Bising suara orang berbicara di sekitar rumah membuatku terjaga. Samar-samar terdengar, “IndiHome sudah bisa masuk.” Aku terhenyak sebentar mendengarnya.
Nyawaku belum sepenuhnya terkumpul, masih separuh berada di alam khayal. Sulit untuk dipercaya, walau IndiHome adalah internet provider dari Telkom Indonesia, desa ini terlalu jauh dari ibukota.
Perlu waktu 3-4 jam perjalanan dengan motor air untuk menjangkau kampung kami. Mimpi apa perusahaan sebesar IndiHome masuk kemari? Meski aku tahu mereka bagian dari BUMN.
Membasuh muka, aku lalu mendekati pintu rumah. Terlihat bapak-bapak yang baru pulang dari kebun, berkumpul dan memandangi 2 orang tengah mengulur kabel.
Pria-pria berseragam merah putih itu tampak sibuk menyambungkan kabel dari satu tower ke rumah warga.
Kupalingkan wajah ke arah tower. Tiang telkom Indonesia itu memang telah lama berdiri, menjadi penyelamat desa kami untuk mengakses layanan internet. Rangka-rangka besi itu menjadi penyambung internet provider dengan gawai yang kami genggam.
Dari balik seragam mereka terpampang jelas nama IndiHome. Oh, berarti benar! Mataku cerah seketika. Otakku berputar dengan cepat. Keberadaan IndiHome artinya akses internet lebih baik dan lebih banyak, aku bisa membuat konten tanpa takut kuota internet habis.
Waktunya telah tiba untuk berkonten ria bersama IndiHome. Tinggal meyakinkan emak (ibu) untuk memasangnya di rumah. Oke, semua mudah diatur.
Jujur saja, Mak akan mengomel jika paket kuota-ku habis dengan cepat.
“Paket internetmu itu mahal! Jangan sering-sering nonton YouTube, atau buka yang joget-joget itu.” ucap mak kalau aku minta uang untuk membeli paket kuota.
Mak tidak tahu saja, mencari ide dan bahan untuk konten membutuhkan kuota internet, belum lagi saat mengunggahnya.
Jika hanya berupa karya tulis atau foto tentu tidak seberapa, tetapi bila dalam bentuk video, kuotaku cepat terkuras.
Aku akan membujuk mak, mengeluarkan jurus seribu rayuan, agar produk dari Telkom Indonesia itu bisa tersambung ke rumah. Pucuk dicinta, emak pun tiba.
Emak dan ibu-ibu yang lain baru pulang dari balai desa. Mereka hanya menoleh sekilas ke arah kerumunan bapak-bapak yang memang hobi berkumpul.
Melihatku di depan pintu rumah, emak hanya mengerutkan dahinya. Mungkin dalam pikirnya tumben anak gadis ini mau berdiri di luar rumah, biasanya hanya di dalam kamar atau di depan tv.
“Kamu lagi apa di luar, dek?” tanya mak sembari masuk ke dalam rumah.
Aku mengikuti langkah mak yang duduk di depan tv.
“Itu mak, lihat orang IndiHome pasang internet.”
“IndiHome itu apa?”
“Wi-Fi, mak. Bisa internetan.” ujarku kepada emak yang tampak bingung.
“Kan sudah ada internet di hp, buat apalagi Wi-Fi?”
“Kalau mak pasang IndiHome di rumah kita, tak perlu lagi nonton konser dangdut atau pelawak dari hp. Emak bisa nonton semuanya di tv.”
“Pindah nonton di tv? Bisa begitu?”
“Bisa, tinggal masukkan saja kata sandinya, langsung tersambung, emak juga enak nanti nonton di tv besar.”
“Mahal tidak?”
“Katanya 300 ribuan mak sebulan.”
“Ah, mahal! Tak usahlah, nonton di hp aja.”
“Tidak mahal mak. Nanti mak tak perlu keluar uang lagi untuk kuota internet adek, abang, sama si bungsu. Daripada pakai kartu yang sinyalnya hilang datang, lebih bagus pakai IndiHome, mak.”
“Ya sudah. Kamu yang urus ya dek.”
“Siap, mak.”
Dalam benak sudah tergambar berbagai ide konten yang bisa kukerjakan, memanfaatkan jaringan IndiHome.
Mungkin aku bisa juga membujuk emak untuk membuat konten memasak atau berkebun di kampung, atau konten hidup sederhana ala-ala YouTuber.
Aku harus berterima kasih kepada Telkom Indonesia yang menghadirkan IndiHome sebagai internet provider untuk kami, warga di perkampungan nan jauh dari pandangan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H