Dari semua fakta di atas, semua hukum yang memojokkan perempuan sebagai mahluk kedua, hakikatnya bukan lahir dari rahim peradaban Islam, tapi lahir dari undang-undang Barat yang tidak mengenal tuhan.
Dalam lintasan sejarah peradaban Islam telah memberikan bukti nyata. Perempuan bukan hanya mampu menorehkan goresan emas dalam melahirkan pahlawan demi pahlawan, tetapi juga  memberikan sumbangsi peradaban agung. Pada zaman Rasulullah SAW, perempuan mampu mendirikan kemah Rufaidah Aslamiyah dijadikan rumah sakit pertama dalam sejarah Islam. Didirikan oleh Rufaidah binti Kaab al-Aslamiyah, beliau mempunyai ilmu tentang pengobatan yang jarang dimiliki sahabiyah lainnya, dia mewakafkan dirinya untuk menolong pasukan yang terluka dibantu yang lainnya.
Kiprah dilukis oleh perempuan juga tampak dalam kisah Syifa binti Sulaiman yang diangkat oleh Khalifah Umar bin Khatab Radiyallahu Anhu, menjadi Qadh Hisbah (hakim yang mengurusi pelanggaran masyarakat). Ash-shiwa binti Abdullah ditugaskan oleh Rasulullah SAW untuk mengajarkan wanita-wanita Islam menulis dan membaca.
Dalam sejarah panjang Islam, dibangunkan sekolah-sekolah perempuan yang terkenal dengan kemajuan sains dan teknologinya. Bahkan para raja di Eropa seperti Ingris mengirimkan putri-putrinya untuk menimba ilmu pada perempuan-perempuan Islam.
Benar Islam tidak merestui perempuan menjadi pemimpin dalam sebuah negara, bukan berarti hak perempuan dirampas secara paksa, namun Islam telah membatasi hak dan tanggungjawabnya, dan ini tidak serta merta menjadikan derajat perempuan menjadi rendah daripada laki-laki. Wanita tidak diberikan tanggung jawab besar agar perannya sebagai rahim peradaban, mencetak generasi-generasi yang siap memberikan kontribusi untuk kemajuan Islam dan kaum muslimin tetap terpelihara dengan utuh. Rasulullah menapikan keberuntungan suatu bangsa yang dipinpin seorang perempuan. Rasulullah besabda.
 Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada seorang perempuan. (HR-Bukhori)
Benar pula Islam memberikan hak yang berbeda pada hak waris perempuan dibandingkan laki-laki. Banyak kalangan kerapkali menuduh Islam didominasi oleh laki-laki. Lahirlah pemahaman Islam tidak adil tersebab memberikan hak waris yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan.
Hukum waris dinilai responsif gender, sebagai gantinya mereka menawarkan suatu metode penafsiran al-Qur'an secara kontekstual, bukan tekstual, kemudian memahaminya dengan menggunakan teori hermeneutika. Kalau mua jujur mengkaji antara hak dan kewajiban keduanya lebih dalam, maka kita pasti menangkap jaringan keseimbangan yang serasi yang saling melengkapi satu sama lain.Â
Perempuan dalam posisinya pemilik seperdua harta waris dari yang dimiliki laki-laki, hakikatnya dia memiliki secara penuh harta tersebut. Perempuan tidak pernah wajib memberikan nafkahnya terhadap suaminya, kalaupun dia bekerja dan mendapatkan gaji melimpah tetaplah dalam kepemilikannya, bukan suami. Kalaupun dia berikan sebagian kepada keluarganya, maka termasuk sedekah baginya. Disinilah letak keadilannya bukan?
Â
Bandingkan perempuan yang hidup dalam rengkuhan Islam, dengan perempuan yang hidup dalam sistem yang serba sekuler ini?  Islamkah yang menelantarkan hak-hak perempuan? Ataukah justru sistem selainnya menjadi biang  penghancuran perempuan itu sendiri?