Sepupu saya yang baru saja tamat sekolah, asyik duduk di depan rumah. Me-scrolling layar hp yang menampilkan akun fandom grup kesayangannya.
Dengan iseng saya bertanya,”Sudah dapat kerja?”
“Sudah masukin lamaran.” jawabnya.
Saat saya bertanya dimana? dengan enteng ia menjawab, kirim CV ke 10 loker yang di posting di Instagram.
Ah, enaknya anak sekarang, tak perlu bersusah payah menulis surat lamaran, menggendong amplop coklat, dan berkunjung langsung ke kantor hanya sekadar memasukkan lamaran.
Mereka cukup mengetik, kirim CV ke alamat email, lalu datang saat ada panggilan interview.
Generasi Z tumbuh di era teknologi berkembang pesat, mulai dari masuknya facebook hingga sekarang TikTok.
Kemampuan generasi Z untuk beradaptasi dengan update-nya teknologi patut diacungi jempol, tetapi di satu sisi membuat mereka terlalu bergantung pada teknologi.
Generasi Z mungkin sanggup berpuasa makan dan minum selama satu bulan di bulan ramadhan, tetapi bagaimana jika berpuasa satu hari tanpa internet?
Kecenderungan penggunaan media sosialnya tinggi, bagaimana mereka tahan menatap layar, menscrolling dari Instagram, pindah ke Twitter, lalu beralih ke TikTok, yang semua itu dapat dilakukan seharian.
Membuat generasi Z update pada perkembangan (isu) di masyarakat, tetapi juga mudah terpapar isu kesenjangan sosial. Postingan yang berbau pamer kekayaan, atau hangout di tempat-tempat viral, tidak bisa dinikmati setiap orang.
Namun, tenang saja di era Gen Z, banyak pebisnis yang melek akan “kelemahan” mereka ini, ada berbagai macam akses untuk mendapatkan uang cepat.
Seiring dengan teknologi yang membuat semua serba instan, kemudahan yang mereka dapatkan melahirkan pribadi-pribadi yang “tak sabaran”.
Jika kurang uang? Tenang ada pinjol.
Ingin belanja, tapi belum gajian? Paylater solusinya.
Ingin jalan-jalan? Ada kok website untuk mencicil tiketnya, semua bisa diatur.
Memang semua fasilitas tersebut sudah ada sejak dulu, lewat kartu kredit. Namun, pengguna kartu kredit adalah mereka yang sudah terverifikasi oleh bank. Kredibilitas mereka untuk membayar cicilan tidak perlu diragukan, walaupun ada kasus kredit macet.
Sementara generasi Z? mereka cukup memasukkan data yang entah benar atau tidak, lalu bermodalkan foto dengan KTP dan nomor rekening, uang sudah masuk ke rekening.
Urusan pembayaran? Mungkin ada yang rutin membayarnya tepat waktu, tetapi yang terjerat pinjol? Tidak usah ditanya berapa banyak.
Di dunia Kerja Generasi Z juga kalangan yang melek isu kesehatan mental, walaupun terkesan lemah dengan jargon “healing”, mereka tahu bagaimana me-treat tubuh agar tidak burn out.
Jika generasi milenial seperti saya manut saja diberi perintah lembur, walau terkadang mengeluh, maka rekan kerja saya yang baru bergabung 3 bulan ini akan “berteriak”, aturan pemerintah untuk lembur itu bla..bla..bla… ia tidak cocok dengan pola otoriter perusahaan, kontrak PKWT yang sisa 3 bulan pun tampaknya tak akan diperpanjang.
Kondisi perkantoran yang kaku dan SOP ketat, serta tekanan kerja yang tinggi, tak seenak profesi influencer, seperti selebgram atau artis TikTok.
Sebenarnya, generasi Z adalah generasi dengan kreatifitas yang tinggi, jiwa mereka lebih bebas dibandingkan generasi atasnya yang kandung lekat dengan aturan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H