Oleh :Hudriyanto
Cadas, panas, berpasir, berkah namun tak berpenghuni. Debu-debu keangkuhan itu kelak menjadi taman bagi masyarakat generasi, keturunan pewaris Nabi yang dimuliakan dan di berkahi. Krikil enggan menampakkan tajinya, deruman hewan yang dipilih itu pun tak wujud batang punggungnya. Panas memusuhi, tak tampak gerimis walau setetes. Kering kerontang, tak berair. Tidak ada tanda kehidupan di lembah yang dicucuri itu.
Seorang perempuan nafasnya hampir berhenti, sambil menggendong bayi mungil dalam pingitan terus berusaha mengejar suami yang semakin menjauh dari pandangan. Imannya menyala, yakin dengan ketetapan al-musyari'. Tidak ada peluang ragu walau seutas rambut. Ia tidak khawatir masa depan bayinya terlantar. Langkahnya terus mengejar.
"Wahai Ibrahim, engkau mau kemana? Kenapa engkau meninggalkan kami di lembah sunyi dan tandus ini?" Tak ada jawaban untuk memuaskan dahaga Siti Hajar yang semakin menua.
Pandangan Ibrahim sayu, tertuju pada kedua bola mata yang menyiratkan ketakutan. Tiga kali pertanyaan itu bergelantungan, lagi-lagi tak ada jawaban yang mengobati kekhawatiran.
"Apakah Allah yang memerintahkanmu?" Siti Hajar mengganti tanya menjadi kekuatan.
"Ya." Jawab Ibrahim singkat, penuh iba melihat anaknya dalam pelukan perempuan setengah menangis itu.
"Jika demikian, Dia tidak akan menyia-nyiakan kami." Hajar penuh harap akan janji Allah kepada suaminya.
Langkahnya Nabi Ibrahim berat, meninggalkan anak dan istrinya di lembah Bakkah, tak berpenghuni. Sungguh tak berpenghuni. Tak ada janji untuk bertemu kembali. Yang ia tahu, ketika Allah menetapkan suatu ketetapan, pasti di dalamnya ada barakah yang kelak tersibak manisnya.
"Jika demikian, Dia tidak akan menyia-nyiakan kami."
Bagi Hajar, perpisahan ini sangat menyiksa, ditinggal dengan seorang anak mungil yang berpuluh-puluh tahun menggelayut dalam temali doa. Tiba saatnya suara lucu itu hadir, justru Allah memiliki rencana lain untuk mendidik keluarga mulia ini.