Nama: Humairah Azzahra
Matkul: Komunikasi Massa
Jurusan: Ilmu komunikasi
Dosen Pengampu: Ibu Shofia Hasna, S.Ikom., M.A
Problematika RUU Penyiaran Di Indonesia
RUU Penyiaran di Indonesia sedang menghadapi berbagai problematika yang mencakup sejumlah isu kontroversial yang memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat, jurnalis, dan akademisi. Berikut penjelasan detail mengenai problematika tersebut:
 Tumpang Tindih Kewenangan Penyelesaian Sengketa Jurnalistik
Salah satu isu utama dalam RUU Penyiaran adalah mengenai kewenangan penyelesaian sengketa jurnalistik. Pasal 42 ayat 2 menyebutkan bahwa sengketa jurnalistik akan ditangani oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Namun, hal ini bertentangan dengan UU Pers No. 40 Tahun 1999, yang menetapkan bahwa Dewan Pers adalah lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik. Kondisi ini menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan potensi kebingungan dalam penyelesaian sengketa
Pembatasan Jurnalistik Investigasi
RUU ini juga memuat Pasal 50B ayat 2 huruf (c), yang melarang penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. Ketentuan ini dikhawatirkan dapat mengurangi kebebasan pers dan kemampuan media untuk melakukan investigasi mendalam terhadap isu-isu penting yang berdampak pada publik. Jurnalisme investigasi sering kali mengungkap skandal besar dan korupsi, sehingga pembatasan ini dianggap dapat menghambat transparansi dan akuntabilitas
Konten Siaran dan Pencemaran Nama Baik
Pasal 50B ayat 2 huruf (k) mengatur larangan penayangan konten yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Pasal ini mirip dengan "pasal karet" dalam UU ITE yang sering digunakan untuk membungkam kritik. Pasal-pasal semacam ini dikhawatirkan dapat disalahgunakan untuk menekan kebebasan berekspresi dan membatasi ruang gerak jurnalis dalam melaporkan kebenaran
Kritik dari Berbagai Pihak
Organisasi jurnalis seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Dewan Pers telah menyuarakan penolakan mereka terhadap beberapa pasal dalam RUU ini. Mereka menilai bahwa RUU ini berpotensi membatasi kebebasan pers dan mengurangi kualitas demokrasi di Indonesia. Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyatakan bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik seharusnya tetap menjadi kewenangan Dewan Pers untuk menghindari tumpang tindih regulasi yang dapat merugikan para jurnalisÂ
Respon DPR RI
Anggota Komisi I DPR RI, Nurul Arifin, menyatakan bahwa RUU Penyiaran masih dalam tahap pembahasan dan belum merupakan produk final. DPR mengklaim tidak ada niat untuk membungkam pers dan membuka diri terhadap masukan dari berbagai pihak terkait pasal-pasal yang dianggap kontroversial. Mereka menegaskan bahwa RUU ini bertujuan untuk memperbaiki regulasi penyiaran, bukan untuk membatasi kebebasan pers
Indeks Kebebasan Pers
Kritik terhadap RUU Penyiaran muncul di tengah penurunan peringkat kebebasan pers Indonesia. Menurut data Reporters sans frontières (RSF), peringkat kebebasan pers Indonesia turun dari urutan 108 pada tahun 2023 menjadi urutan ke 111 pada tahun 2024. Penurunan ini menambah kekhawatiran bahwa regulasi baru dapat memperburuk situasi kebebasan pers di Indonesia
Masalah-masalah ini menunjukkan bahwa RUU Penyiaran memerlukan tinjauan dan diskusi lebih lanjut untuk memastikan bahwa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi tetap terjaga, sambil memperbaiki regulasi penyiaran di Indonesia.
Undang-Undang Penyiaran Indonesia diharapkan dapat berperan penting dalam pengaturan dan pengelolaan industri penyiaran di masa depan. RUU tersebut menjanjikan kepastian hukum bagi pelaku industri sekaligus menjaga kebebasan berekspresi dan keragaman konten melalui pendekatan komprehensif dan responsif terhadap dinamika  teknologi dan preferensi konsumen yang berkembang pesat. Penegakan undang-undang ini secara efektif sangat penting untuk memastikan bahwa penyiaran  Indonesia tidak hanya terus berinovasi dan berkembang, namun juga mematuhi standar keadilan, etika, dan kualitas. Selain itu, Undang-Undang Penyiaran memperkuat perlindungan  hak-hak konsumen, memastikan bahwa informasi yang dikirimkan akurat dan berkualitas tinggi, dan menyediakan landasan yang baik untuk debat publik dan partisipasi  dalam kehidupan demokratis masyarakat. Meskipun tantangan dan perdebatan mungkin masih ada dalam implementasi RUU ini, penting untuk membangun konsensus yang kuat dan memastikan bahwa kepentingan semua pihak terwakili sepenuhnya. Harapannya, UU Penyiaran dapat memberikan landasan yang kokoh bagi kemajuan positif  industri penyiaran Indonesia dan memberikan arah yang lebih baik menuju masa depan yang lebih inklusif dan berkelanjutan di era digital yang terus berubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H