A. Identitas Buku
1. Judul Buku: Ekaristi
2. Penulis: Mario F.lawi
3. Penerbit: PlotPoint Publishing
4. Jumlah Halaman: 93 Halaman
5. Tahun Terbit: 2014
6. ISBN: 978-602-9481-67-9
B. Penjelasan
Speculum
"Saya telah melawan takdir
Kini saya nantikan, seberapa
Keras kepalaKah Engkau, Tuhan!"
Naitama, 2013
Saya mengawali resensi ini dengan menampilkan sebuah puisi yang ditulis oleh salah satu penyair berasal dari Nusa Tenggara Timur yang bernama Mario F.Lawi. Awalnya saya tertarik dengan kumpulan puisi ini ketika mencari refrensi untuk kebutuhan tugas salah satu mata kuliah yang diambil di semester 2 lalu yakni Sejarah Sastra. Ketika melihat judulnya, saya teringat pernah mengartikan sebagai sebuah perayaan ibadat dalam iman katolik sampai akhirnya saya mulai ingin membaca kumpulan yang terdiri dari 68 judul puisi ini dan saya menemukan berbagai hal yang berkaitan.
Selama membaca beberapa kumpulan-kumpulan pada hari-hari sebelumnya, saya menemukan sebuah cara pembentukannya yang lebih berbeda dari biasanya, dimana kebanyakan puisinya memakai bentuk narasi yang terdiri dari 1-2 paragraf untuk judul-judul puisinya yakni: Onytha, 1, Quo Vadis, Homo, Kelaga Rai, dan lain sebagainya membuat menjadi pengingat saya pada bentuk penulisan yang dibuat oleh Sapardi Djoko Damono lewat salah satu kumpulan puisinya yang berjudul Kolam.
Saya menangkap pengalaman puitik yang diberikan oleh Mario (berdasarkan dari halaman pengantar yang ditulis) bahwa saat ia dibesarkan oleh lingkungan keluarga dari kalangan kebudayaan Sawu, NTT sampai ia dikenalkan mengenai iman katolik dari ibunya yang kebetulan adalah seorang katekis (guru agama Kristen) melalui cerita-cerita alkitab sampai ia mulai menekuni kepeyairannya yang diminati sejak dari bangku sekolah, apalagi pasca Pria kelahiran Kupang, 18 Februari 1991 ini memutuskan untuk berhenti dari panggilan spiritualnya menjadi seorang pastor setelah menjalani pendidikan di Seminari Menengah St.Rafael, Oepoi, NTT. Hasil pengalaman iman inilah ia tujukan dari judul: Sakramen, Ekaristi, Getsemani dan lain sebagainya.
Satu lagi hal yang lebih membanggakan ialah, kumpulan puisi Ekaristi yang telah mendapat kurasi dari penyair kenamaan, Aan Mansyur ini telah mengangkat pamornya dalam dunia sastra Indonesia pada dekade yang lalu, dimana penyair yang sempat mengeyam pendidikan Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana Kupang ini meraih apresiasi berupa penghargaan Buku Puisi Terbaik 2014 versi Majalah Tempo dan Lima Besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2014.
Pada akhirnya, apa yang saya sampaikan lagi ialah melalui buku ini, saya yang membacanya mempuyai rasa bangga akan khazanah yang dimiliki oleh gereja katolik, membuat Mario F.Lawi menjadi penyair ke-3 yang saya bisa temui karya puisinya yang memakai suasana iman katolik setelah W.S Rendra dan Joko Pinurbo. Saya berharap ada minat baik diri sendiri masing-masing untuk menjelajahi karya-karya yang ditunjukan oleh beberapa kalangan sastrawan yang berasal dari Indonesia bagian Timur. Sebagai penutup saya akan mengutip satu judul puisi sebagai berikut.
Mata Injil
Kubaca Injil dalam matamu. Helaian sabda yang dijatuhkan Tuhan dengan teramat lambat. Muasal keabadianku menyembul mengalirkan cerita. Mestilah sempat kusisakan tempat bagi derita. Karena tatatpmu murka sekaligus cinta. Kesedihan sekaligus sukacita.
Tubuhku bumi. Menampung hujan yang jatuh dari hatimu. Menetaskan anak-anak rahmat yang kini belajar untuk terbang. Di kedalaman, Tuhan telah menjelma sesosok penambang batu dengan palu menghantam karang kersapuhanku. Sedang lembar-lembarmu yang perlahan luruh tiada mampu mewartakan rinduku yang tak kunjung penuh.
Naimata. 2012
Â
Perjamuan
Sehelai kafan membungkam rotimu. Kami berlatih
Menjinakkan berpaang sumpit demi mangkuk-mangkuk mi
Yang pasarah di hadapan kami. Tiga botol selai berdebar
Di hadapanmu. Coklat. Nanas. Anggur. Tutup pertama
Tersentuh telunjukmu, hatinyalah yang berhak
Bersamamu mengakrabi derita sekaligus keabadian.
Mangkuk-mangkuk kami turut bergetar, menumpahkan
Sedikit kuahnya ke pangkuan kami. Bersitatap kami satu.
Sama lain meski telah kauajarakan doa untuk
Menaklukkan muslihat lidah kami yang tiada bertulang.
 Naimata, 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H