Dalam beberapa pekan ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kasus pelecehan seksual yang terjadi di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia. Kabar tersebut tersiar dari pesan pendek korban yang mengunggahnya ke beberapa media elektronik. Isi dari pesan tersebut berupa pengakuan korban mengenai perlakuan pelecehan terhadapnya yang dilakukan oleh oknuk pengajar yang sekaligus merupakan pembimbing penelitiannya. Dari pengakuan korban, pelaku sempat memberikan beberapa pertanyaan mengenai alasan korban yang belum selesai mengerjakan penelitiannya. Dan seketika pelaku melakukan aksi tidak senonoh terhadap korban hingga akhirnya korban merasa sangat kaget dan merasa ketakutan. Akibat bingung harus mengadukan perbuatan pelaku, akhirnya korban memuat pengakuan melalui salah satu media online. Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini dinilai sangat progresif dalam hal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban dan memberikan perlindungan hukum bagi korban. Dimana korban dapat melaporkannya kepada pihak berwajib dan pelaku dapat dijatuhi hukuman yang pantas atas perbuatannya tersebut. Walaupun demikian, terdapat pro kontra di kalangan masyarakat terutama kaum akademisi dan kelompok agamawan atas terbitnya permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini. Prokontra datang dari berbagai kalangan akademisi yang menganggap bahwa Pasal 5 dan Pasan 6 pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 dianggap sebagai kelonnggaran seseorang dalam melakukan pergaulan bebas. Apa sebenarnya isi dari Permendikbud yang menjadi pro kontra ditengah masyarakat seperti sekarang ini? Berikut merupakan isi dari Permendikbud tersebut.
Isi lengkap Pasal 5:
(1). Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
(2). Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban.
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban.
c. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban.
d. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman.
e. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban.
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban.
g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban.
h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban.
i.mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/ataupada ruang yang bersifat pribadi.
j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban.
k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual.
L. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban.
m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban.
n. Memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual.
o. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual.
p. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi.
q. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin.
r. memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsimemaksa atau memperdayai Korban untuk hamil.
s. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja.
t. dan/atau. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
(3). Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban:
a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya.
c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba.
d. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur.Â
e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan.
f. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility).
g. dan/ataumengalami kondisi terguncang.
Dalam pasal-pasal Permendikbud tersebut terkesan bahwa perbuatan yang tidak senonoh itu dibolehkan begitu saja ketika orang yang dikatakan sebagai korban menerima dengan ikhlas dan tidak memperdulikan apa yang orang lain lakukan terhadapnya. Hal tersebut juga dijelaskan oleh Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Lincolin Arsyad yang menilai bahwa beleid tersebut cacat secara formil karena prosesnya tidak melibatkan banyak pihak dan cacat materil karena berpotensi melegalkan zina yakni dalam Pasal 5 yang memuat consent dalam frasa "tanpa persetujuan korban". Yang menjadi permasalahan untuk kemudian hari jika hal ini menjadi bahan edukasi untuk para siswa maupun mahasiwa adalah terletak pada "frasa pada Persetujuan Korban" yang terdapat pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m. Artinya ditengah maraknya pergaulan antara pemuda dan pemudi seperti sekarang ini yang tidak memiliki batasan yang ketat, maka memungkinkan permendikbud ini menjadi salah satu faktor bolehnya pemuda-pemudi untuk melakukan hal-hal yang dilarang norma agama dengan alasan bahwa perbuatan tersebut atas dasar persetujuan dari kedua belah pihak. Dengan begitu maka perbuatan yang mereka lakukan akan dapat lemah di mata hukum ketika Permendikbud ini diterapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H