Mohon tunggu...
Hubertus Gilang Aryasatya
Hubertus Gilang Aryasatya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate

Penggemar sepak bola Eropa asal Sleman yang sesekali memberi opini dan bersajak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Lupa Pulang Ayah

9 April 2024   13:15 Diperbarui: 9 April 2024   13:29 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku bangun dengan perasaan tidak biasanya walau fajar telah menandakan hari yang cerah. Aku masih saja menjalankan kuliahku secara daring dari rumah. Ya, ini hari ke-9 semenjak kampusku meminta kami belajar maupun bekerja dari rumah semenjak merebaknya wabah penyakit corona. 

Segelas teh hangat dan semangkuk bubur kacang hijau yang menjadi menu sarapanku tak dapat mengurangi kegelisahanku saat itu. Berbagai perasaanku tercampur aduk belakangan ini.

Aku terkoyak oleh sepi karena diriku harus berpisah dengan hampir semua teman-teman atau semua orang biasa aku jumpai. Perjumpaanku hanya terbatas pada Ibu yang  masih bisa mengajari mahasiswanya sebagai dosen dengan giat tetapi sedikit memberi keluwesannya pada hal yang bisa ia lakukan selanjutnya dan ada beberapa tetangga sekitar yang membuat kami saling mendukung satu sama lain. 

Lepas itu,keluargaku mempunyai sosok seorang dokter yang diperlukan menjadi pahlawan bagi semua orang, apalagi ia yang mungkin menjadi korban dari wabah penyakit yang mematikan itu ialah Ayahku sendiri. Jujur aku dan ibu ingat terakhir aku menjumpainya suatu malam di sebuah ruang keluarga, kami sempat berbincang :

"Ibu, Riko. Untuk sementara ini, ayah tak bisa pulang dulu, ya ? Banyak orang yang harus ayah selamatkan dan jangan temui ayah secara langsung dulu ya ?"

"Kenapa mesti ayah yang menjauh ?" Ibu menanyakan dengan nada herannya.

"Sayang, terpaksa aku lakukan ini agar kalian tetap dalam keadaan baik-baik saja. Kalo sudah mulai aman dan sehat, barulah ayah biasa pulang. Lebih baik 1 orang yang berkorban daripada banyak orang yang tidak terselamatkan nyawanya."

Aku hanya menanggapi "Ayah baik-baik ya di sana. Jangan terlalu memaksa diri. Ingat diri loh."

"Kamu tenang Riko." jawabnya sembari mengelus punggungku "Kau akan tahu seberapa kuatnya aku." tambahnya sembari menunjukkan badan sok kuat yang membuat kami tertawa sejenak.

"Kenapa sih ayah ini ?" Ibu tersenyum dalam keheranannya.

Suasana sederhana itu yang ingin aku ingat, walau kami awalnya agak jarang saling bertemu langsung semenjak aku berusia remaja akhir, tapi sekian lama ia tengah berjuang di rumah sakit, rasa ini mulai menghinggapiku. Aku mulai khawatir akan keselamatannya sendiri.

Aku mencoba sering-sering berbincang lewat aplikasi daring untuk memastikan dirinya, tetapi dia pun merasa dirinya baik-baik saja dan berharap kami jaga diri baik-baik.

Jujur aku merasa ia seperti layaknya tentara yang akan gugur dalam medan perang. Pesimisme menghampiriku begitu saja selagi aku menunggu berita demi berita yang terbaru mengenai persoalan itu. Perasaanku kekhawatiranku memuncak terhadap ayahku sendiri.

Apalagi, aku mulai mendapat kabar banyak petugas medis yang ikut terpapar corona, bahkan sampai harus merenggut nyawa di tengah medan perjuangannya. 

Aku pun merasa tak sanggup membayangkan betapa perih hati keluarga nya yang menunggu setia di rumah masing-masing. Demi Tuhan, aku merasa takut sekali dan kenapa ibu malah lebih kalem dan tetap semangat seperti biasanya ?Aku semakin gelisah sekali.

Lalu suatu malam dalam kegelisahan sembari di sela mengerjakan tugas kuliah, terbesit diriku untuk memutar beberapa lagu-lagu rohani dan terurai air mata dalam kasur karena tersentuh lubuk hati kecilku ini, kemudian ada aku ingat akan kekuatan doa, cara yang terbaik untuk ayah, namun aku harus lebih optimis terus-menerus agar sang pahlawanku bisa kembali dengan sehat walafiat.

Terbesit dalam ingatanku : andaikan semua orang yang ayah tolongi saat itu. Entah seorang Ayah yang menjadi tulang punggung keluarganya, seorang nenek yang dinantikan kehadirannya oleh semua cucunya, seorang guru yang masih ingin berjuang mengajari semua anak bangsa, seorang penjabat yang masih ingin membaktikan diri untuk keselamatan daerahnya, atau seorang demi seorang yang berharap pada kesehatan yang lebih baik. Walau yang terkabul keinginannya ataupun Tuhan lebih menyayanginya lebih dalam.

"Ayah, percayalah bahwa kau pasti menang atas perjuangan muliamu, entah apapun yang terjadi akhirnya. Tapi, ingatlah, kau akan menuai dari apa yang telah kau tanam, semoga kau baik-baik selalu. Jangan lupa untuk kembali, Pahlawan Superku" kata-kata itu yang menjadi optimisme ku saat ini."

Aku akan ingat suara doa yang ibu lantunkan saat aku mendengarnya secara diam-diam.

"Ya Tuhan, jagalah selalu suami hamba yang memohon." dan seterusnya.

 Sleman, Mei 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun