Mohon tunggu...
Hukman Reni
Hukman Reni Mohon Tunggu... Wiraswasta - Anak Rantau

Anak Rantau

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

"Ujaran Kebencian", Kapitalisme terhadap Industri Indonesia

12 Januari 2020   23:45 Diperbarui: 13 Januari 2020   23:27 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menghadapi 2020 ini, pemerintah telah memberi "peringatan dini" kepada perokok nasional bahwa akan ada kenaikan harga rokok sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Jika kenaikan harga rokok itu untuk peningkatan penerimaan pajak negara, atau untuk kenaikan upah buruh pabrik rokok, mungkin tak mengapa, para perokok bisa fine-fine saja. Hitung-hitung mereka bersedekah dengan "meracuni" diri sendiri?

Barangkali betul, rokok racun bagi kesehatan. Tapi apakah benar, pesan pemerintah bahwa "rokok membunuhmu", "rokok merenggut kebahagiaan saya satu persatu", dll, itu sengaja ditempel di setiap pembungkus rokok agar rakyat indonesia sehat wal-afiat?

Lantas, kenapa minuman beralkohol yang banyak diimpor dari luar negeri tidak diberi label peringatan seperti rokok? Padahal alkohol juga berpengaruh bagi kesehatan. Adakah semacam "ujaran kebencian" terselip di iklan "larangan" merokok itu? Jangan kesusu menjawabnya.

Sebelum debat kusir iklan larangan merokok dimulai, mari melihat mitos daging kambing dan daging sapi. Sebagian orang berpendapat bahwa daging kambing menyebabkan darah tinggi dan kolestrol.

Padahal, daging sapi dan kambing memiliki nutrisi berbeda. Menurut Dokter Spesialis Gizi Klinik, dr Johanes Chandrawinata, SpGK. Daging kambing lebih menyehatkan untuk tubuh. "Daging kambing memiliki kandungan lemak dan kolesterol yang lebih rendah dibandingkan dengan daging sapi," kata Johanes sebagaimana dilansir Kompas.com, 22 Agustus 2018.

Johanes juga membantah mitos yang beredar di masyarakat tentang daging kambing dapat memicu tekanan darah tinggi. Menurutnya, itu mitos yang tak usah dipercaya lagi.

Lalu bagaimana halnya dengan rokok?. Seorang Belanda, Kees van der Griendt, telah menyusun data dari 87 negara, menggunakan data dari WHO dan CIA. Menurutnya, ternyata tingkat rata-rata perokok yang tinggi dapat diterjemahkan di banyak kasus pada panjangnya harapan hidup dan kanker paru-paru yang rendah.

Pada 1994, negara dengan harapan hidup yang paling tinggi adalah Islandia (76,6 tahun), dimana 31% laki-lakinya merokok. Yang kedua adalah Jepang, dimana 59% dari laki-lakinya merokok dan harapan hidupnya adalah 76,5 tahun.

Negara-negara lain dengan tingkat rata-rata laki-laki merokok yang tinggi dan harapan hidup yang panjang termasuk Israel (45%-75,9 tahun); Yunani (46%-75,2 tahun); Kuba (49%-74,7 tahun); dan Spanyol (48%-74,5 tahun).

Oleh karena itu tidak perlu takut bagi yang terlanjur dan coba-coba untuk merokok. Tetap tenang, santai, dan khusyu' ketika merokok.

Toh terbukti, dengan merokok justru membantu kelangsungan kesejahteraan petani tembakau, karyawan pabrik rokok, dan pedagang kelontong yang menjajakan rokok baik bungkusan maupun eceran sehingga bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dan menyekolahkan anak-anaknya.

Apalagi, belum lama ini tersebar berita bahwa BPJS menutupi defisit keuangannya dengan dana dari cukai rokok sebesar Rp 5,7 triliun.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa di balik logika kesehatan "rokok membunuhmu" itu terselip "ujaran kebencian" kapitalisme yang hendak menguasai bisnis kretek global.

Lihatlah pertarungan politik bisnis internasional menyebabkan Indonesia kehilangan kekayaan negeri sendiri. Sebab dulu, Indonesia yang pernah berjaya dengan salah satu produk pertaniannya yaitu penjualan minyak mandar yang kini telah diluluh-lantakkan dengan bombardir minyak goreng pabrikan.

Dulu Indonesia pernah jaya dengan minyak mandar atau lomo mandar, tapi dihancurkan dengan isu yang dihembuskan Om Sam bahwa minyak mandar tidak baik untuk kesehatan.

Hal itu juga diberlakukan pada rokok kretek, lewat WHO, WTO dan pemerintahan Indonesia sendiri ikut mengkampanyekan bahaya nikotin pada rokok.

Contoh kasus lainnya seperti "mati"nya kopra, gula, garam, jamu dan kretek menandai matinya komoditas nasional. Matinya industri lokal.

Tahukah Anda tentang sentra produksi minyak kelapa di Mandar, Sulawesi Selatan?

Tahukah Anda tentang Pulau Selayar yang dahulu kala digelari pulau sejuta emas hijau? Sulawesi utara-Gorontalo nyiur melambai?

