Mohon tunggu...
Hugo Hardianto
Hugo Hardianto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

terkadang ketiak yang masih basah menanti untuk diangin-anginkan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Matiku Bahagiamu

6 Mei 2015   23:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:18 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Biarlah orang mati menguburkan orang mati, karena yang sudah mati tidak akan pernah pergi. Kau ingat kan dengan kisah Lazarus, orang mati yang bangkit lagi itu? Aku yakin itu pasti gara-gara ia setelah mati menguburkan dirinya sendiri.”

“Bodoh, itu gara-gara ada nabi yang datang dan membangkitkannya. Mana ada orang mati bisa menguburkan dirinya sendiri. Kalau saja ada, bagaimana dalam hal mandi? Apa dia juga memandikan dirinya sendiri? Orang mati kan juga butuh mandi,” bantahmu sambil berdiri dan beranjak pergi.

“Aku mau mandi, mau ikut?” tambahmu dengan genit.

Aku hanya bisa tersenyum kecut. Kau tahu aku tidak begitu suka mandi bersamamu. Sudah berapa lama kita tinggal bersama dan sudah puluhan kali kau mengajakku mandi bersama. Tidak satu pun ajakan itu aku terima, padahal kau sudah mencoba dengan berbagai cara.

“Demi kemesraan kita,” ungkapmu suatu kali, “lewat persentuhan kulit yang lebih nyata.”

Aku tertawa saja mendengarnya.

“Persentuhan kulit yang nyata? Jangan bercanda. Kita bercinta setiap hari, hal mana yang kurang nyata bagimu?”

“Kehidupan,” jawabmu sambil meninggalkan tanya dalam benakku.

Ah kekasih, bukan karena dirimulah aku tak mau mandi bersamamu. Aku tak suka mandi bersamamu karena sabun. Sabun, kau tahu, sabun itu mematikan tatkala digunakan saat mandi bersama.

Tentu kau tahu cerita ini. Aku sudah menceritakannya puluhan kali. Sabun telah membunuh Ratna, kekasihku yang sebelumnya. Saat itu Jumat kelabu. Kami tidak meninggalkan kamar sejak pagi benar hingga sore hari. Aku sibuk menulis cerita, sedangkan Ratna, aku lupa dengan apa yang dikerjakannya waktu itu.

Tiba-tiba Ratna bangkit dan mengajakku mandi. Tentu saja aku mau, waktu itu. Baru dua langkah masuk ke kamar mandi, kakinya menginjak sabun di lantai dan ia pun terpeleset. Kepalanya menghantam kloset dan semenjak itu ia tak pernah bangun lagi. Konyol memang, bahkan terkesan mengada-ada, akan tetapi kau tertawa keras saat pertama aku menceritakan hal itu.

“Jadi kau seorang pencerita yang dekat dengan kematian?” tanyamu.

“Mungkin saja, karena selama ini banyak juga orang di sekitarku mati sia-sia,” jawabku sambil mengedikkan bahu.

“Aku suka ceritamu,” katamu lagi sambil tersenyum.

Asal kau tahu kekasih, saat kau mengatakan hal itu, aku bersumpah melihat matamu berkilat. Aku melihat kedalaman yang tak tertahankan. Kedalaman itu mengundang aku untuk masuk dan tinggal di dalamnya, meninggalkan kehidupan nyata yang terasa fana. Semenjak saat itu kau tak pernah meninggalkanku, atau sebenarnya aku yang tak ingin ditinggalkan olehmu.

Kekasih, selagi kau mandi, aku teringat juga dengan kematian pak tua yang sering kita jumpai di taman saat kita menikmati senja. Kematiannya baru terjadi dua hari yang lalu. Satu hal yang membuatku gusar adalah sebulan yang lalu kau memintaku untuk menebak-nebak bagaimana pak tua itu akan mati.

“Hey, jangan sembarangan. Aku bukan peramal. Lagi pula tidak baik mendoakan orang tua cepat mati,” kataku menolak keras permintaanmu saat itu.

“Ah, please. Sekali ini saja. Toh selama ini aku tidak pernah meminta apapun darimu.”

“Ya tapi jangan begini juga. Pamali. Lebih baik aku ceritakan kematian sepupuku Mirina saat ia tersedak tusuk gigi. Saat itu di restoran, keluarga ka…”

“Stop. Aku sudah bosan dengan cerita tentang Mirina, atau Ryan, atau Eros, atau Manja. Aku mau sesuatu yang lain, yang unik, yang baru dari dirimu. Aku ingin sekarang kau meramalkan sebuah kisah kematian untukku. Mulailah dari pak tua di taman itu. Jangan takut. Lagi pula kalau nanti ia mati beneran, kan ia sudah tua juga. Sudah cukup masa hidupnya di dunia.”

