Mohon tunggu...
Hukman Reni
Hukman Reni Mohon Tunggu... Wiraswasta - Anak Rantau

Anak Rantau

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Banjir Jakarta, Sudahlah!

3 Januari 2020   20:23 Diperbarui: 6 Januari 2020   14:45 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prihatin sekali melihat saudara kita kebanjiran di Jakarta. Mungkin Anies sendiri tidak menduga bahwa air akan datang merendam warganya di berbagai penjuru Jakarta. Tidak mungkin pula Anies Baswedan sengaja tahajjut , agar mobil dan springbed dll, harta warga Jakarta, terapung di air keruh.

Lantas, apakah banjir Jakarta itu karena Ahok tidak terpilih lagi menjadi Gubernur DKI? Belum tentu juga. Sebab, pada awal Februari 2015, banjir sampai ke kawasan Istana Presiden di Jalan Medan Merdeka Utara. Ketika itu DKI Jakarta dipimpin Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Setahun kemudian, pada Februari 2016, kawasan Istana Merdeka dan jantung Jakarta terendam banjir lagi. Kali ini Ahok menyodorkan bukti adanya sampah bekas kulit kabel yang menumpuk di saluran air, sehingga mengganggu drainase.

Oleh sebab itu, tentu tak elok rasanya jika banjir ketika itu disebut kesalahan Ahok. Sebab ada tumpukan bekas kulit kabel yang bisa dijadikan tersangka.

Jika ditarik ke belakang Ahok, hanya sekitar dua bulan setelah Joko Widodo dilantik menjadi Gubernur DKI, pada 22 Desember 2012 sejumlah ruas jalan utama Ibu Kota seperti Sudirman-Thamrin dan daerah Grogol terendam air.

Di belakang Joko Widodo, banjir juga tarjadi pada 10 Februari 2010, ketika DKI Jakarta dipimpin Fauzi Bowo alias Foke. Di belakang Foke, ada lagi banjir pada tahun 2007, ketika Sutiyoso menjabat Gubernur DKI Jakarta. Banjir pada masa penghujung kepemimpinan Sutiyoso ketika itu, malah cukup dahsyat karena hampir 70 persen wilayah Jakarta terendam air.

Jika kisah banjir Jakarta itu belum cukup, maka anda boleh menambah sendiri catatan banjir di belakang Sutiyoso menjadi gubernur, karena sejak zaman Tarumanegara, kemudian saat bernama Jayakarta, Batavia, Jakurata, sampai Djakarta, banjir selalu menyapa.

Jadi, Anies Baswedan adalah Gubernur DKI yang kesekian, yang berhadapan dengan banjir. Karena banjir Jakarta ini sebenarnya sudah berlangsung lama, sejak Jan Pieterszoon Coen pada awal abad 17 silam mendirikan Batavia dengan konsep kota air (waterfront city). Namanya juga kota air, tentu rentan terhadap resiko kebajiran.

Menurut catatan merdeka.com, sejak pada tahun 1621, 1654, 1873, 1918 hingga 1909, banjir sudah menggenangi permukiman warga karena limpahan air dari sungai Ciliwung, Cisadane, Angke dan Bekasi.

Belanda sendiri telah berupaya untuk mengatasi banjir dengan membangun proyek banjir kanal Barat, Timur, Lingkar Kota dan sistem polder yang didesain oleh Van Breen, namun tidak sampai selesai. Apakah itu berarti banjir Jakarta adalah warisan kolonial, yang tak rampung? Jangan kesusu menjawabnya.

Menurut catatan BMKG Kwitang, banjir Jakarta kemarin akibat curah hujan yang cukup tinggi dan tertinggi sejak 154 tahun sebelumnya. Dalam cacatan BMKG Kwitang, curah hujan tertinggi pernah terjadi tahun 1866, yaitu 185,1 mm/hari.

Kemudian pada tahun 1918: 125,2 mm/hari, tahun 1979: 198 mm/hari, tahun 1996: 216 mm/hari, tahun 2002: 168 mm/hari, tahun 2007: 340 mm/hari, tahun 2008: 250 mm/hari, tahun 2013: > 100m m/hari, tahun 2015: 277 mm/hari, tahun 2016: 100-150 mm/hari, dan pada tahun 2020: 377 mm/hari.

Jika kita percaya bahwa, salah satu penyebab banjir adalah curah hujan yang tinggi, maka pantaskah berteriak jemari Anies yang tak "santun" menadah curah hujan sehingga Jakarta kelelep?

Anies Baswedan tentu tidak perlu dibela dalam peristiwa banjir Jakarta. Sebab, banjir Jakarta bukan tergantung siapa gubernurnya. Banjir juga bukan masalah politik, sehingga bisa ditarik sana sini untuk meluapkan kebencian karena tidak mencoblos Anies Baswedan pada pilgub DKI Jakarta.

Apabila dalil curah hujan tidak memberi jawaban yang memuaskan, mungkin perlu ditambahkan pandangan ahli hidrologi. Menurut Ahli Hidrologi dan Dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) M. Pramono Hadi, penyebab utama banjir adalah hujan yang merata dan jumlahnya banyak.

"Itu penyebab utama karena hujan merata, dan jumlahnya banyak, dan kondisi 'surface storage' sudah jenuh dengan air. Karena telah terjadi hujan beberapa waktu sebelumnya," jelas Pramono saat dihubungi kompas.com, Rabu (1/1) sore.

Penyebab lain yang mengakibatkan Jakarta kebanjiran adalah terlambatnya normalisasi kali Ciliwung. Dari total panjang kali 33 kilometer baru sekitar 16 kilometer yang dilakukan normalisasi.

Seperti yang diketahui normalisasi Ciliwung merupakan proyek yang bertujuan untuk mengembalikan kondisi lebar sungai menjadi 35-50 meter, dengan mengharapkan kapasitas tampung air Sungai Ciliwung meningkat dari 200 m3/detik menjadi 570 m3/detik. Hal ini diharapkan mampu sedikit menanggulangi banjir yang berasal dari luapan air sungai.

Salah satu kendala yang dihadapi dalam proses normalisasi karena sempitnya lahan. Sekarang ini banyak rumah-rumah warga yang berdiri bahkan berada di palung sungai.

"Karena lebarnya sungai Ciliwung sudah sempit, jadi gimana itu, lebarnya sudah berkurang, berarti harus kita lebarkan lagi. Tapi sekarang rumah itu bukan di bantaran, tapi sudah ke palung sungainya, ini juga bukan hal yang mudah," ungkap Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (merdeka.com, 2 Januari 2020).

Bukan cuma itu. Sungai yang sejatinya untuk air mengalir, malah berubah fungsi menjadi tempat sampah jutaan penduduk Jakarta. Seperti bukti yang dijadikan alasan Ahok sebelumnya, tumpukan sisa kulit kabel saja bisa membuat istana negara terendam, apalagi jika ditambah sampah plastik, malah kasur bekas, potongan karpet, sendal jepit, celana dalam, dll kerap dijumpai mengalir di sungai Jakarta.

Belum lagi adanya banjir kiriman dari Bogor dan Depok. Untuk hal ini, tentu tidak satu pun gubernur Jakarta yang pernah "order"  air keruh untuk warganya.

Pemerintah tentu tak pernah berpangku tangan melihat banjir. Sejak zaman kumpeni sampai masa Gubernur Anies Baswedan, selalu dicarikan upaya penanggulangan. Upaya itu bukannya nihil, tapi belum mampu menghalau bajir secara tuntas. Jadi, apa mau dikata. Manusia memang hanya berusaha. Tuhan yang menentukan.

Banjir di Jakarta atau di mana saja, mungkin sebuah bencana dan namanya musibah tidak bisa dipasti-pastikan. Ibarat i love u, tak disangka datangnya.

Dalam keprihatinan yang mendalam terhadap saudara-saudara yang kebanjiran di Jakarta, teringatlah sebuah lagu dari kota kawanua Manado, yang dinyanyikan Melky Guslow, "Siapa suruh datang Jakarta, siapa suruh datang Jakarta... e dodo e".** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun