Kemudian pada tahun 1918: 125,2 mm/hari, tahun 1979: 198 mm/hari, tahun 1996: 216 mm/hari, tahun 2002: 168 mm/hari, tahun 2007: 340 mm/hari, tahun 2008: 250 mm/hari, tahun 2013: > 100m m/hari, tahun 2015: 277 mm/hari, tahun 2016: 100-150 mm/hari, dan pada tahun 2020: 377 mm/hari.
Jika kita percaya bahwa, salah satu penyebab banjir adalah curah hujan yang tinggi, maka pantaskah berteriak jemari Anies yang tak "santun" menadah curah hujan sehingga Jakarta kelelep?
Anies Baswedan tentu tidak perlu dibela dalam peristiwa banjir Jakarta. Sebab, banjir Jakarta bukan tergantung siapa gubernurnya. Banjir juga bukan masalah politik, sehingga bisa ditarik sana sini untuk meluapkan kebencian karena tidak mencoblos Anies Baswedan pada pilgub DKI Jakarta.
Apabila dalil curah hujan tidak memberi jawaban yang memuaskan, mungkin perlu ditambahkan pandangan ahli hidrologi. Menurut Ahli Hidrologi dan Dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) M. Pramono Hadi, penyebab utama banjir adalah hujan yang merata dan jumlahnya banyak.
"Itu penyebab utama karena hujan merata, dan jumlahnya banyak, dan kondisi 'surface storage' sudah jenuh dengan air. Karena telah terjadi hujan beberapa waktu sebelumnya," jelas Pramono saat dihubungi kompas.com, Rabu (1/1) sore.
Penyebab lain yang mengakibatkan Jakarta kebanjiran adalah terlambatnya normalisasi kali Ciliwung. Dari total panjang kali 33 kilometer baru sekitar 16 kilometer yang dilakukan normalisasi.
Seperti yang diketahui normalisasi Ciliwung merupakan proyek yang bertujuan untuk mengembalikan kondisi lebar sungai menjadi 35-50 meter, dengan mengharapkan kapasitas tampung air Sungai Ciliwung meningkat dari 200 m3/detik menjadi 570 m3/detik. Hal ini diharapkan mampu sedikit menanggulangi banjir yang berasal dari luapan air sungai.
Salah satu kendala yang dihadapi dalam proses normalisasi karena sempitnya lahan. Sekarang ini banyak rumah-rumah warga yang berdiri bahkan berada di palung sungai.
"Karena lebarnya sungai Ciliwung sudah sempit, jadi gimana itu, lebarnya sudah berkurang, berarti harus kita lebarkan lagi. Tapi sekarang rumah itu bukan di bantaran, tapi sudah ke palung sungainya, ini juga bukan hal yang mudah," ungkap Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (merdeka.com, 2 Januari 2020).
Bukan cuma itu. Sungai yang sejatinya untuk air mengalir, malah berubah fungsi menjadi tempat sampah jutaan penduduk Jakarta. Seperti bukti yang dijadikan alasan Ahok sebelumnya, tumpukan sisa kulit kabel saja bisa membuat istana negara terendam, apalagi jika ditambah sampah plastik, malah kasur bekas, potongan karpet, sendal jepit, celana dalam, dll kerap dijumpai mengalir di sungai Jakarta.
Belum lagi adanya banjir kiriman dari Bogor dan Depok. Untuk hal ini, tentu tidak satu pun gubernur Jakarta yang pernah "order" air keruh untuk warganya.