Demonstrasi para pengemudi taksi konvensional pada hari Selasa 15 Maret 2016 ini membuat saya pada mulanya membatin: “rasakanlah hukumanmu.” Saya termasuk orang yang sering mendapat pengalaman buruk saat menggunakan jasa angkutan umum bernama taksi ini. Menunggu taksi kosong lebih dari 30 menit adalah peristiwa sehari-hari walau menunggunya di jalan yang ramai. Tidak hanya di jalan raya, di bandara Soekarno Hatta pun, pada waktu-waktu tertentu antrian taksi sangat panjang. Udara pengap di dalam mobil karena bau rokok adalah situasi yang paling saya benci. Karena terlanjur sudah duduk, maka saya enggan untuk keluar mobil, kuatir tidak mendapat taksi lagi. Tidak hanya sekali, supir taksi yang saya tumpangi sengaja mencari jalur yang lebih jauh untuk mencapai tujuan. Saya tidak bisa menegur karena tidak tahu pasti mana jalur yang lebih pendek, hanya perasaan saja yang menyimpulkan supir taksi telah bertindak tidak jujur agar saya membayar lebih banyak.
Kejadian lain, saya harus tawar menawar harga naik taksi ke suatu tujuan karena supir taksi ngotot tidak menggunakan argometer. Ketidaksukaan saya terhadap taksi semakin mengental manakala membaca peristiwa kriminal dengan menggunakan taksi. Saya sampai sekarang tidak berani naik taksi pada malam hari, kecuali taksi tertentu. Itulah pengalaman saya menggunakan taksi di ibukota negara kita.
Saya tahu, tidak semua mempunyai pengalaman yang buruk seperti saya. Saya pun tidak selalu mendapat pengalaman buruk, seperti ketika mendapatkan supir taksi yang bicaranya sopan dan cara mengemudinya santun. Jangan salahkan saya, kalau saya cenderung memilih taksi yang kemungkinan mendapatkan pengemudinya berlaku sopan santun lebih besar daripada taksi lain yang kemungkinannya lebih kecil.
Kemudian datanglah taksi Uber dan Grabcar di Jakarta, yang menawarkan jasa angkutan umum yang lebih murah, lebih pasti, lebih aman dan lebih nyaman. Bukankah layanan seperti itu yang diharapkan oleh konsumen pengguna taksi? Oleh karena itu, masyarakat sangat menyambut baik kehadiran taksi online ini. Taksi-taksi konvensional menjadi tidak lagi menarik, tanpa kecuali. Taksi model lambaian tangan sambil teriak ini hanya diingat orang saat HP tidak berfungsi. Jaman rupanya sedang berubah di bisnis jasa angkutan umum jenis taksi (dan saudaranya: ojek).
Perubahan itu konon terjadi lebih dulu di Amerika Serikat tepatnya di California kemudian menyebar ke seluruh dunia. Di berbagai kota khususnya di negara-negara maju, taksi berbasis aplikasi sudah marak sejak beberapa tahun yang lalu. Tidak hanya satu atau dua perusahaan di suatu kota, tetapi bisa beberapa perusahaan jasa taksi berbasis aplikasi. Agar menang dalam persaingan sesama mereka, masing-masing pemilik taksi jenis ini pun menggunakan berbagai cara. Ada yang supirnya memakai kostum batman, ada yang bagian depan taksinya dihiasi dengan hiasan seperti kumis berwarna merah muda, ada yang menawarkan musik sesuai selera penumpang, dsb. Tentunya semua dimaksudkan agar memberikan kepuasan lebih besar bagi pengemudi.
Namun tentu saja kehadiran mereka juga diprotes oleh pengusaha taksi konvensional seperti yang terjadi Jakarta. Di beberapa kota, taksi berbasis aplikasi sama sekali dilarang beroperasi. Di kota-kota lain, taksi online harus menyesuaikan dengan peraturan yang berlaku pada taksi konvensional. Saat ini di banyak kota di dunia, titik temu antara dua jenis usaha taksi ini masih dicari.
Kembali pada demostrasi pengemudi taksi yang memprotes keberadaan taksi berbasis aplikasi online, dalam hati saya juga merasa iba. Mereka adalah seperti saya juga yang setiap hari mencari sesuap nasi. Kalau penghasilan semakin berkurang karena kalah bersaing dengan taksi berbasis internet, terbayang kesusahan yang akan terjadi pada hari-hari esok. Pengalaman mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari sebagian taksi konvensional kepada saya selama ini agak terlupakan mengingat kesulitan yang mereka hadapi itu. Jadi saya senang ketika Menteri Kominfo menyatakan bahwa pemerintah sedang mengusahakan ada perlakuan yang adil kepada ke dua jenis usaha taksi ini, dan berjanji dalam waktu tidak lama persoalan itu dapat diselesaikan.
Inti dari solusinya adalah taksi berbasis aplikasi online harus juga memenuhi peraturan yang diberlakukan kepada taksi konvensional. Jadi pengemudi harus terdaftar, membayar pajak, mempunyai SIM yang sesuai, kendaraan harus lulus uji kelaikan, dsb. Tujuan utamanya adalah untuk menjaga keselamatan penumpang dan orang lain, mengurangi polusi, dan menambah pendapatan negara.
Namun kalau peraturannya ribet seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan, dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum, di mana usaha angkutan umum harus berbadan hukum, mempunyai akta pendirian usaha transportasi yang sah, mempunyai surat domisili, tanda daftar perusahaan, surat izin usaha, menguasai pul, dan mengantongi surat pernyataan memiliki atau menguasai minimal lima armada, dsb..dsb.nya, maka peraturan itu kiranya harus ditinjau kembali dalam kaitannya dengan taksi online.
Harapannya, solusi itu jangan tertunda lagi. Harap ingat bahwa Menteri Perhubungan sampai meminta Menteri Kominfo agar layanan aplikasi online Uber dan Grabcar dibekukan karena rupanya kesal sudah mewajibkan pengusaha taksi online untuk mengurus surat-surat yang diperlukan sejak setahun lalu tetapi tidak digubris sampai masalahnya memuncak seperti sekarang ini.
Saya berharap agar solusi yang adil dapat dicapai dan kedua jenis usaha taksi ini dapat hidup berdampingan. Masing-masing mempunyai kekhususan yang diperlukan konsumen, dan konsumen dapat memilih taksi jenis mana yang ia ingin pergunakan. Taksi konvensional mestinya juga berubah jika tidak mau ditinggalkan konsumen, dan taksi online mestinya juga tunduk pada peraturan angkutan umum. Pemerintah perlu lebih responsif, tetap kokoh pada kebijakan mengutamakan kepentingan konsumen, dan lebih peka lagi terhadap masalah-masalah yang dialami rakyat.