Sebagai manusia kita memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan eksistensi kita di dunia ini. Eksistensi tersebut dapat didapatkan melalui popularitas dalam prestasi maupun sensasi agnostisisme.Â
Sebagai manusia kita harus menjunjung nilai-nilai yang berpijak pada pandangan humanisme. Pandangan tersebut mengajarkan untuk memanusiakan manusia. Artinya terlalu banyak proses yang kita lalui dan terkadang kita keluar dari makna fitrah sebagai manusia, sehingga inti dari pandangan tersebut adalah kembali memfitrahkan manusia.Â
Salah satu fitrah yang dimiliki oleh manusia dan sangat fundamental adalah tentang kejujuran. Tidak sedikit dari kita yang ingin menunjukkan eksistensi dengan mengakuisisi karya atau gagasan orang lain. Bahkan yang mengenaskan lagi kita saling mendiskriminasi demi menunjukkan eksistensi.
Generasi muda menjadi subjek yang selalu ingin menunjukkan keberadaannya. Ia yang beprestasi ataupun bersensasi tak luput dalam mengkoleksi galeri selfie. Hal tersebut wajar, karena masa remaja adalah masa yang berapi-api.Â
Mata mereka adalah mata yang paling visioner. Mata yang selalu jauh melihat ke arah depan. Tangan mereka adalah tangan yang paling aktif, banyak sekali yang ingin mereka genggam.
 Jari jemari mereka penuh dengan isyarat, yaitu isyarat untuk melakukan perubahan. Kaki mereka adalah kaki yang paling banyak beregerak, karena langkah kaki mereka selalu membuat pergerakan demi untuk memajukan bangsa. Semua itu adalah cara menunjukkan eksistensi mereka di dunia.
Namun esensi dari eksistensi adalah kita merupakan manusia yang diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Mewujudkan eksistensi haruslah memiliki keimanan bahwa segala sesuatu yang kita lakukan hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta'ala.Â
Dengan landasan tersebut kita dapat mewujudkan makna eksistensi secara sempurna. Sebagai manusia tentu kita memiliki banyak harapan. Sadar atau tidak harapan itu adalah cikal bakal yang akan menunjukkan eksistensi kita dikemudian hari.Â
Tangan manusia hanyalah dua. Namun dengan tangan tersebut banyak sekali yang ingin kita genggam. Terkadang demi menggenggam harapan baru kita harus melepas harapan yang sudah lama berada dalam genggaman. Bahkan tidak sedikit demi untuk menggenggam harapan baru banyak dari kita yang rela melepaskan ikatan.Â
Hal tersebut terjadi karena tangan manusia sangat terbatas untuk menggenggam semua harapan. Akhirnya kita kembali kepada satu titik, bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala adalah yang mampu menggenggam semua harapan.Â
Dengan menggantungkan harapan hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala kita dapat memiliki semua harapan tanpa harus melepas harapan yang lain. Menggenggam harapan tanpa dilandasi keimanan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala bagaikan menggenggam harapan semu.
Hal tersebut penting untuk dipahami generasi muda terutama ia yang sedang ingin menunjukkan eksistensinya untuk memperlihatkan jati diri yang sebenarnya. Dengan memahami hal tersebut generasi muda dapat terhindar dari keputusasaan ketika harapan yang ia genggam tidak dapat terwujud. Menggapai harapan adalah bukan tentang hasil akhir, melainkan proses dalam menggapainya.Â
Ia yang bercita-cita menjadi guru berproses dengan sungguh-sungguh dan belajar menerapkan ilmunya adalah makna guru yang sesungguhnya meskipun tidak berada dalam lingkungan formal. Terlebih ketika ia menerapkan ilmunya dengan ikhlas. Tanpa disadari ia telah menunjukkan eksistensinya sebagai guru.
Raga manusia tidak akan selalu bisa eksis di dunia ini, namun karya dan hasil pemikiran akan selalu tetap ada. Hal tersebut yang akan menunjukkan bahwa kita pernah eksis di dunia ini. Jadilah manusia yang dapat memberi manfaat karena sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H