Saat itu bola matamu berkilat kembali. Aku sungguh tak ingin meramalkan kematian pak tua itu. Namun kulakukan juga apa yang kau minta daripadaku. Kau tahu kekasih, tentu kau tahu, semenjak saat itu aku terjebak dalam matamu.

“Ehm, baiklah,” kataku sedikit serak. “Aku akan mencoba meramalkan kematian pak tua itu.”

Sayang sebenarnya kita tak tahu namanya. Tapi kulihat ia seorang yang agaknya menyedihkan. Setahuku ia telah lama hidup sendiri. Sejak pertama aku melihatnya di taman itu, tidak pernah aku melihatnya bersama-sama dengan orang lain. Raut wajahnya adalah ekpresi kesedihan yang utuh. Tubuhnya sudah bungkuk. Pakaiannya tak pernah berganti. Sepertinya juga ia tidak pernah mandi. Aku rasa ia bahkan tidak pernah meninggalkan taman itu sejak satu dekade yang lalu.

“Ah, terlalu dramatis,” ucapmu memotong ceritaku. “Aku rasa dia orangnya enggak sedih-sedih amat. Buktinya dia selalu menyapa kita kalau kita berpapasan dengannya di taman. Dia juga sering menyanyi bersama beberapa lansia yang datang ke taman itu. Gimana?”

“Kau mau dengar ceritaku atau tidak?” ujarku kesal.

“Iya deh iya,” katamu sambil mencibir.

Dulu, sebelum aku bertemu denganmu, aku pernah sekali berbincang-bincang dengannya. Katanya ia tak butuh lagi orang lain. Ia seorang penyair. Ia bisa hidup cukup dengan udara yang disediakan Tuhan di taman. Ia bisa menghadapi dunia dalam kesendiriannya. Tapi seminggu setelahnya, aku melihat dia menangis meraung-raung di bangku taman. Ia berteriak-teriak menyebutkan sejumlah nama, mungkin keluarganya, dan menyatakan betapa ia merasa kesepian hidup sendiri tanpa kehadiran nama-nama itu. Entahlah, waktu itu terbit dalam pikiranku bahwa pak tua itu sudah gila.

Maka, tampaknya ia akan mati seperti ini. Tubuhnya akan ditemukan membeku di kolong bangku taman. Ia akan mati sendiri, telanjang, karena kesepian dan kesedihan yang menggerogotinya. Di samping kepalanya akan ada tulisan, sebuah puisi tentang kesedihan dan kematian. Ia sudah mati enam jam saat ditemukan pagi hari, pukul setengah enam pagi, saat sinar matahari perlahan menampakkan diri. Mayat pak tua itu akan ditemukan oleh pemudi berbaju pink yang membawa anjing, pemudi yang selalu mencuri-curi pandang kepadaku.

Demikianlah ceritaku itu, atau ramalanku bisa jadi, terlaksana bagai malaikat menggenapinya. Bola matamu berkilat kembali saat membaca berita tentang kematian pak tua itu. Engkau berkaca-kaca, lantas tersenyum kepadaku. Aku tak tahu, saat itu kau sedih atau bahagia.

“Kamu gak bosen tidur terus?” tanyamu sesaat setelah keluar dari kamar mandi. “Ayo dong, bangun. Aku pengen kamu cerita lagi,” katamu sambil naik ke tempat tidur.

“Cerita apa lagi? Aku lagi males buat cerita, masih ngantuk.”

“Aku ingin sekarang kamu meramalkan cerita kematianku.”

“Jangan ngaco kamu. Kamu enggak inget pak tua yang aku ramalin kematiannya sebulan kemarin? Dia mati dua hari yang lalu. Terus gimana kalau kamu sebulan lagi juga mati kalau tak ramal kematianmu? Aku gak mau hal itu terjadi,” kataku tegas. Terbersit setumpuk kekhawatiran dalam diriku.

“Jangan sombong. Kamu baru meramal satu kali bukan berarti ramalanmu akan terjadi lagi.”

“Tidak, aku tidak sombong. Aku hanya mencoba menghindari kemungkinan terburuk yang akan terjadi,” jawabku cepat.

“Ya sudah. Kalau begitu sekarang aku yang akan bercerita. Meramal, bila kau suka menyebutnya seperti itu. Aku akan bercerita tentang kematianmu.”

