Mohon tunggu...
Humaira Fitria R
Humaira Fitria R Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas dan Storyteller

Isu dan aku adalah tubuh yang meminta untuk selesai, namun kata Sang Pencipta, kami lebih layak untuk dijadikan pembelajaran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Semesta Juga Punya Rasa

30 Oktober 2019   00:20 Diperbarui: 31 Oktober 2019   17:26 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hidup zaman sekarang susah neng. Wong lihat orang atas itu, sibuk mereka  semua sama urusan politik. Mana tau lingkungan disini. Mana tau sama urusan kecil-kecilan kaya susah kerja nyari makan buat anak istri neng" Keluh pak supir itu membuat pikiran saya tersentak jauh dari jawaban yang saya harapkan atas pertanyaan perihal pergantian pemerintahan yang saat ini sedang hangat dibicarakan "Makanya, kuliah disini jangan cuman buat jadi pinter neng. Jaman sekarang negara ini lebih butuh orang-orang baik" Kutipan tersebut umpama panah yang tepat mengenai sasaran kegelisahan beberapa orang yang merasa tak nyaman dengan siklus kehidupanya. Termasuk orang-orang yang masih saja mengeluhkan kehidupanya karena beberapa alasan tertentu.

Melalui tulisan ini saya akan mencoba membuka ruang opini mengenai permasalahan tentang pentingnya membatasi diri dari ambisi untuk sekedar merenung dengan rasa syukur serta dapat sedikit membuka pintu simpati kita terhadap keadaan sekitar. Kedua masalah tersebut menjadi persoalan kehidupan yang mendasar pada era saat ini. Menurut kamus besar bahasa indonesia, ambisi merupakan keinginan (hasrat, nafsu) yang besar untuk menjadi (memperoleh, mencapai) sesuatu (seperti pangkat, kedudukan) atau melakukan sesuatu. Dengan kata lain, ambisi merupakan suatu tuas penggerak yang besar bagi kehidupan seseorang yang jika tidak dikendalikan dengan benar akan menimbulkan kekacauan besar pula pada kehidupan ini, termasuk kehidupan pribadi sebagai individu atau pun kehindupan banyak orang sebagai suatu sistem. Serta rasa simpati disini merupakan sebuah pembatas yang berperan sebagai pengendali tuas tersebut.

Hilangnya rasa simpati dapat menjadikan setiap elemen sosial cenderung bersikap apatis dan hal ini dapat berpengaruh besar pada kenyamanan berkehidupan. Bahkan akan lebih baik lagi jika perihal rasa simpati tersebut bisa sampai ke meja singgahsana yang berjejer rapi dalam kotak hierarki tinggi diatas sana. Namun, kita semua tentu tau bahwa tembok pertahanan disekelilingnya teramat tebal dan lorong yang perlu dilalui pun teramat panjang sehingga suara yang masuk mungkin hanya akan menjadi gema yang pecah sebelum sempat menggambang di langit-langit topik pembicaraan mereka.

Meskipun begitu, perbedaan latar belakang lingkungan yang dimiliki tak bisa dikaitkan dengan batasan untuk masyarakat ber opini akan apa yang terjadi di sekitar mereka saat ini. Entah itu lingkungan jalanan, pasar, sekolah, kantor, hingga setiap sisi daerah perkotaan maupun pedesaan semua tetap merupakan bagian dari negara ini, bagian dari rumah kita. Selain itu, terdapat perkataan yang dikutip dari linimasa sebuah akun jejaring sosial yang bertuliskan "Manusia itu anaknya lingkungan". Jika kita tarik sebuah garis besar dari kalimat tersebut, terdapat satu makna mengartikan bahwa lingkungan memanglah berpengaruh besar terhadap kondisi sosial serta moral seseorang yang membuat kecenderungan seseorang sulit untuk memiliki pribadi yang berpendirian teguh. Faktor lingkungan inipun memiliki perngaruh yang besar terhadap budaya berprilaku seseorang serta pola pikir yang dimilikinya.

Latar belakang lingkungan ini cenderung membawa sebagian masyarakatnya kepada ambisi yang terlampau tinggi untuk menang di setiap pertarungan kehidupan. Nyatanya, ketika ambisi itu digantungkan terlampau tinggi maka hal ini justru hanya akan menimbulkan banyak perasaan iri, dengki, kesal, lelah serta hal yang dapat merusak kesehatan emosional manusia jika tidak dipergunakan dengan sewajarnya.

Perihal ambisi yang tinggi mari kita kaitkan dengan kata rasa syukur. Mengapa saya menghubungkan keterkaitan penting antara konflik permasalahan sistem dengan hal yang sederhana seperti pentingnya rasa syukur ini? Jika kita terus menarik permasalahan hingga ke akar paling dasar dibawah sana, sesungguhnya segala permasalahan besar timbul dari permaslahan individu yang tergolong kecil. Tentang kondisi "hati" yang tumbuh dan terbentuk dari hasil pengalaman hidup, kejadian, serta kebiasaan yang menjadikan seseorang sulit untuk mengubah kebiasaan tersebut menjadi kebenaran. Bahkan banyak orang justru belum sempat bisa menjangkau kepada tahap simpati kepada lingkungan sekitar. Orang-orang yang masih saja terikat pada urusan masing-masing individu ini beberapa dari mereka belum dapat mengatur kehidupanya sendiri. Jangankan untuk memberi rasa simpati pada orang lain, diri sendiri pun tak mereka beri kesempatan untuk bahagia. 

Pernahkah pada satu waktu anda berhenti sejenak hanya untuk sekedar beristirahat dari pertarungan hidup yang tak kunjung bisa dikalakan? Cobalah donggakkan kepalamu kepada dedaunan pohon yang menaungimu saat itu, bayangkan mereka sedang berbangga bahwa kamu adalah orang baik yang berjalan dibawah mereka. Dengan senang mereka menari-nari bersama tiupan angin karena mereka tau kamu mencoba menyelamatkan semesta ini. Andaikan kamu tamak, pastilah pohon-pohon itu lebih memilih menggugurkan daun-daunya atau bahkan menjatuhkan ranting kerasnya ke kepala mu.

Seluruh analogi tersebut menggambarkan bahwa jika orang-orang dapat membuka hatinya untuk sekedar bersimpati maka mereka tak perlu lagi risau dengan segala urusan dan ambisi mereka yang terlampau besar. Orang besar pun bisa tau cara menjadi baik dengan sendirinya sehingga akan membuat sistem kehidupan ini berjalan dengan semestinya pula.

 "Sesekali cobalah buka telingamu, jangan kau sumbat menggunakan gawai mu. Sesekali cobalah dengar aku yang membekukan diri dihadapanmu hanya untuk berbicara. Apakah aku takut? tentu saja aku takut! Namun rasa takutku ini tak sepadan dengan apa yang akan terjadi suatu saat nanti jika aku memilih untuk tetap diam" -H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun