Di era digital saat ini, cyber sexual harassment atau pelecehan seksual daring telah menjadi ancaman serius bagi perempuan. Kekerasan seksual daring merupakan salah satu bentuk pelecehan berbasis gender (gender based violence) yang didefinisikan sebagai tindakan yang menimbulkan kerusakan atau penderitaan fisik, seksual atau psikologis. Tindakan yang melibatkan konten seksual yang tidak diinginkan, pemaksaan perilaku seksual daring, dan penyebaran informasi pribadi tanpa persetujuan yang mempengaruhi privasi, keamanan, dan kesejahteraan perempuan.
Kasus pelecehan seksual menyebar luas di semua ranah dan usia, dari yang muda dan produktif di berbagai ruang termasuk ruang siber. Canggihnya perkembangan teknologi informasi dan populernya penggunaan media sosial seringkali menjadi tempat bagi para pelaku pelecehan untuk bertindak tanpa hambatan. Komentar-komentar tidak pantas, penyebaran foto-foto tanpa persetujuan, dan beragam tindakan pelecehan lainnya seringkali terjadi di ruang digital tanpa adanya perlindungan yang memadai bagi para perempuan.
Dilansir melalui catatan tahunan komnas perempuan tahun 2023, pelecehan seksual siber sebanyak terdapat 869 kasus, disusul pelecehan di tempat tinggal (136), pelecehan di tempat kerja (115), pelecehan di tempat umum (101), pelecehan di tempat pendidikan (37), pelecehan di fasilitas medis 6 kasus, pelecehan di tempat kerja luar negri (pekerja migran) 6 kasus dan pelecehan lainnya sebanyak 6 kasus. Adapun sepanjang tahun 2022 data pengaduan Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG), memiliki jumlah kasus Siber di ranah personal sebanyak 821 kasus yang didominasi pelecehan seksual dan terbanyak dilakukan oleh mantan pacar (sebanyak 549 kasus) dan pacar (230 kasus). Sementara kasus Siber di ranah publik terbanyak dilakukan oleh “teman media sosial” sebanyak 383 kasus. Jumlah ini dapat meningkat apabila pengetahuan yang terbatas terkait penggunaan media sosial dan teknologi tidak diiringi dengan kemajuan teknologi yang pesat.
Tindakan pelecehan seksual daring yang sering terjadi di ruang digital dapat meliputi:
Penyebaran foto atau video tanpa persetujuan: Menyebarluaskan foto atau video intim seseorang tanpa izin merupakan bentuk pelecehan seksual daring yang sering terjadi. Hal ini dapat merusak reputasi dan merugikan korban secara emosional.
Pesan atau komentar tidak pantas: Pesan atau komentar yang mengandung konten seksual atau melecehkan yang dikirim melalui media sosial, platform pesan, atau email menjadi bentuk pelecehan daring yang umum terjadi.
Pemaksaan perilaku seksual: Adanya upaya memaksa seseorang untuk melakukan tindakan seksual yang tidak diinginkan melalui platform daring juga sering terjadi dan merupakan bentuk pelecehan seksual dalam ranah digital.
“Kekerasan seksual digital ini harus jadi concern bagi semua, termasuk laki-laki. Masifnya perkembangan teknologi seperti artificial intelligence dan sosial media semakin bikin perempuan di nomer dua-kan dalam segala hal. Akibatnya perempuan rentan sekali menjadi korban, apalagi kasus seperti ini banyak dilakukan oleh orang terdekat korban. Minimnya ruang aman bagi perempuan mencerminkan ketidakadilan gender dalam lingkungan online, tentu ini ancaman bagi pemenuhan hak perempuan” Ungkap Shafa Shabrina, Aktivis HAM perempuan. (2/1)
Kekerasan seksual terhadap perempuan dilatarbelakangi oleh beberapa faktor seperti kentalnya pemahaman budaya patriarki, perilaku agresif, inisiasi seksual dini, kurangnya edukasi serta sosialisasi terhadap bahayanya pelecehan seksual dan toleransi masyarakat terhadap pelecehan seksual. Dilansir melalui UN Women, Perempuan sangat rentan menjadi korban pelecehan seksual yang banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat, seperti pacar, orang tua, dan teman.
Minimnya ruang aman bagi perempuan di ranah digital memiliki dampak pada mental perempuan. Perempuan yang mengalami pelecehan seksual dapat mengalami tekanan psikologis yang parah. Hal ini dapat berdampak pada kecemasan, depresi, dan bahkan traumatisme. Hal ini didukung dengan adanya stereotip bahwa perempuan yang mengalami pelecehan seksual merupakan “perempuan hina”. Anggapan tersebut banyak dipercayai dan diyakini oleh masyarakat yang menyebabkan korban enggan melapor karena takut, merasa bersalah dan malu.