Kekasih, aku mencoba menebak apa yang ada di pikiranmu saat ini, tapi aku rasa usahaku sia-sia. Seperti biasa, bola matamu berkilat saat kau berbicara, dan kedalaman bola matamu membawaku pada dimensi yang terjamah pikiran dan kata-kata.

Aku berusaha menghentikan usahamu untuk meramalkan bagaimana aku akan mati, tapi semakin aku mencoba, semakin aku terdiam hanyut dalam kilatan matamu dan untaian ceritamu. Saat aku membeku di tempat tidur, kau berdiri dan mulai bercerita.

Aku mengenalmu tidak terlalu lama. Baru empat bulan sejak pertemuan kita yang pertama. Kau orang yang sombong dan egois. Kau selalu merasa bahwa dirimu adalah pusat dunia. Kau merasa bahwa kau bisa menghadapi segala masalah dalam hidupmu dengan bercerita tentang kematian-kematian di sekitarmu. Kematian orang lain kau gunakan sebagai alat bagimu untuk bertahan hidup.

Sebenarnya, tidakkah kau sadar bahwa kau ini pencerita yang buruk? Tidak ada konflik, tiba-tiba saja ceritamu berakhir mengenaskan. Tidak ada yang rasional dari semua cerita kematian yang kau sampaikan. Terkesan mengada-ada, bukankah kau sendiri yang mengatakan padaku dulu?

Kesombonganmu akan menutup mata hatimu pada kenyataan bahwa ada orang-orang yang sanggup mengancam bahayamu. Keegoisanmu akan memakan dirimu sendiri dalam keadaan di mana dirimu sendiri tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah dan menuruti apa yang dunia inginkan dari dirimu.

“Sebentar, kau ini sedang bercerita atau hanya menyampaikan apa yang kau rasakan terhadapku?” tanyaku memotong.

Kau tidak langsung menjawab. Kau beranjak ke dapur, membuka lemari es, mengeluarkan bawang merah, bawang putih, tomat, dan sejumlah rempah lainnya. Kau kemudian mulai memanggang tiga lembar roti cane.

“Hey, sayang. Kok malah masak?” tanyaku penasaran.

Kau tetap diam. Namun sedetik kemudian, diiringi bola mata yang kembali berkilat, kau bercerita lagi.

Mungkin beginilah kau akan mati. Kau akan mati di tangan orang yang kau sayang. Ia akan datang kepadamu dalam keadaan tak berbayang. Auranya memancarkan keceriaan, dan kau sangat senang menyambutnya.

Kesenanganmu padanya akan menguap tatkala ia mulai menguliti kemaluanmu. Kau tidak akan bisa berbuat banyak selain menatap heran dan meringis kesakitan. Tubuhmu akan terdiam dan membeku dalam belenggu rantai yang kasat mata.

Selesai menguliti kemaluanmu ia akan menyiapkan wajan dan sejumlah peralatan memasak lainnya. Ia kemudian akan mulai memotong jari-jari tangan dan kakimu, lantas memasukkannya beserta kulit kemaluanmu ke dalam penggorengan yang berisi minyak panas beserta. Setelah jari-jari dan kulit itu matang dan berwarna kecokelatan, ia akan meniriskannya dan menyajikannya kepadamu sebagai hidangan pembuka.

Setelah itu orang yang sangat kau sayangi itu akan memotong bawang dan tomat, bersamaan dengan memotong tangan dan kakimu. Ia akan memotong dagingmu kotak-kotak, merendamnya dalam perasan jeruk nipis, kemudian…

Kau terdiam dan tidak melanjutkan ceritamu. Sejenak aku melihatmu menggeleng dan bergumam. Kau kemudian memandangku dan tertawa.

“Kok gak dilanjutin ceritanya?” kataku.

“Maaf, imajinasiku jadi terlalu liar. Jadi mengerikan deh ceritanya,” katamu singkat sambil memakai baju dan berjalan menuju pintu keluar.

“Mau kemana?”

“Mau beli daging buat makan kita. Daging yang ada kurang banyak, mau ikut?”

“Enggak, aku titip obat saja. Kayaknya mau sakit,” jawabku sambil menggeleng lemah.

Kau pun melenggang pergi setelah melemparkan sebuah kecupan. Kau tahu, kekasih, selepas kau pergi, aku hanya terdiam, mencoba mengingat-ingat kembali ceritamu tentang kematianku. Aku merinding.

Dalam kekalutanku, aku mendekap kedua kakiku, yang tak ada, dengan kedua tanganku, yang tak ada pula. Aku menangis, sambil mengunyah jari-jari cokelat yang renyah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun