Jakarta adalah kota yang kejam, keras dan sangar. Coba perhatikan keadaan sekitar anda yang tinggal di Jakarta sekarang ini. Puluhan orang berdiri di pinggir-pinggir jalan menunggu kendaraan umum, lalu berebutan naik saat kendaraan tiba, tidak ada jadwal yang memberitahu kapan angkutan umum itu tiba dan berangkat, kecuali kereta api. Mobil-mobil kesulitan mencari tempat parkir, para pengemudi ojek terpaksa harus berebut mencari penumpang, pedagang kecil harus berjualan di pedestrian karena keterbatasan ruang usaha, sebagian orang terpaksa menjadi pengemis, meminta sedekah dari pengendara mobil. Di koran-koran selalu terdapat berita pembunuhan, penipuan, tindakan kekerasan, perkosaan dsb; yang terjadi di pasar, pertokoan, perumahan, dll. Para orangtua cemas kalau anaknya belum pulang jika hari sudah gelap, kuatir dipalak, dijahati atau diperkosa. Tawuran pelajar menjadi kejadian rutin. Penggunaan dan perdagangan narkoba merajalela. Kemacetan terjadi merata di semua wilayah, sejak dini hari hingga larut malam. Kecelakaan lalulintas menjadi berita rutin radio El Shinta, yang selalu menyiarkan berita-berita baru tentang berbagai kejadian di Jakarta khususnya. Pengguna motor harus mencari celah-celah sempit untuk bisa lewat, sementara mobil-mobil mengokupasi jalan dan mudah membunyikan klakson manakala ada kendaraan lain mau menyalip. Jalanan terasa sangar, tidak ada sopan santun lalulintas. Sampai di rumah, air ledeng tidak selalu mengalir, untuk minum harus membeli dari penjaja air keliling atau ke toko swalayan.
Itu tadi sebagian sisi gelap wajah kota Jakarta. Masih banyak lagi ketidaknyamanan hidup bagi penduduk berpenghasilan rendah yang bekerja atau berdiam di Jakarta. Mereka terpaksa menerima keadaan yang menyengsarakan ini dengan berat hati, sambil berharap agar segera terjadi perubahan ke arah yang lebih baik dibawah kepemimpinan pemerintah kota, yang sekarang ini dipimpin oleh Ahok, panggilan akrabnya.
Tapi masalah yang dihadapi rakyat jelata tadi bukan monopoli Jakarta. Kota-kota besar lain di dunia menghadapi masalah yang sama, kecuali kota-kota besar di Eropa, Amerika Utara, Jepang dan Australia, yang masalahnya lain lagi. Kekejaman Jakarta bahkan tidak separah kota-kota besar di negara berkembang lain. Menurut Robert Muggah (2015), 40 dari 50 kota paling keras di dunia ada di Amerika Latin. Di kota yang paling keras menurut sumber itu, tingkat kematian karena kekerasan sebanyak 187 orang per 100.000 penduduk. Jakarta jauh lebih aman jika dibandingkan dengan kota tersangar itu.
Yang mengkuatirkan adalah bahwa kota-kota yang keras itu jumlahnya semakin banyak dan bergeser ke belahan bumi bagian selatan, yaitu ke Afrika dan Asia. Kekerasan kota tidak hanya terjadi di negara-negara yang sedang mengalami perang seperti di Suriah dan Irak, Palestina-Israel, dan beberapa negara di Afrika lain, melainkan tersebar di banyak negara berkembang. Tidak heran jika terjadi gelombang pengungsian manusia dari kota-kota yang kehidupannya keras di negara-negara berkembang ke kota-kota yang aman dan damai di negara-negara maju.
Faktor utama kekerasan kehidupan kota adalah ketidaksiapan pemerintah menghadapi urbanisasi, disamping akibat konflik dan perang. Di banyak negara berkembang, tingkat pertambahan jumlah penduduk kota sangat cepat, sehingga menyulitkan pemerintah kota untuk menyediakan prasarana dan sarana perkotaan yang diperlukan. Fenomena “urbanisasi turbo” ini, meminjam istilah Muggah, tidak dialami oleh kota-kota di negara-negara maju sehingga tidak ada masalah perkotaan yang akut, seperti yang digambarkan terjadi di Jakarta itu tadi. Sebagai contoh, kota New York mencapai jumlah penduduk 8 juta orang sekarang ini dalam waktu 150 tahun, sementara kota-kota besar di negara berkembang mencapai jumlah penduduk yang sama hanya dalam hitungan belasan tahun dari posisi awal yang sama.
Dibalik pertambahan jumlah penduduk yang mendadak banyak ini, ada faktor ikutan lain yang lebih menentukan, yaitu karakter dari penduduk kota-kota besar itu. Proporsi penduduk usia muda di kota-kota besar negara berkembang jauh lebih tinggi daripada di negara-negara maju. Sebagai ilustrasi, separoh dari jumlah penduduk kota di Afrika berusia 16 tahun, kontras dengan Tokyo yang rata-rata penduduknya berusia 46 tahun. Penduduk usia muda cenderung lebih banyak makan, lebih temperamental, lebih susah diatur daripada penduduk usia tua. Apalagi jika kebutuhan pendidikan, lapangan kerja, sarana olahraga dan rekreasi tidak terpenuhi, maka kriminalitas dan kekerasan hidup menjadi peristiwa sehari-hari. Jadi bukan hanya jumlah atau kepadatan penduduk yang menentukan tingkat kriminalitas suatu kota, melainkan juga karakter dari mayoritas penduduknya. Metropolitan Tokyo, misalnya, jumlah penduduknya 35 juta orang dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi tetapi termasuk kota besar paling aman di dunia.
Kembali ke Jakarta, gelombang perpindahan penduduk masuk ke Jakarta dan sekitarnya akan semakin besar pada tahun-tahun mendatang. Para pendatang itu, termasuk kerabat saya mungkin, memerlukan sekolah, taman, jalan, rumah, listrik, air minum, dsb. Sanggupkah Ahok menyediakan semua kebutuhan itu? Sebagian sudah dipenuhinya, seperti bis-bis Transjakarta yang semakin banyak, rusun-rusun untuk menampung penduduk yang direlokasi dari bantaran sungai, jalan-jalan raya yang semakin panjang, sekolah-sekolah yang semakin bagus penampilannya, sungai-sungai yang semakin bening dan lebar, kereta bawah tanah dan kereta layang yang sedang dalam pengerjaan, dsb. Namun kebutuhan lain warga kota Jakarta masih belum terpenuhi, khususnya yang terkait dengan rasa aman, nyaman dan keharmonisan sosial. Cukup menjadikan Singapura sebagai acuan, maka kota Jakarta dibawah Gubernur Ahok sekarang ini masih jauh tertinggal. Ahok mungkin belum lulus menjadi gubernur yang bisa menyulap Jakarta menjadi kota metropolitan yang aman, inklusif dan nyaman selama 5 tahun masa baktinya. Bahkan sampai akhir periode keduanya pun, kalau terpilih lagi pada pilkada 2017, ia mungkin masih belum bisa menjadikan Jakarta seperti Singapura, mengingat kompleksitas masalahnya.
Untuk itu, sejak sekarang sudah perlu disiapkan siapa gubernur Jakarta setelah periode Ahok berakhir. Jangan sampai upaya Ahok selama 10 tahun kepemimpinannya, jika ia terpilih kembali, menjadi rusak karena kepemimpinan penggantinya yang kurang kompeten, kurang amanah dan kurang tegas. Ada baiknya semua pihak berpikir dan bertindak secara ikhlas dan rasional untuk kepentingan yang lebih besar, demi Jakarta dan demi Indonesia; dengan menyiapkan pemimpin kota Jakarta yang minimal sekualitas Ahok, sejak sekarang.
Sumber: Robert Muggah, How to protect fast-growing cities from failing, TED, Jan 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H