Salah satu buku yang cukup fenomenal dan tergolong bestseller di Indonesia adalah buku karya Mark Manson yang berjudul Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat. Menurut pembacaan penulis, buku ini berangkat dari salah satu disiplin ilmu yakni ilmu psikologi. Mengapa demikian?Â
Karena menurut sepemahaman penulis, buku ini mencoba untuk menggugah jiwa dan membuka pikiran pembaca untuk menyadari sesuatu hal yang sudah menjadi kelumrahan atau sudah menjadi hal yang "mapan". Â
Disadari ataupun tidak, ketika seseorang membaca buku ini, Mark sebagai penulis mencoba untuk berinteraksi lewat tulisan-tulisannya secara monologis atau dialogis. Mark seolah-olah ingin mengiring jiwa pembaca untuk merasuk ke dalam inti jiwa.
Selain itu, Mark juga mencoba mendobrak kemapanan yang ada dengan cara membuka pikiran para pembaca bahwasanya, kebiasaan-kebiasaan (habits) yang dinilai baik atau benar, diubah 180 derajat menajdi kebalikannya.
Misalnya, di semua sub bab, Mark menulis Jangan Berusaha, Kebahagiaan itu Masalah, Anda Tidak Istimewa, Nilai Penderitaan, Anda Selalu Memilih, Anda Keliru tentang Semua hal, Kegagalan adalah Jalan untuk Maju, Pentingnya Berkata Tidak, dan yang terakhir adalah Dan Kemudian Anda Mati.
Dari semua sub bab tersebut, tidak ada satu pun yang mencoba untuk menjelaskan bahwa buku ini berangkat dari disiplin ilmu psikologi, sekaligus tidak juga mencerminkan bahwa buku ini mencoba untuk menggugah jiwa dan mendobrak kemapanan dengan cara membuka pikiran pembaca.
Secara praktis, dengan dua hal yang saling bertolak-belakang tersebut, tentu kita sebagai orang awam akan memunculkan sebuah pertanyaan, lantas apa menariknya buku ini?
Setidaknya ungkapan don't judge to the cover sangat terasa tertancap pada buku ini. Sebab, ketika kita tidak membaca dan memahami buku ini secara mendalam, kita tidak akan mendapatkan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Mark Manson. Dari pembacaan penulis dari awal sampai akhir buku, yakni:
Pertama, Mark Manson menggunakan pijakan salah satu filsuf yang bernama Alan Watts yang mengungkapkan adanya "hukum kebalikan". Â Seperti halnya kutipan pada buku tersebut, di halaman 10-11 yang bertuliskan, "Menginginkan pengalaman positif adalah sebuah pengalaman negatif; menerima pengalaman negatif adalah sebuah pengalaman positif".
Arti dari kalimat tersebut adalah: semakin Anda berusaha merasa baik setiap saat, Anda akan merasa tidak puas, karena mengejar sesuatu hanya akan meneguhkan fakta bahwa pertama-tama Anda tidak baik. Itulah salah satu kutipan yang diambil oleh penulis. Poin pertama, juga berimplikasi pada poin kedua.
Kedua, penulis mencoba untuk menangkap sebenarnya apa sih yang diinginkan Mar dalam buku tersebut. Penulis membaginya dalam lima tingkatan, yakni:
1) Menerima segala takdir. Artinya, kita harus benar-benar sadar bahwa hidup kita tidak akan lepas dari takdir Tuhan. Tidak ada kuasa sama sekali untuk kita, dalam hal merubah takdir yang Tuhan berikan, baik atau buruknya takdir yang menimpa kita, harusnya dan seyogyanya kita terima dengan lapang dada dan kesabaran hati-bagaikan lautan yang mempunyai tugas berat untuk menjadi muara dari berbagai sungai.
2) Menikmati segala masalah. Artinya, permasalahan yang sangat berat akan terasa ringan ketika kita mencoba untuk menikmatinya, sebaliknya ketika masalah berat tersebut kita justru malah menolak dan menghindari, tidak sedikit pun mencoba untuk menerimanya, maka akan semakin terasa berat.
3) Bersikap biasa-biasa saja. Bersikap biasa-biasa saja akan dapat ditempuh, apabila sudah mengantongi kedua tingkatan yang sebelumnya. Berskap yang seperti ini adalah perwujudan dari salah satu ungkapan orang-orang Jawa yang menyebutnya "ojo gumunan". Ketika dalam satu waktu mendapat pujian dari hasil yang telah dikerjakan, sikap yang ditunjukkan biasa-biasa, tidak lantas menjadi jumawa.
4) Penekanan terhadap rasa tanggungjawab-daripada menyalahkan orang lain. Tingkatan keempat merupakan tingkatan yang cukup sulit di aplikasikan, karena tingkatan ini seringkali diputar-balikkan, menyalahkan orang lain dulu, ketika sudah merasa aman baru menyelamatkan diri, bukan malah memiliki sense tanggungjawab. Mark mengajak kita untuk menumbuhkan sense tanggungjawab dengan segala konsekuensi yang ditanggung.
5) Menyadari Ketidaksempurnaan. Dengan rasa menyadari dan merasa bahwa tidak sempurna, hidup kita menjadi lebih tenang, tentram, dan nyaman. Ketika tidak ingin dan tidak sadar bahwa manusia kodratnya serba kekurangan, maka akan menyiksa dan menyengsarakan diri sendiri.
Dari pemaparan di atas, penulis mengambil sebuah kesimpulan bahwa kecerdikan dan ketajaman dari Mark Manson dalam menarasikan dan mengemas buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat menjadi capaian yang cukup brilian. Secara tidak langsung, Mark mengacak-acak dan membuat kocar-kacir kemapanan yang ada bahwa, iming-iming kesuksesan adalah awal penderitaan dan bahwa kebahagiaan adalah hal semu.Â
Secara esensial menurut penulis, Mark adalah motivator hukum kebalikan, yang dikira kebanyakan positif, dianggapnya sebagai hal yang negatif. Begitu juga sebaliknya, yang awalnya dianggap negatif, di narasikan Mark dengan argumen-argumen yang menjadikan hal negatif tersebut menjadi positif. Mungkin inilah yang dicanangkan dalam judul, sebuah seni untuk bersikap bodo amat. Akhir kata, salam dari penulis, Mark adalah orang gila (luar biasa).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H