusan dan kewajiban turut serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Lantas mengapa harga BBM di tanah air tak kunjung turun?

Mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini dilansir dari www.kumparan.com (20/04/2020), mengatakan turunnya harga minyak dunia seharusnya diiringi penurunan harga BBM di dalam negeri, terutama jenis BBM Premium.  

Rudi melanjutkan,"harga keekonomian BBM misalnya pada jenis Premium, juga ikut turun. Menurut hitungannya, harga keekonomian BBM Premium turun dari Rp 8.400 per liter menjadi sekitar Rp 4.800 hingga Rp 5.000 per liter."

Angka keekonomian BBM Premium mencapai Rp 8.400 itu merupakan harga saat minyak mentah periode tahun 2012. Waktu itu harga minyak mentah diasumsikan berada di level USD 105 per barel, dengan kondisi nilai tukar rupiah masih kuat di level Rp 10.000 per dolar Amerika Serikat. 

Sedangkan kondisi pasar global saat ini, upiah melemah terhadap AS di level Rp 16.000 dan harga minyak dunia diasumsikan USD 40 per barel. Jadi Rp 8.400 x Rp 15.000 / Rp 10.000 USD 40 / USD 105 = Rp 4.800. Itu semua sudah termasuk PPn dan keuntungan Pertamina 10 persen. Begitulah perhitungan Rudi.

Dilansir dari tirto.id (20/04/2020), Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmi Radi mengatakan bahwa Pertamina bersama pemerintah lebih sigap menyesuaikan harga BBM ketika harga minyak dunia naik ketimbang saat harga sedang turun. 

Fahmi melanjutkan, "Pertamina sebagai BUMN dia kan ingin meraup laba sebesar-besarnya, tapi tugas utama Pertamina itu kan tidak semua mencari profit ya. Ada tujuan lain yang ingin dicapai." 

Hampir senada dengan Fahmi, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mneyatakan bahwa  ada sejumlah hal yang perlu dipertimbangkan sebelum harga BBM dipangkas. 

Hal yang menjadi pertimbangan besar pertama adalah waktu transaksi kontrak pengadaan BBM. Untuk pengadaan minyak bulan April, misalnya, kontrak pengadaan sudah dilakukan 3 bulan sebelumnya. Sehingga, wajar bila Pertamina masih menggunakan harga acuan lama dalam menentukan harga BBM saat ini. 

Pemaksaan menggunakan nilai acuan saat ini, maka Pertamina harus menghitung ulang resiko nilai tukar rupiah yang telah melemah terhadap dollar Amerika Serikat. Di lain sisi, Indonesia menjadi negara pengimpor minyak mentah dan BBM (net importir). 

Kondisi saat ini justru juga akan berefek pada APBN yang tidak mendapatkan surplus dari sektor minyak dan gas. Sudah dapat dipastikan APBN tidak akan mendapatkan surplus dari sektor minyak dan gas.

Pertimbangan kedua adalah rendahnya konsumsi BBM saat Pembatasan Sosial Berksala Besar (PSBB) di berbagai kota di Indonesia diterapkan. Berdasarkan paparan Pertamina di komisi VI DPR, Kemarin (16/4/2020), terjadi penurunan permintaan BBM hingga 34 persen sepanjang Maret 2020.

Dengan harga yang ada saat ini pun, perusahaan penyedia BBM seperti Pertamina belum tentu untung mengingat minimnya volume penjualan imbas rendahnya konsumsi BBM oleh masyarakat di tengah PSBB tadi.

Pertimbangan ketiga adalah antisipasi pada kenaikan harga minyak dunia dalam waktu dekat. Meskipun harga minyak dunia turun, hal tersebut bukan berarti akan berlangsung selamanya. 

Perusahaan energi milik negara, khususnya  Pertamina perlu melakukan penyiapan cadangan untuk mengantisipasi lonjakan harga minyak dunia yang sewaktu-waktu mengalami kenaikan. 

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka menjadi kewajaran jika pemerintah sampai saat ini belum menurunkan harga BBM. Pada Rabu (18/3) lalu, Presiden Jokowi meminta para menterinya mengkalkulasi rencana penurunan harga BBM subsidi maupun nonsubsidi.

"Saya minta kalkulasi dihitung dampak dari penurunan ini pada perekonomian kita terutama BBM, baik BBM subsidi dan nonsubsidi," kata Jokowi pada waktu itu.

Lha Pak Jokowi, semua potensi dan resiko sudah dikalkulasi. Monggo silahkan sekarang kebijakannya gimana? Mau diturunkan harga BBM-nya, mau tetap sebagaimana mestinya, atau justru malah dinaikkan lagi? Kalo dinaikkan, maka sungguh Anda dan aparat adalah bedebah rezim ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun