Mohon tunggu...
Kao Hu
Kao Hu Mohon Tunggu... -

for the better world

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jika Satgas Saber Pungli Tidak Berhasil, Langkah Apa yang Harus Diambil?

26 Oktober 2016   15:07 Diperbarui: 27 Oktober 2016   13:53 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kementerian Perhubungan, Jakarta, (11/10/2016). (thejakartapost)

Perpres nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar sudah diumumkan oleh pemerintah pada 21 Oktober 2016 yang lalu. Niat Presiden Jokowi sudah jelas: pungli harus hilang dari bumi Indonesia. Ini sesuatu banget, kata anak muda. Memang, pungli sudah seperti oksigen dalam hal keberadaan dan kegunaannya. Tanpa pungli urusan jadi ribet, menghabiskan waktu dan menyebalkan. Dengan pungli, urusan lancar, cepat, dan mudah. Namun, orang harus keluar uang, bisa sedikit, bisa pula banyak. Kasihan bagi mereka yang bermodal dengkul, terkuraslah air matanya untuk mengurus suatu perizinan.

Namun efektifkah Satgas Saber Pungli melaksanakan perintah Presiden tersebut? Kita percaya bahwa Menko Polkam Wiranto sebagai komandan Satgas Pungli akan mempertaruhkan nama baiknya untuk menyukseskan tugas tersebut. Sangat sia-sia jika upayanya membangun Partai Hanura dengan segala biaya dan tenaga yang dikeluarkan sehingga menempatkannya sebagai pengambil keputusan utama tingkat nasional tidak memberi hasil yang maksimal bagi orang banyak pada saat peluang untuk itu sudah ada di tangan. Sebaliknya jika pungli bisa hilang untuk seterusnya, Jenderal (Pur) Wiranto akan dikenang sebagai pahlawan pemberantas pungli, seperti halnya Hang Tuah pembasmi bajak laut di Selat Malaka yang melegenda.

Sebagai langkah pertama, Satgas telah menyebarluaskan edaran ke mana publik harus mengadu jika dikenai pungli di mana pun. Dengan telepon genggam yang terisi pulsa dan sedikit keberanian, setiap orang sudah bisa melaporkan adanya pungli, yaitu dengan mengirim SMS ke nomor 1193. Pelapor dijamin keamanannya, jadi tidak ada alasan untuk takut dan menunda-nunda.

Pada tahap ini, ada kendala yang muncul, yaitu maukah orang melaporkan adanya pungli? Bagaimana kalau ia ketahuan melaporkan hal itu dan urusannya menjadi tertunda selamanya? Lagi pula uang beberapa puluh ribu rupiah tidak terlalu besar dibandingkan keuntungan karena izin atau surat keterangan sudah didapat, hitung-hitung berbagi rezeki kepada orang yang membutuhkan. Bukankah aparat dan pegawai negeri golongan bawah umumnya gajinya pas-pasan?

Keengganan orang untuk melapor ini harus diatasi dengan pengenaan insentif dan disinsentif. Insentif diberikan kepada pelapor yang memberikan informasi yang benar, dalam bentuk hadiah yang murah meriah, seperti pulsa yang setiap orang memerlukannya.

Adapun disinsentif dikenakan kepada pihak-pihak yang bertugas mengawasi, mencegah, menampung keluhan, memeriksa, menangkap, mengadili, menghukum, dsb. Termasuk dalam kelompok ini adalah para pimpinan kantor di mana pungli itu dibuktikan ada. Semua pihak ini harus mendapat hukuman yang setimpal karena telah menyebabkan pungli berkembang subur di masyarakat.

Jika upaya Satgas Saber Pungli tidak kunjung berhasil, setelah dilakukan evaluasi antara lain melalui jajak pendapat mengenai praktik pungli secara periodik, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, maksimal setahun, harus ada upaya lain, yaitu mengganti semua petugas yang disinyalir melakukan pungli dengan personel baru.

Hal ini pernah dilakukan pada era Orde Baru, ketika layanan pemeriksaan bea cukai diserahkan kepada surveyor swasta (yaitu SGS), yang artinya semua petugas benar-benar baru. Upaya ini konon cukup berhasil menekan pungli, yang kemudian fungsi tersebut dikembalikan kepada Bea Cukai.

Instansi mana yang personelnya harus diganti seluruhnya? Mulailah dari yang kasat mata. Tidak terlalu susah untuk mencari tahu instansi itu, tanyakan saja kepada YLKI, wartawan atau mahasiswa. Jangan tanya kepada profesor atau ulama, ditanggung akan mendapat teori atau ceramah, bukannya nama suatu instansi. Dari sekian jawaban yang diterima, tentu akan ada satu atau dua instansi yang selalu disebutkan. Aparat di instansi inilah yang perlu dialih-tugaskan ke bidang-bidang lain.

Penggantian personel birokrasi adalah kewenangan presiden selaku kepala pemerintah, yang dilaksanakan oleh para menteri/pejabat tinggi negara sebagai pembantu presiden, jadi tidak perlu khawatir akan dipermasalahkan secara hukum.

Langkah yang terakhir ini hendaknya dipikirkan dan disiapkan sejak sekarang, agar jika langkah-langkah normal tidak menunjukkan keberhasilan yang cepat, pemerintahan Presiden Jokowi masih punya waktu untuk menorehkan hasil yang gemilang dalam misi pemberantasan pungli pada tahun 2019 nanti.

Masih toleran terhadap pungli....? Ayo laporkan!

--o0o--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun