Mohon tunggu...
Hucla Nastitork
Hucla Nastitork Mohon Tunggu... Lainnya - About Life

I'm searching all about man

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pembunuhan Bocah Lima Tahun: Sebuah Kajian Psikologi

15 April 2020   09:42 Diperbarui: 15 April 2020   09:34 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

          Pada bulan Maret 2020 publik dihebohkan dengan berita pembunuhan anak berusia enam tahun di Sawah Besar, Jakarta Pusat. Jasad balita naas itu ditemukan polisi di rumah pelaku setelah pelaku menyerahkan diri ke Polsek Metro Taman Sari. Pelaku merupakan siswi SMP berusia lima belas tahun. Berdasarkan pengakuan pelaku, korban dibunuh dengan cara ditenggelamkan di bak mandi dirumah pelaku. 

Menurut Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Heru Novianto, pelaku merasa puas dan tidak merasa bersalah atas pembunuhan itu. Kabidhumas Polda Metro Jaya Komber Yusri Yunud menturkan bahwa pelaku mempunyai hobi menonton film horor seperti Chucky dan Slander Man (Santoso dan Pramudita, 2020). Kasus ini begitu menyita perhatian publik, disamping begitu sadisnya pembunuhan ini, sikap dan perilaku pelaku yang sedemikian rupa membuat masyarakat bertanya-tanya, kenapa remaja perempuan berusia lima belas tahun melakukan hal mengerikan seperti itu. Kepribadian dan latar belakang pelaku nampaknya bisa menjadi jawaban.
          Tontonan pelaku nampaknya menjadi salah satu faktor pemicu dalam kasus ini. Pelaku hobi menonton film-film horor bertema pembunuhan seperti chucky dan Slander Man. Menurut teori Sosial Learning dari Abert Bandura, anak dalam berperilaku akan cenderung meniru apa yang dia lihat, dalam meniru tentunya butuh contoh. Anak akan mengobservasi stimulus yang ia terima. Proses pembelajaran terjadi (modelling) di mana hasil observasi itu akan menghasilkan perilaku meniru apa yang dia lihat (imitation). Dalam eksperimennya, Bandura (1963) memperlihatkan bahwa anak-anak belajar dan meniru perilaku-perilaku yang mereka amati dilakukan oleh orang lain. Anak-anak dalam observasi ini mengamati orang dewasa melakukan kekerasan terhadap boneka Bobo. Ketika anak-anak tersebut diperbolehkan untuk bermain dalam kamar bersama dengan boneka Bobo, mereka mulai meniru tindakan-tindakan agresif yang telah mereka amati dilakukan sebelumnya oleh orang-orang dewasa.
          Cukup sempit jika hanya faktor tontonan anak yang disalahkan, karena banyak anak yang menonton film yang sama tetapi tidak berperilaku agresif seperti itu. Pengaruh lingkungan merupakan faktor lain. Menurut Watson dan para penganut aliran psikologi behaviorisme lainnya dalam Desmita (2009) meyakini bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil dari pembawaan genetis dan pengaruh lingkungan atau situasional. 

Tingkah laku dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang tidak rasional. Hal ini didasari dari hasil pengaruh lingkungan yang membentuk dan memanipulasi tingkah laku. Lingkungan yang paling berpengaruh dalam tumbuh kembang anak adalah lingkungan keluarga. Berdasarkan berita dari Suara.com pelaku semenjak orang tuanya bercerai menjadi sosok yang pendiam, ibu tirinya setiap hari sibuk membuat kue untuk dijual sedangkan ayahnya sibuk bekerja (Gunadha and Yasir, 2020). Kurangnya pengawasan dari orang tua, kurangnya kenyamanan di dalam keluarga dan bagaimana lingkungan sekitar memperlakukannya bisa saja menjadi sebab terjadinya peristiwa ini.
         

Faktor dalam diri pelaku nampaknya cukup menarik untuk di bahas. Menurut Sigmund Freud manusia mempunyai Death Instinct, yakni insting-insting yang merusak, manusia cenderung memakai instingnya untuk meraih kepuasan diri. Ia juga mengatakan bahwa perilaku masa kini manusia ditentukan oleh pengalaman-pengalaman masa lampau (Hall, 2017). Dilansir dalam Suara.com pelaku kerap menusuk kodok dan cicak menggunakan garpu, kadang jika dia kesal dengan kucingnya, ia bisa melempar kucingnya dari lantai dua (Ariefana, 2020). Perilaku agresi semacam itu merupakan bagian dari Death Instinct (thanatos).
          

Dari sekian teori dan data di atas, dapat disimpulkan bahwa kasus pembunuhan bocah enam tahun oleh siswi SMP yang berusia lima belas tahun di Jakarta Pusat itu erat kaitannya dengan psikologi. Di mana pelaku bisa melakukan hal keji itu bisa disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, tontonan pelaku yang erat kaitannya dengan Sosial Learning Theory, lingkungan sekitar perilaku terlebih dalam keluarga dan sifat dasar manusia yang mempunyai sisi-sisi merusak. Kurang bijak jika pelaku hanya dilabeli sebagai tersangka, karena ia juga merupakan korban dari lingkungan. Peristiwa itu dapat menjadi pelajaran bagi kita semua, terutama untuk orang tua. Alangkah baiknya jika orang tua dapat membangun kedekatan yang baik dengan anak, mengawasi anak dan peka terhadap perilaku-perilaku anaknya

Referensi:

  • Ariefana, P., 2020. Gadis Pembunuh Bocah di Sawah Besar Suka Tusuk-tusuk Kodok Pakai Garpu. Suara.Com.
  • Bandura, A., 1963. The Role of Imitation in Personality Development. Journal of Nursery Education, 3 18.
  • Desmita, 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
  • Gunadha, R., Yasir, M., 2020. NF Pembunuh Balita dalam Lemari Mulai Berubah Sejak Ayah Nikah Lagi. Suara.Com.
  • Hall, C.S., 2017. Naluri Kekuasaan Sigmund Freud. Narasi, Yogyakarta.
  • Santoso, B., Pramudita, Y.A., 2020. Mengerikan, Ini Kronologi Pembunuhan Bocah Sawah Besar Oleh Gadis 15 Tahun. Suara.Com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun