“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”― Pramoedya Ananta Toer
Sedikit kutipan seorang sastrawan yang penuh makna dan kekuatan. Kutipan yang cukup menginspirasi muda-mudi untuk menumbuhkan bakat dan minat yang cukup lama “tertidur“. Dialah Pramoedya Ananta Toer.
Seorang sastrawan Indonesia yang amat produktif melahirkan karya-karya besar semasa hidupnya.
Dari jejak biografinya, beliau merupakan seorang sastrawan yang penuh kontroversi pada jamannya. Ia aktif mengkritik lewat tulisan-tulisannya. Bahkan ada beberapa karyanya yang dianggap cukup membahayakan pada masa itu, sehingga jeruji penjara hingga pengasingan di pulau-pulau terpencil sempat di rasakannya. Bukannya berhenti menulis, dimasa pengasingan dirinya, beliau bahkan sempat diam-diam menetaskan buah pemikiran ke dalam tulisan.
Saking dianggap berbahaya karena karya beliau banyak berisi kritikan pada pemerintahan, sejumlah karyanya dilarang untuk beredar.
Bahkan ketika ia dianugerahi penghargaan Ramon Magsaysay Award, sejumlah sastrawan Indonesia ikut memprotes dan melayangkan suara mereka agar penghargaan tersebut tidak diberikan, sebab pemberian penghargaan kepada Pramoedya diaggap mereka sebagai suatu kecerobohan.
Pada kenyataannya, karyanya memang sungguh luar biasa. Sebagai seorang muda yang sedang menggali jati diri, tentu ada keinginan untuk mengikuti jejak karya Pramoedya dalam menciptakan karya tulis yang luar biasa. Jiwa Pramoedya dalam berkarya harus diwarisi oleh pemuda-pemudi bangsa ini. Beliau adalah salah satu dari sekian sastrawan Indonesia yang patut untuk dibanggakan.
Banyak orang yang menganggap bahwa tulis menulis adalah pekerjaan yang sulit. Yang membutuhkan keahlian atau bahkan bakat turunan dari Tuhan.
Merangkai kata tak hanya sekadar supaya enak untuk dibaca, namun harus mampu menyelipkan makna dan pembelajaran bagi yang membaca. Tentu tidak mudah menuangkan pemikiran ke dalam sebuah naskah tulisan, realita yang menjadi bahan penulisan atau kadang berkaitan erat dengan perasaan sang penulis.
Memulai adalah hal yang paling sulit. Bahkan ketika keinginan untuk menceritakan sesuatu yang terjadi sudah sangat kuat, lagi-lagi ide yang ada dikepala harus mengalah karena tak tahu harus memulai dari ‘kata’ apa. Itu kendala besarnya. Hal itu yang saya rasakan berulang-ulang sejak mengenal dunia kepenulisan.
Awalnya, bingung dan tidak tahu harus memulai dari mana. Setelah memulai sepatah dua patah kata, ada kendala lain yang mesti dihadapi. Rasa takut. Saya sangat takut bila tulisan yang saya hasilkan dibaca orang lain. Takut dikritik. Takut dikomentar. Takut topik pembahasan yang saya angkat tidak diterima. Takut dibilang buah pemikiran saya tidak masuk akal dan lain-lain. Takut tidak ada yang bisa memahami apa yang ingin saya sampaikan dalam tulisan. Akhirnya, keinginan untuk menulis kembali terkikis.
Dalam tulisannya, Pramoedya pernah menyatakan bahwa “Menulis adalah sebuah keberanian” (P.A.T)
Keberanian untuk mengungkapkan ide, gagasan dan pemikiran dalam bentuk tulisan. Keberanian untuk mengkritik sesuatu yang dianggap menyimpang. Keberanian untuk dibaca orang lain. Keberanian untuk menyampaikan protes, meminta keadilan, menyerukan suatu tindakan, dan keberanian untuk membebaskan diri.
Selain itu, keberanian yang tersirat dalam kutipan Pramoedya juga bermakna bahwa seorang penulis harus berani untuk menerima kritikan, komentar, di hujat, di debat dan sebagainya. Karena tanpa itu semua, seorang penulis tidak akan pernah mengetahui kelemahan ataupun kesalahan dalam penulisannya.
Kutipan dari sastrawan asal Blora, Jawa Tengah, ini juga kemudian sedikit banyaknya membuat saya cukup berani untuk menuliskan apa yang saya pikirkan. Lho, Kenapa mesti takut menulis? Toh, kita bukan lagi dijaman penjajahan. Yang dijajah secara fisik dan pikiran. Tidak ada kebebasan berpendapat. Apalagi di media sosial seperti saat ini. Mari beranikan diri untuk menulis. Ungkapkan lewat tulisan segala kegundahgulanaan. Abadikan sejarah lewat tulisan. Tidak ada yang akan mengasingkan kita ke pulau-pulau setelah itu.
Dengan modal keberanian, semua kesulitan akan teratasi. Berani salah, berani bertanya, berani memperbaiki dan kemudian berani menjadi bagian dari sejarah yang akan dikenang oleh generasi akan datang.
Meski masih jauh dari kata terarah dan sangat kaku dalam pembahasaan, tapi inilah yang disebut Pramoedya sebagai ‘Keberanian’.
Yang namanya memulai tidak langsung menjadi baik, ada proses yang harus dijejali. Dan dalam proses itu ada yang namanya gagal, jatuh tapi harus tetap bangkit lagi.
Menulis adalah sebuah pekerjaan yang membutuhkan keseimbangan antara emosi, pikiran dan kondisi badan…
Emosi yang stabil akan melahirkan karya yang baik, pikiran yang jernih akan melahirkan karya yang baik, kondisi badan yang sehat akan melahirkan karya yang baik, karena sesungguhnya semua karya adalah terbaik bagi yang telah melakukan keberanian untuk berkarya.
Namun emosi yang stabil di iringi pikiran yang jernih dan kondisi kesehatan yang prima akan melahirkan buah karya yang luar biasa.
Semoga semangat dari Pramoedya yang tetap memutuskan untuk menulis hingga usia senjanya, turut mengalir ke dalam jiwa anak muda pada saat ini. Semoga akan ada lagi anak muda yang melahirkan karya besar dan menjadi catatan sejarah seperti Pramoedya (dan tentu seperti kawan-kawan penulis besar lainnya).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H