Pengalaman krisis moneter di Indonesia dan beberapa negara Asia tahun 1997-1998 dan resesi global tahun 2008 menuntut pemerintah untuk bertindak cepat jika tanda-tanda krisis perekonomian sudah tampak. Sayangnya, mekanisme penyelesaian krisis perbankan yang handal belum ada. Skema penyelamatan Bank Century yang pernah dilakukan oleh LPS tahun 2008 lalu adalah langsung menyuntik modal segar sebesar Rp1,6 triliun dengan menggunakan dana cadangan yang dimiliki oleh LPS berdasarkan persetujuan KKSK. Cara ini dinilai kurang efektif, sehingga perlu ada peraturan setingkat undang-undang yang lebih mengikat berbagai pihak terkait. Peraturan baru itu adalah UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU-PPKSK) yang ditetapkan DPR pada tanggal 17 Maret 2016 yang lalu.
Tujuan utama UU PPKSK adalah mencegah terjadinya krisis keuangan dengan menangani permasalahan bank sistemik. Apa definisi bank sistemik? Bank sistemik atau domestic systemically important banks adalah bank dengan skala operasi yang besar, bermodal besar, mempunyai anak usaha yang melakukan operasi di bidang lain, mempunyai interkoneksi dengan lembaga keuangan lain, dll. Daftar bank sistemik akan ditetapkan oleh OJK tiga bulan setelah UU ini disahkan dan kemudian dievaluasi setiap enam bulan sekali.
UU ini dimaksudkan untuk menjadi senjata ampuh bagi otoritas pengendali keuangan untuk menghadapi krisis yang suatu saat bisa menerjang perekonomian. Prinsip menangani krisis adalah menjaga kesehatan perbankan agar kebal terhadap krisis, atau dengan kata lain “lebih baik mencegah daripada mengobati”.
Upaya pencegahan dan penanganan krisis dalam UU tersebut adalah sbb:
· Memperkuat peran empat lembaga yang bergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK), yaitu Kementerian Keuangan (Kemkeu), Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Ke empat lembaga keuangan ini masing-masing harus melaksanakan upaya mencegah krisis; dan secara bersama-sama melakukan pemantauan dan penanganan kondisi krisis sistem keuangan.
· Menangani permasalahan bank sistemik dilakukan dengan mengedepankan konsep bail-in, yaitu menggunakan sumber daya bank itu sendiri yang dapat berasal dari pemegang saham dan kreditur bank, hasil pengelolaan aset dan kewajiban bank, atau kontribusi industri perbankan. Pendekatan ini direkomendasikan oleh Financial Stability Board (FSB) dan menjadi praktik yang lazim diterapkan di negara-negara G-20 dimana Indonesia menjadi salah satu anggotanya. Konsep yang lama yaitu bail-out dinilai terlalu banyak mengorbankan ekonomi nasional.
· Menangani permasalahan bank sejak dini dan gradual. Jika masalah bank tersebut tidak selesai, maka dilakukan treatment yang lebih lengkap.
· Memfungsikan Presiden sebagai penentu terakhir dalam memutuskan apakah akan menggunakan dana APBN untuk menambah modal bagi bank yang mengalami krisis parah, dengan mempertimbangkan rekomendasi yang diajukan KKSK.
Adapun mekanisme penyelamatan bank dilakukan sbb:
Apabila ada bank sakit, BI akan menilai apakah ada masalah likuiditas (modal cukup tetapi tidak mempunyai dana segar) atau solvabilitas (modal tidak cukup untuk menutupi kewajiban). Jika dana segar kurang, maka BI akan memberikan pinjaman jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah.
Jika setelah mendapat tambahan vitamin dari BI bank itu belum sembuh, maka bank meriang tadi dirujuk ke OJK. OJK memeriksa lebih seksama lagi kondisi bank tersebut, dengan menghitung berapa aset dan kewajiban yang dimiliki. OJK akan meminta bank tersebut untuk menambah modal dengan kemampuan sendiri (bail-in). Pada tahap ini, OJK sudah mengundang LPS untuk ikut memeriksa kondisi bank yang sakit tadi, agar dapat menganalisis sejak dini berbagai kemungkinan yang bisa terjadi.
Jika kondisi bank tidak pulih juga setelah dilakukan upaya menambah modal sesuai saran OJK, maka bank itu dirujuk ke LPS. LPS akan melakukan beberapa cara baru untuk meningkatkan modal bank sakit tadi, yaitu: (1) aset dan kewajiban milik bank tersebut dilelang ke investor atau ke bank lainnya, (2) aset dan kewajiban tersebut ditampung sementara oleh bank perantara yang dikelola oleh LPS, untuk dilelang lagi ke investor jika pasar finansial sudah membaik, dan (3) menerbitkan obligasi untuk menambah modal bank tersebut jika dana LPS sudah habis.
Jika masih belum sembuh juga, sementara stabilitas sistem keuangan dikhawatirkan terganggu sebagai dampak dari sakitnya bank tersebut, maka LPS akan mengirim data-data bank sakit parah tadi ke KSSK. Di meja rapat KSSK, ke empat dokter spesialis (Kemkeu, BI, LPS dan OJK) membeberkan analisis dan solusi. Solusi yang disepakati kemudian disampaikan kepada presiden untuk diputuskan.
Apakah kondisi perbankan saat ini mendekati krisis sehingga UU ini dikeluarkan? Tidak. Karena menurut LPS, CAR (rasio kecukupan modal) perbankan saat ini cukup baik, yaitu sekitar 21-22 persen, jadi cukup sehat, jauh di atas indikator kesehatan bank yang 8 persen. LPS saat ini juga memiliki modal sekitar Rp67 triliun untuk berjaga-jaga jika ada bank yang sakit.
Apakah Undang-Undang ini akan menjadi obat mujarab mengatasi krisis perbankan? Belum tentu, karena belum terbukti keampuhannya. Namun, setidak-tidaknya otoritas keuangan negara ini sudah mempunyai aturan main untuk menghadapi krisis keuangan jika suatu saat akan datang lagi.
Saran kecil: ada baiknya dilakukan simulasi menangani suatu bank yang sakit, agar dapat diketahui bagaimana reaksi bank tersebut dalam menjalani terapi yang diwajibkan otoritas keuangan (Kemkeu, BI, OJK, dan LPS). Siapa tahu ada kiat-kiat baru untuk membuat resep anti krisis moneter ini lebih mujarab.
[caption caption="sp.beritasatu.com"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H