Mohon tunggu...
HUMAIRA AFIFAH
HUMAIRA AFIFAH Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Mahasiswa Kesehatan MAsyarakat Universitas Lambung Mangkurat

PSKM FK ULM Angkatan 2020

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Fakta dan Mitos Kolostrum Dianggap sebagai Racun bagi Sebagian Masyarakat

19 November 2021   04:31 Diperbarui: 19 November 2021   04:52 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama/NIM  : 1. Farah Purwandani Shaleha/2010912320029

                          2. Hidayati/2010912320032

                          3. Humaira Afifah/2010912220033

                          4. M. Surya Hermawan/2010912310022

Budaya yang dimiliki oleh Indonesia sangat kaya dan beragam. Madura merupakan salah satu suku Indonesia yang kaya akan budaya. Hasil studi pendahuluan dan data Kemenkes (2012) menunjukkan bahwa terdapat beberapa budaya pada etnik Madura yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak, salah satunya yaitu sosio budaya gizi ibu saat hamil dan menyusui. Sosio budaya gizi saat menyusui misalnya praktik membuang kolostrum karena dianggap kotor (1). Kolostrum atau ASI yang pertama keluar biasa dikenal di masyarakat dengan nama susu jolong. Kolostrum merupakan cairan pra-susu yang dihasilkan oleh ibu dalam 0-48 jam pertama setelah melahirkan (pasca-persalinan). Menurut Kemenkes RI tahun 2015 pemberian kolostrum di Indonesia hanya sebesar 34,5%. Berdasarkan data yang ada, dapat diketahui bahwa angka pemberian kolostrum di Indonesia masih cukup rendah. Masalah ini tentunya dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya yaitu adanya pengaruh budaya atau mitos-mitos yang beredar (2).

Ada banyak mitos beredar tentang menyusui yang belum diketahui oleh para ibu. Salah satunya adalah tentang kolostrum/ASI hari-hari pertama yang dianggap kotor atau basi sehingga harus dibuang  karena dapat menjadi racun dan membahayakan bayi. Banyak yang mengira bahwa ASI hari-hari pertama/kolostrum berwarna putih seperti susu, sehingga ketika kolostrum keluar dan berwarna kuning keemasan/oranye, kental,  dan lengket terdapat persepsi bahwa kolostrum adalah ASI yang tidak sehat sehingga harus dibuang. Kemudian ada juga mitos yang mengatakan bahwa kolostrum lebih baik diganti dengan madu atau air kelapa muda. Mereka percaya bahwa praktik pemberian madu sebagai makanan prelakteal akan memberikan hal-hal baik kepada bayi. Harapannya anak-anak yang mereka lahirkan akan bersifat manis dan memberikan banyak manfaat seperti madu dan disukai banyak orang (3).

 Berdasarkan pernyataan tersebut, pemberian ASI eksklusif oleh ibu didukung oleh kepatuhan terhadap budaya yang ada di masyarakat. Kepatuhan budaya merupakan sikap seseorang untuk taat terhadap budaya yang ada. Meskipun sudah ada penyuluhan dari puskesmas mengenai ASI eksklusif, namun ibu tetap mempertahankan kepercayaan terdahulu sebagai bentuk kepatuhan masyarakat terhadap adat istiadat yang ada. Faktanya, ASI ibu merupakan asupan penting dan bergizi yang dibutuhkan oleh bayi. Kolostrum sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi bakteri, jamur, maupun protozoa karena kaya akan Immunoglobin G yang berguna untuk melawan penyakit. WHO (World Health Organisation) menyatakan bahwa menyusui satu jam pertama kehidupan yang diawali dengan kontak kulit antara ibu dan bayi serta pemberian kolostrum satu jam setelah kelahiran dapat menyelamatkan 22% bayi yang meninggal sebelum usia satu bulan (1).

Warna kuning pada kolostrum merupakan tanda dari kandungan beta-carotene yang tinggi, yang merupakan salah satu anti oksidan. Meski sedikit, kolostrum sangat padat nutrisi, kaya akan karbohidrat, protein, serta tinggi antibodi yang melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi. Kolostrum mengandung sejumlah besar antibodi yang disebut Immunoglobulin. Immunoglobulin adalah kelompok protein yang memberikan kekebalan/imunitas. Di dalam kolostrum terdapat 3 macam Immunoglobulin yaitu IgA (immunoglobulin A) , IgG (immunoglobulin G) dan IgM (immunoglobulin M). Dari ketiga Immunoglobulin ini, IgA menempati konsentrasi tertinggi. IgA ini akan melindungi bayi dari serangan kuman di daerah membran mukus tenggorokan, paru-paru, juga melindungi sistem pencernaan bayi termasuk usus (4).

Kolostrum in sangat dibutuhkan oleh bayi baru lahir sebagai nutrisi awal yang berpengaruh pada perkembangan dan pertumbuhan bayi, selain itu kolostrum juga berperan dalam pembentukan awal sistem kekebalan tubuh bayi. Namun seringkali ibu-ibu kurang mendapatkan informasi tentang manfaat dari kolostrum ini, sehingga mereka tidak tahu betapa pentingnya kolostrum untuk bayinya. Sebanyak 3 juta anak di antaranya meninggal tiap tahun akibat gizi kurang. Rendahnya tingkat pemberian kolostrum menjadi salah satu pemicu status gizi bayi dan balita di Indonesia rendah. Menurut data dari SDKI (Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia) tahun 2017 cakupan pemberian kolostrum nasional sebesar 28,9%, lebih rendah dibandingkan dengan target cakupan di Indonesia sebesar 34,5%. Berbagai kendala yang menyebabkan kegagalan dalam pemberian kolostrum diantaranya pengetahuan ibu, budaya di masyarakat dan kurang informasi dari petugas kesehatan dalam mempromosikan pentingnya pemberian kolostrum. Masih banyak ibu yang kurang mengetahui tentang pentingnya pemberian kolostrum pada bayi baru lahir tersebut karena kolostrum dianggap kotor, dan mengandung obat yang tidak seharusnya diberikan kepada bayi (5).

Meskipun  kolostrum  telah  diketahui  sangat penting  bagi  bayi,  sayangnya  lebih  dari  90%  para ibu masih  membuang  kolostrumnya  dan bahkan  memberikan  makanan  padat dini  pada bayinya. Ada bermunculan fakta dan mitos kolostrum ASI yang dianggap sebagai racun bagi sebagian masyarakat salah satunya yaitu, keengganan  ibu  untuk memberikan  kolostrum  dikarenakan  masih adanya  kepercayaan  bahwa kolostrum merupakan  cairan  kotor/susu  kotor,  warna masih  kuning  tidak  baik  buat  bayi  dan bahkan menyebabkan sakit perut. Keengganan tersebut bisa  disebabkan karena  faktor pengetahuan, faktor  pendidikan,  faktor  pengalaman,  faktor budaya  dan  sosial  ekonomi (7).

Selain itu, pada saat hari  pertama  dan  kedua, bayi  mulai  banyak  menangis  dan ingin  menyusu,  kondisi  ini  kerap membuat  ibu  dan  keluarga  frustasi, dan tergoda untuk memberikan susu formula  sebagai  pengganti  ASI, padahal jika ASI sedikit dan hanya keluar  setetes  demi  setetes merupakan  hal  yang  wajar  di  hari pertama  sampai  ketiga.  ASI  dalam bentuk kolostrum sudah di produksi sejak  kehamilan  usia  12 -16 minggu.  Jumlahnya  selama  3  hari pertama  bervariasi,  sekitar  2-20  ml setiap  kegiatan  menyusui.  Memang tidak  banyak,  tapi  itulah  yang paling  sesuai  dengan  kebutuhan bayi  saat  ini.  Kolostrum  dapat membersihkan usus bayi. BAB bayi ikut  serta  dalam  pembuangan bilirubin untuk mencegah kadarnya terlalu  tinggi  dalam  tubuh  bayi (8).

Dampak yang akan ditimbulkan pada bayi jika tidak diberikan kolostrum adalah terjadi ikterus yang bisa mengakibatkan kematian pada bayi. Bayi yang tidak diberikan ASI Eksklusif selama 13 minggu pertama dalam kehidupannya memiliki tingkat infeksi pernafasan dan infeksi saluran cerna yang lebih tinggi dibandingkan dengan bayi-bayi lain yang diberikan ASI. Menurunnya tingkat infeksi saluran cerna ini tetap bertahan bahkan sesudah selesai masa pemberian ASI dan berlanjut hingga tahun-tahun pertama dalam kehidupan anak (6).

Jika kolostrum  dibuang  maka  bayi akan  kurang  atau  tidak  mendapatkan  zat-zat pelindung  terhadap infeksi, serta  mempunyai  risiko 17  kali  lebih  besar  mengalami  diare  dan  3-4 kali  lebih  besar kemungkinan  terkena  ISPA (7). World Health Organization (WHO) tahun 2000, Angka Kematian Bayi (AKB) di dunia 54 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan Angka Kematian Bayi yang cukup tinggi di dunia pada tahun 2012 yaitu sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup. Dari data tersebut, AKB dunia menduduki kriteria sedang. Berdasarkan SDKI 2007, lebih dari tiga perempat dari semua kematian balita terjadi dalam tahun pertama kehidupan anak dan mayoritas kematian bayi terjadi pada periode neonatus. Angka Kematian Bayi (AKB) di Kalimantan Barat untuk tahun 2012 berdasarkan laporan pendahuluan hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 adalah 31 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan untuk Angka Kematian Bayi Nasional adalah 32 per 1.000 kelahiran hidup (6).

Jadi dapat di simpulkan memang benar ASI pertama berwarna kekuningan, namun itu tidak basi seperti apa yang sering kita dengar. ASI pertama disebut kolostrum, yaitu ASI pertama yang ibu produksi saat hamil dan selama beberapa hari setelah melahirkan. Faktanya bahwa ASI pertama atau kolostrum sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi bakteri, jamur, maupun protozoa karena kaya akan immunoglobin G yang berguna untuk melawan penyakit. Cairan pekat dan konsentrat berwarna kekuningan ini, sangat sedikit jumlahnya, dan memberi banyak manfaat untuk bayi. Bagian ini sangat penting dan sangat baik bagi si kecil karena mengandung antibodi dan immunoglobulin yang tinggi, sehinggan dapat meningkatkan kekebalan tubuh bayi. Jadi , kolostrum sangat disarankan untuk bayi sejak ia lahir dan kemudian dilanjutkan dengan ASI eksklusif hingga 6 bulan. Saran yang dapat di sampaikan penulis ialah teruslah dan jangan Lelah untuk melakukan inisiasi menyusui sejak dini. Setiap kita manusia menginginkan kesehatan yang baik Sekarang dan yang akan datang.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Illahi RK dan Lailatul M. Gambaran sosio budaya gizi etnik Madura dan kejadian stuntingbalita usia 24-59 bulan di Bangkalan. Jurnal Media Gizi Indonesia 2016; 11(2): 135-143.
  2. Januariana NE dan Marnaini M. Pemberian kolostrum pada bayi baru lahir di Desa Dasan Raja Kecamatan Penanggalan Kota Subulussalam Provinsi Aceh. Jurnal Dunia Gizi 2021; 4(1): 21-29.
  3. Nurbaya. Gambaran praktik pemberian makanan prelakteal pada bayi dan peran dukun anak di masyarakat adat Kaluppini. Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal 2021; 11(1): 41 – 50.
  4. Goyle AJ, et al. Colostrum and pre-lacteal feeding practices followed by families of pavement and roadside squatter settlements. Indian J Prev Soc Med 2016;  35(2): 58–62.
  5. Zurrahmi ZR. 2020. Hubungan pengetahuan dan sikap ibu tentang kolostrum dengan pemberian kolostrum di Desa Kuok wilayah kerja Puskesmas Kuok tahun 2019. Jurnal Doppler, 4(1), 49-58.
  6. Hendrik Y, Yuliana Y. Hubungan antara pengetahuan dan sikap ibu nifas dengan kejadian pemberian kolostrum. Jurnal Kebidanan 2018; 6(2) : 115 – 124.
  7. Widyawati, dkk. Peningkatan pengetahuan ibu hamil dan menyusui melalui pengembangan model dan media animasi pemberian ASI eksklusif pada bayi. Jurnal Ilmiah Permas 2020; 10 (1) :103-108.
  8. Zuliyanti, dkk. Pengaruh konseling pada ibu nifas terhadap pemberian kolostrum pada bayi baru lahir. Jurnal Kebidanan Harapan Ibu Pekalongan 2021 ; 8(1) : 46-50.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun