Mohon tunggu...
Hugo Hardianto
Hugo Hardianto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

terkadang ketiak yang masih basah menanti untuk diangin-anginkan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Buat Anak Kok Coba-Coba

24 November 2014   04:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:01 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Buat anak kok coba-coba.” Tagline iklan tersebut menyelinap masuk ke kamar Shaki yang kecil.

“Apaan sih ibuk, nyetel tv kok gede banget,” umpatnya dalam hati.

Pandangan Shaki kembali beralih ke layar moniter komputernya. Ia tadi sedang fokus menonton film telanjang, sambil perlahan menggosok kemaluannya. Masturbasi, itu yang orang bilang. Dosa surgawi, menurut Shaki.

Ia ahli dalam hal menggosok kemaluan. Paling tidak itu yang ia banggakan pada teman-temannya. Ia punya metode khusus, yang ia pelajari dari sebuah film. Pertama, ia akan menyiapkan beberapa buah gambar telanjang. Ia telah melepas celananya, dan menyiapkan burungnya juga. Ia akan mengamati setiap gambar dengan cermat hingga kemaluannya menjadi berani. Ia tidak akan menyentuh burungnya hingga saat itu tiba. Jika si burung sudah berani, Shaki akan mulai memutar sejumlah film telanjang, sambil perlahan menggosok keberaniannya. Tepat sebelas menit kemudian, ia akan hilang di alam fantasi, yang baginya menyenangkan.

Ia sudah memulai ritualnya selama enam menit ketika tagline iklan tadi terdengar olehnya. Matanya bergeming, mengamati tiap adegan yang menggiurkan, sembari tangannya aktif melakukan tugasnya. Lima menit kemudian, Shaki sudah merebahkan tubuhnya di kasurnya yang lembab karena jarang dijemur.

Sambil menikmati kepuasan di bagian bawah tubuhnya, Shaki juga menikmati rasa bersalah dalam hatinya. Tak bisa dipungkiri, kenikmatan yang dirasakannya selalu datang berbarengan dengan sesal yang menyesakkan. Karena itulah dia menyebut masturbasi sebagai dosa surgawi.

“Ah, aku tak bisa terus-terusan hidup seperti ini. Kegiatan ini sungguh tak baik. Rasanya kayak buat anak tapi coba-coba. Sialan! Jadi ikut-ikut iklan aku.”

Shaki kemudian memutuskan keluar rumah, mencari warung untuk menikmati segelas sirup jeruk. Sirup jeruk selalu berguna baginya ketika ia ingin merenung. Ia butuh sirup jeruk agar setiap renungannya dapat dimaknai dengan baik.

Maka ia berjalan ke depan kamar ibunya, hendak pamitan.

“Buk, aku pergi ya, mau cari sirup!” Shaki berdiri di depan kamar ibunya, menanti jawaban. Tapi yang terdengar dari dalam kamar hanya suara televisi.

“Ibuk sudah tidur apa ya? Tadi sih dia bilang agak sakit,” Shaki bicara sendiri lagi.

“Buk, aku pergi ya, mau cari sirup!” Sahutnya lagi, kini sambil menggedor pintu.

“Ya, hati-hati ya. Jangan malem-malem pulangnya,” akhirnya terdengar juga suara ibunya, serak.

“Ibuk kayaknya emang sakit.” Shaki kemudian berjalan ke luar rumah, menuju warung abang Tegar yang berada persis di mulut gang.

“Bang Tegar, aku mau sirup jeruk, yang manis, cepat!” Serunya sambil menggebrak meja.

“Oy, Shaki, santailah kau sedikit. Sini, kau dengar dulu ceritaku,” ujar abang Tegar seakan tak menanggapi pesanan Shaki.

“Aih, nanti saja, Bang. Haus ini aku. Sirup jeruk, manis, cepat!” Ujar Shaki, meniru logat Batak milik abang Tegar.

“Bah, kau ini. Ini cerita penting. Kau perlu cepat tahu.”

“Nanti sambil minum kan bisa, Bang. Yang aku butuhkan sekarang itu sirup jeruk, bukannya cerita kau.”

“Bah, sialan kau ini. Tak kau dengar ceritaku ini, menyesal kau nanti. Ini tentang kawan kau!” Sambil bersungut-sungut abang Tegar kemudian beranjak ke dapur dan membuatkan pesanan Shaki.

“Peduli setan. Aku perlu sirup jeruk untuk menemaniku berpikir,” ungkap Shaki dalam hati. Entah sudah berapa kali ia bicara pada dirinya sendiri hari ini.

Tak lama pesanannya datang. Abang Tegar tak mengucapkan sepatah kata pun padanya. Tampaknya ia kecewa. Kemudian datang dua orang tetangga Shaki ke warung tersebut. Sembari mengobrol, mereka memesan kopi hitam dan susu hangat. Tapi mereka tak sempat melihat ke arah abang Tegar saat memesan. Obrolan mereka terlalu hangat nampaknya. Shaki kemudian berusaha mencuri dengar.

“Iya, pak Kado yang rumahnya di pojokan situ ditangkep polisi tadi sore. Aku dengar, dia barusan ngebunuh pacar anaknya katanya.”

“Ah, nggak mungkin. Kok bisa?”

Shaki terkesiap. Ia kenal pak Kado. Ia adalah ayah dari Anjani, teman SMA-nya. Anjani sendiri merupakan kekasih Kocok, sahabat terbaik Shaki sejak kecil. Jika benar pak Kado sudah membunuh pacar Anjani, maka Kocok…

“Bang Tegar!” Shaki buru-buru memanggil abang Tegar. Tapi ia tak sedikit pun menengok, melirik saja tidak.

“Bang Tegar! Jangan kau ngambek. Kau bilang kau punya cerita tentang kawan aku,” ujar Shaki memburu.

“Nah, sekarang kau mau tahu, ha! Tadi kau bilang tak peduli.”

“Aih, jangan begitu, Bang. Cepatlah kau kasih tahu aku cerita kau itu. Kawan aku yang kamu maksud itu, si Kocok kah?”

“Aah, ya, Kocok ya namanya. Dari tadi aku coba ingat-ingat, tapi tak dapat juga. Kocok. Susah kali nama anak itu. Untung kau ingatkan aku, Shaki, bisa tidur nyenyak aku nanti,hahaha…”

“Bang, bukan waktunya ini, mana cerita kau?” Shaki nampak mulai frustasi.

“Ah, ya, sorry. Jadi, Kocok, kawan kau itu, mati tadi siang. Dibunuh pak Kado.” Shaki terperanjat.

“Pak Kado itu bapak pacarnya kan? Siapa anaknya? Anjani? Ah, ya, Anjani.” Shaki tak menjawab abang Tegar. Ia hanya bisa mengikuti cerita abang Tegar lamat-lamat.

“Jadi ceritanya pak Kado habis ngojek. Dia mampir ke rumah mau beol. Dia lihat ada sandal si Kocok. Paling ngapel biasa pikirnya. Tapi tak ada si Kocok ini di ruang tamu, katanya. Ia cari di seluruh rumah, tapi tak nemu juga. Nah, pas itu, dia berhenti di depan gudang. Kemudian samar-samar ia dengar suara anaknya mendesah dari dalam gudang. Macam di film porno, katanya. Oy, hebat kali si Anjani itu. Ah, sorry. Habis itu pak Kado muntab. Ia dobrak itu gudang. Terus, macam di tipi-tipi itu, tiba-tiba gelap kata pak Kado. Terus dia lihat si Kocok ini sudah mati, dicekik sampai tak bisa nafas.”

Shaki hanya bisa terdiam. Sirup jeruknya sudah tandas. Tadi rasanya kelewat manis, sehingga hanya tersisa rasa sepat dan pahit di lidahnya.

“Kocok, kawan kau itu, ada-ada saja tingkahnya. Mungkin dia mau buat anak, tapi kok coba-coba. Kau harus tengok mayatnya, belum dikubur. Dia kan kawan baik kau.”

Shaki tak jenak lagi mendengar omongan abang Tegar. Ia lantas membayar sirup jeruknya, kemudian meninggalkan abang Tegar yang menatapnya sendu. Shaki tak siap mendengar kabar kematian Kocok, pun ia tak siap melihat jenazahnya. Maka ia memutuskan bergegas pulang. Ia ingin menumpahkan segala perasaannya pada orang yang paling ia percaya, ibunya.

Tepat ketika Shaki sampai di depan pintu kamar ibunya, terdengar sekali lagi tagline iklan yang sudah didengarnya berkali-kali, “Buat anak kok coba-coba.”

Shaki sebenarnya ragu untuk mengetuk pintu kamar ibunya, mengingat ibunya yang sedang sakit. Tapi ia tak tahan menanggung beban perasaannya. Maka ia memberanikan diri mengetuk pintu tersebut. Ketika hendak mengetuk pintu kamar itu, didengarnya suara ibunya dari dalam kamar.

Shaki hafal suara ibunya. Ia juga hafal gaya suara yang dibuat ibunya barusan. Ia mengenal dengan baik gaya suara tersebut. Gaya suara itu pertama kali didengarnya dari film telanjang yang sering ia tonton. Desahan macam film porno, kalau abang Tegar bilang.

Shaki jadi penasaran. Ia kemudian mengintip dari lubang kunci. Lewat lubang yang kecil itu, ia melihat pemandangan yang besar. Ia melihat ibunya, berbalut selimut, sedang menunggangi seorang pria yang tidak dikenalinya sambil mendesah hebat.

“Anjing!” Shaki mengumpat dalam hati. Tak tahan melihat pemandangan tersebut, Shaki memalingkan muka, kemudian berjalan gontai ke arah kamarnya. Di atas ranjangnya yang masih lembab, ia menangis sejadi-jadinya.

Apa yang ia alami hari ini sungguh terasa berat baginya. Masturbasi membuatnya jenuh. Sahabat terbaiknya mati dibunuh. Ibunya malah selingkuh.

Shaki teringat puisi ayahnya, yang dibuat dua tahun lalu, tepat sebelum ia bunuh diri karena alasan yang tak jelas.

“Kadang digosok, kadang digesek.

Digosok-gosok, lalu digesek.

Habis digesek, digosok lagi.

Digosok lagi, terus dioles.

Sok digosok, gosok disogok.

Gosok disogok, disogok digosok.

Disogok-sogok, terus dioles.

Buat anak kok coba-coba.”

Shaki masih menangis. Sekarang semuanya jelas. Ini hanya masalah coba-coba buat anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun