Ada pernah menikmati kue terang bulan? Sebutan lain kue ini adalah martabak manis, martabak bangka atau kue bulan saja. Beruntunghlah Anda, dapat menikmati kue terang bulan di bawah pancaran lampu listrik yang terang benderang. Namun percayakah Anda bahwa sebagian rakyat Indonesia hanya dapat menikmati terangnya sinar bulan purnama sebagai sumber penerangan di malam hari karena tidak ada listrik? (Mereka ini warga negara Indonesia juga lho, seperti Anda dan saya.)
***
Saat ini, ada 12.659 dari total 74.754 desa di Indonesia yang belum dialiri listrik PLN. Dari jumlah itu, 2.519 di antaranya belum terlistriki sama sekali, alias gelap gulita pada malam hari. Penduduk di desa-desa itu merupakan sebagian dari 15% rakyat Indonesia yang belum menikmati listrik PLN di rumahnya. (Ya, masih ada jutaan penduduk yang belum teraliri listrik PLN, alias tidak bisa menonton televisi, tidak memiliki kulkas atau kipas angin, dan anak-anak harus belajar dalam cahaya remang-remang lampu teplok.)
Sebagian besar desa yang belum berlistrik tersebut (sekitar 65%), terletak di enam provinsi kawasan timur Indonesia. Tingkat elektrifikasi di wilayah timur Indonesia tersebut memang lebih rendah dari wilayah barat Indonesia, yaitu 74 persen (Maluku), 60 persen (Papua Barat), dan 48 persen (Papua). Jangan kaget jika di sana ada 18 kabupaten yang sama sekali belum terjangkau oleh listrik PLN, yaitu Pegunungan Bintang, Tolikara, Yahukimo, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Mamberamo Raya, Mamberamo Tengah, Puncak, Nduga, Intan Jaya, Yalimo, Supiori, Paniai, Dogiyai, Deiyai, Teluk Wondama, Tambraw, dan Maybrat. (Agaknya tidak patut mengulang-ulang sila ke 5 Pancasila yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia kalau masih ada satu pun kabupaten yang belum teraliri listrik PLN.)
***
Mengapa PLN belum masuk ke daerah-daerah tersebut? Alasan yang umum adalah: ... pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan di desa daerah terdepan, perbatasan, dan pulau-pulau kecil tidak ekonomis secara bisnis, sehingga tidak ada investor yang berminat. Selain itu, … populasi penduduk rata-rata sedikit dengan tingkat kepadatan yang rendah. (Bukankah dari sejak dulu memang seperti itu keadaannya?.) Implikasinya, membangun jaringan listrik PLN menjadi sangat mahal dan membuat hitung-hitungan ekonomi PLN menjadi rugi. (Siapa yang menyuruh PLN harus untung di mana-mana? Wah, ini DPR yang harus menjawab.)
***
Untunglah pemerintah yang sekarang mempunyai solusi yang konkrit. “Pemerintah akan memberikan perhatian lebih khusus kepada masyarakat di desa-desa tertinggal supaya mereka dapat segera terlayani listrik”, demikian kata Menteri Sudirman Said akhir Februari lalu. “Tanpa kebijakan dan aksi yang berpihak, desa-desa tersebut mustahil bisa mengakses listrik sesuai target yang telah dicanangkan”, tambahnya. Selanjutnya: “Jika listrik sudah masuk ke desa, maka akan menumbuhkembangkan perekonomian lokal, kegiatan usaha berjalan, dan pendapatan masyarakat dan negara meningkat.” (Sangat masuk akal penjelasan ini.)
Maka negara akan hadir untuk menjembatani jurang keekonomian antara biaya produksi listrik yang mahal dengan tarif yang terjangkau rakyat dengan skema antara lain penyediaan infrastruktur, feed in tariff, dan subsidi harga. Rencana ini dikemas dalam Program Indonesia Terang (disingkat PIT). (Kalau dulu namanya Program Listrik Masuk Desa, dll.)
Pemerintah menargetkan tingkat elektrifikasi akan mencapai 97% pada 2019. Hingga akhir 2019 nanti, PIT akan berupaya memasok listrik ke 10.300 desa. Di tahap awal, PIT akan melistriki 6.926 desa di enam provinsi, yaitu Papua, Papua Timur, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Dari wilayah timur, PIT akan dikembangkan ke bagian barat Indonesia. Total kapasitas yang akan dibangun di enam provinsi tadi adalah 180 MW dengan asumsi penggunaan listrik per hari 600 watt per jam per kepala keluarga. (Lumayan, dapat menonton televisi dan menggunakan internet seperti rakyat Indonesia lain.)
***
Strategi implementasi PIT adalah memaksimalkan pemanfaatan energi setempat, tidak dengan mendatangkan listrik dari luar desa. Energi setempat dapat berupa energi surya, angin, biomasa, pasang surut laut, gelombang laut, air (sungai), dsb; semuanya bersifat terbarukan sehingga mendukung target 23% energi terbarukan secara nasional pada tahun 2025. (Sambil menyelam minum air...)
Dengan memanfaatkan energi setempat itu, pembangkit listrik dapat dibangun secara lokal (off-grid), berbasis desa atau pulau, sesuai dengan kondisi geografis sebagian besar wilayah timur Indonesia. Tidak perlu kuatir kekurangan sumber energi terbarukan, karena potensinya lebih dari 300.000 MW, yang sudah dimanfaatkan baru 3%. (Artinya sebagian besar potensi ini telah lama tersia-siakan.)
Pemerintah menugaskan PLN Regional Maluku dan Papua, serta Regional Nusa Tenggara untuk mewujudkan PIT. Tapi swasta juga sangat welcome untuk terlibat. Jika pihak swasta menyediakan energinya, PLN akan membelinya, dan pemerintah akan memberikan subsidi bagi masyarakat agar harganya terjangkau.
***
Untuk mengadakan listrik di 10.300 desa tersebut, pemerintah mengalokasikan dana Rp 40 triliun. Biaya ini tidak bisa dianggap mahal, karena selama 10 tahun terakhir, pemerintah sudah mengeluarkan dana subsidi BBM sebanyak Rp2.600 triliun, yang penerimanya sebagian besar masyarakat yang relatif lebih mampu seperti Anda. Anggaran ini belum tertampung dalam APBN 2016 (mungkin karena persiapannya belum matang), jadi baru akan diajukan dalam APBN Perubahan 2016. Jika DPR setuju, maka Kementerian Keuangan akan menggelontorkan dananya, apakah melalui dana alokasi khusus (DAK) bidang energi, atau dana bagi hasil migas, atau dana desa.
Untuk mempercepat program ini pemerintah daerah dapat ikut terlibat, yaitu melalui badan usaha milik daerah, bahkan badan usaha milik desa. Sebagai model, PLN di Batam dan Tarakan, membentuk perusahaan bersama dengan pemda, dan DPRD menentukan tarifnya serta besaran subsidi yang dibiayai dengan anggaran APBD.
(Sebetulnya kalau pemerintah mau, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dapat melaksanakan program elektrifikasi desa seperti ini sejak dulu. Tetapi mungkin karena banyak satuan kerja yang masing-masing memerlukan anggaran untuk melaksanakan aktivitas stafnya, maka kegiatannya menjadi tidak fokus, dan tersebar di berbagai daerah sehingga hasilnya kurang terlihat. Tetapi hal ini sudah dikoreksi dengan menetapkan kebijakan anggaran berbasis program, bukan berbasis satuan kerja. Bravo Presiden Jokowi.)
Kita harapkan Program Indonesia Terang ini berhasil baik, agar Kompasiana dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.
Merdeka!
[caption caption="kusnantokarasan2014.files.wordpress.com/2015/02/2pln.jpg"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H