Aku bangun dengan perasaan tidak biasanya walau fajar telah menandakan hari yang cerah. Aku masih saja menjalankan kuliahku secara daring dari rumah. Ya, ini hari ke-9 semenjak kampusku meminta kami belajar maupun bekerja dari rumah semenjak merebaknya wabah penyakit corona.Â
Segelas teh hangat dan semangkuk bubur kacang hijau yang menjadi menu sarapanku tak dapat mengurangi kegelisahanku saat itu. Berbagai perasaanku tercampur aduk belakangan ini.
Aku terkoyak oleh sepi karena diriku harus berpisah dengan hampir semua teman-teman atau semua orang biasa aku jumpai. Perjumpaanku hanya terbatas pada Ibu yang  masih bisa mengajari mahasiswanya sebagai dosen dengan giat tetapi sedikit memberi keluwesannya pada hal yang bisa ia lakukan selanjutnya dan ada beberapa tetangga sekitar yang membuat kami saling mendukung satu sama lain.Â
Lepas itu,keluargaku mempunyai sosok seorang dokter yang diperlukan menjadi pahlawan bagi semua orang, apalagi ia yang mungkin menjadi korban dari wabah penyakit yang mematikan itu ialah Ayahku sendiri. Jujur aku dan ibu ingat terakhir aku menjumpainya suatu malam di sebuah ruang keluarga, kami sempat berbincang :
"Ibu, Riko. Untuk sementara ini, ayah tak bisa pulang dulu, ya ? Banyak orang yang harus ayah selamatkan dan jangan temui ayah secara langsung dulu ya ?"
"Kenapa mesti ayah yang menjauh ?" Ibu menanyakan dengan nada herannya.
"Sayang, terpaksa aku lakukan ini agar kalian tetap dalam keadaan baik-baik saja. Kalo sudah mulai aman dan sehat, barulah ayah biasa pulang. Lebih baik 1 orang yang berkorban daripada banyak orang yang tidak terselamatkan nyawanya."
Aku hanya menanggapi "Ayah baik-baik ya di sana. Jangan terlalu memaksa diri. Ingat diri loh."
"Kamu tenang Riko." jawabnya sembari mengelus punggungku "Kau akan tahu seberapa kuatnya aku." tambahnya sembari menunjukkan badan sok kuat yang membuat kami tertawa sejenak.
"Kenapa sih ayah ini ?" Ibu tersenyum dalam keheranannya.