First impression (kesan pertama) mulai dari cover, dilanjutkan pendahuluan (kata pengantar dari salah satu dosen yang bernama Dr. A. Setyo Wibowo dan alasan mengapa Henry menulis buku ini). Sebuah momok/seremnya kata "filsafat" bagi sebagian orang, yang diibaratkan seperti monster di kartun-kartun, atau iblis-iblis yang selalu disebutkan dalam kitab-kitab (orientasinya jahat, jelek, menakutkan, dan lain sebagainya). Dengan membaca dan memahami buku ini, hal-hal di atas seakan sirna/hilang tidak berbekas, bahkan kalo di analogikan seperti tindakan-tindakan yang mudah-lebih ke sepele, misalnya kedipan mata, membolak-balikkan telapak-tangan, atau menghidupkan saklar lampu (kata Henry). Di samping itu, penyajian buku, bahasa yang dipakai, dan "tek-tok"/saut-sautan yang diciptakan pada narasi yang tertulis, membuat pembaca seakan mengalir dan terbawa arus (saking gampangnya dipahami). Uniknya, dari berbagai hal di atas, Henry tidak menyepelekan isi dari buku ini. Terlihat dari sajian data-data yang digunakan oleh Henry.
Big data dari buku Filosofi Teras sejauh pengamatan dan pembacaanku (penulis) berasal dari tiga data, yakni:
1. Berbagai pengalaman dalam menjalani hidup, dalam hal ini adalah (Henry). Henry secara gamblang mengatakan bahwa dirinya termasuk salah satu orang yang overthinking terkait kecemasan dan kekhawatiran yang terlalu berlebihan dalam berbagai situasi dan kondisi. Ditambah rasa emosional yang fluktuatif, dan Henry juga menyadari betapa lemahnya atau kurangnya atas pengendalian dirinya sendiri. Dari pengalaman-pengalaman Henry tersebut, dalam buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat karya Mark Manson, hal-hal semacam itu masuk dalam kategori "lingkaran setan", dari namanya aja udah serem lah ya, dan mungkin sedikit banyak dapat disimpulkan sendiri, seperti apa itu. Kalo mau lebih jelasnya, lihat saja di buku itu.
2. Selain dari pengalaman Henry, Dia juga mengambil data dari orang-orang yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas di bidangnya (ilmu psikologi), dengan cara mewawancarai secara langsung.
3. Pengaitan antara pengalaman dan wawancara yang dilakukan Henry, Dia juga mengambil data dari berbagai literatur-literatur yang berkenaan dengan Filsafat Stoa (Filosofi Teras).
Buku Filosofi Teras, karya Henry Manimpiring menurut saya (penulis), bermaksud untuk memberikan stimulus bagi kita (pembaca), agar kita dapat menjadi pribadi yang "kuat", baik jasmani ataupun rohani. Hal tersebut terejawantahkan pada keywords MANAJEMEN DIRI. Mengapa saya mengatakan bahwa kata kuncinya manajemen diri, karena ketika kita melihat, membaca, dan memahami dalam salah satu kutipan di buku tersebut (Hal. 72) Henry secara jelas mengatakan bahwa, "Filosofi Teras tidak tertarik sama sekali dengan hal-hal eksternal di dalam diri, malainkan lebih mementingkan hal-hal internal di dalam diri kita, seperti menghilangkan emosi negatif, memaksimalkan hidup dengan hal-hal yang benar-benar berguna dan yang bisa kita kerjakan".
Dari kutipan tersebut, setidaknya mengisyaratkan bahwa, aspek terpenting dari berbagai aspek dalam hal menjalani dinamika kehidupan adalah menjalaninya dengan senikmat mungkin dan senyaman mungkin (cozy and enjoy in life). Ketika dua aspek itu terpenuhi, kebahagiaan yang sesungguhnya akan dapat dirasakan dan terhindar dari perasaan-perasaan atau hal-hal negatif. Tidak hanya itu, Henry juga hendak mengatakan bahwa motivasi-motivasi yang sekarang beredar (capaian, kesuksesan, mobil mewah, rumah mewah) hanya akan menekan pada titik stres-apabila tidak sesuai apa yang diinginkan dan tidak mempertimbangkan realitas yang ada, justru motivasi-motivasi tersebut-lah yang tidak jarang pula menjadi penyebab semakin terpuruknya seseorang. Sehingga, hal itu tidak benar-benar menjelma sebagai alternatif jawaban dari berbagai kegelisahan dan permasalahan yang dialami.
Maka dari itu, Henry lebih menitik-beratkan pada bagaimana caranya agar kita dapat dengan bijak mengontrol/mengelola emosi-emosi negatif menjadi outcome emosi-emosi positif. Buah dari hal itu adalah tumbuhnya kesadaran diri bahwa ada hal-hal yang dapat dikendalikan oleh diri kita masing-masing, dan juga ada hal-hal yang diluar kendali kita. Pendek kata, kata kunci (keywords) selanjutnya menurut saya (penulis) adalah KESADARAN. Kesadaran dalam hal ini, bukan pada kesadaran yang diperoleh saat kita bangun dari lelapnya tidur (dari tidak sadar-menjadi sadar), tetapi kesadaran di sini lebih pada pemunculan sikap, perilaku, atau tindakan yang adaptif terhadap situasi dan kondisi apapun yang menimpa kita secara bijaksana.
Finally, Manajemen Diri dan Kesadaran adalah dua anak tangga menuju MEMPERTAHANKAN/ISTIQOMAH (dalam istilah Islam). Seperti penggambaran sebuah hubungan, "Mendapatkan (pasangan) itu hal yang mudah/gampang, yang sulit adalah mempertahankan". Walaupun adagium ini terasa sepele/remeh, karena begitu sering digembar-gemborkan, atau sering dibuat bahan candaan. Jika mau menelaah sedikit dalam dan meresapi apa yang tersuratkan dan tersiratkan, mempertahankan/istiqomah adalah wujud penghambaan tertinggi bagi hamba kepada Tuhan, terlebih dalam agama Islam. Dikuatkan dengan ungkapan yang familiar dalam kalangan umat agama Islam yang mengatakan, "Istiqomah membuahkan karomah".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H