Mungkin tak banyak yang tahu kalau di daratan Sulawesi di tahun 1960-an adalah hamparan pulau kelapa yang menjadi tambang hidup rakyat.

Kelapa sering disebut emas hijau berkibar-kibar di sepanjang jazirah Sulawesi, hingga tiba badai jatuhnya harga kopra dunia di tahun 1980. Ditambah dengan derasnya kampanye perang anti minyak kelapa, benar-benar mengubur minyak kelapa.

Pada tahun 90-an, negeri Uwak Sam, Amerika, getol mengampanyekan bahaya minyak kelapa bagi kesehatan. Sebagai gantinya diperkenalkanlah minyak kedelai yang lebih bersahabat dengan kesehatan.

Indonesia yang sudah berabad-abad menggunakan minyak kelapa akhirnya takluk juga. Pelan tapi pasti minyak kelapa dijauhi, membuatnya tak laku dan industri inipun gulung tikar.

Hal yang sama terjadi pada gula. Tahun 1930-an, Indonesia produsen gula nomor dua dunia di bawah Kuba. Tapi sejak tuan International Monetary Fund (IMF) datang ke Indonesia tahun 1998, yang memaksa pemerintah melepas tata niaga, termasuk diantaranya gula, maka gula import membanjir. Sejak itu pula tamatlah industri lokal surga para semut itu.

Sementara garam pernah berjaya di tanah air sendiri pada 1990-an. Kita bahkan mengekspor ke manca negara. Tapi sejak Akzo Nobel gencar kampanye garam yodium, pabrik-pabrik garam nasional bangkrut.

Jamu juga mengalami nasib tragis. Posisinya sudah kian tersudut oleh obat farmasi modern. Herbal diragukan keampuhannya. Dukungan pemerintah juga minim. Jangan kaget temulawak dipatenkan oleh anak perusahaan LG, Korea Selatan.

Lagi dan lagi, pemerintah Indonesia menggunakan kacamata kuda dengan temuan baru yang dibungkus rapi dalam baju akademis dan kesehatan.

Kampanye intenasional disambut karpet merah, sementara industri lokal yang menjadi korban kampanye tak disokong, baik itu kredit, subsidi, tekonologi, riset, proteksi harga dan lain-lain. Sementara industri tembakau lamban tapi pasti mengikuti jejak matinya kopra, gula, garam, jamu. 

Tembakau kini kian tersisih peredarannya seiring dengan aneka beleid baru yang membatasinya. Tak lama setelah Soeharto jatuh, medio 1999, menyeruaklah isu perlunya pembatasan kadar kandungan tar dan nikotin.

Dengan berlindung di balik isu kesehatan, beleid pembatasan tembakau akhirnya disahkan tahun 2009. Industri rokok kretek terpukul, sementara rokok putih diuntungkan. Dengan slogan "low tar, low nicotine", rokok kretek sempoyongan, sementara rokok putih yang menggunakan tembakau Virginia masih di atas angin, Padahal selama ratusan tahun rokok putih tak pernah bisa menggeser rokok kretek.

Dalam buku "Membunuh Indonesia, Konspirasi Global Penghancuran Kretek" diulas tentang adanya perang global melawan tembakau.

Kampanye anti tembakau sesungguhnya bermula dari persaingan bisnis nikotin antara industri farmasi dengan industri tembakau di Amerika Serikat. Perusahaan farmasi berkepentingan menguasai nikotin sebagai bahan dasar produk Nicotine Replacement Therapy (NRT).

Di dalam negeri ada dua sisi bertolak belakang. Di satu sisi kebijakan anti tembakau sukses besar. PP tembakau sudah direvisi berkali-kali, puluhan perda anti tembakau, UU Kesehatan dan RPP Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif sedang digodog, kawasan dilarang merokok, iklan rokok tak selonggar dulu.

Sementara di sisi lain impor tembakau meningkat tajam. Tahun 2003 sebesar 29.579 ton naik menjadi 35.171 ton di 2004. Hingga 2008 mencapai 77.302 ton. Dalam waktu lima tahun ada kenaikan 250 persen.

Impor cerutu juga naik. Rata-rata kenaikan 197,5 persen per tahun. Tahun 2004 impor cerutu masih US$ 0,09 juta, di tahun 2008 naik menjadi 0,979 juta.

Ada juga fakta raksasa rokok dunia masuk ke Indonesia. Philips Morris mencaplok Sampoerna (2005) dan BAT mengakuisi Bentoel (2009). Perusahaan farmasi yang menjual terapi rokok juga kian populer di Indonesia. (Industri kretek yang masih berada di tangan pihak Indonesia adalah Djarum, Gudang Garam, Wismilak dan Djeruk dari daerah Kudus).

Selamat datang penguasa rokok dunia, selamat tinggal industri rokok kretek yang megap-megap menjelang ajal kematian. Industri kretek dalam negeri yang memayungi hampir 30 juta orang yang bekerja di sektor ini.

Lambat tapi pasti rokok kretek menuju liang kematian yang sebelumnya telah ditempati kopra, gula, garam, jamu, dan puluhan lainnya.***

Catatan
Untuk informasi lebih lengkap, lihat "Membunuh Indonesia, Konspirasi Global Penghancuran Kretek", Abisham DM dkk, 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun