Mohon tunggu...
Deddy Huang
Deddy Huang Mohon Tunggu... Freelancer - Digital Marketing Enthusiast | Blogger | Food and Product Photographer

Memiliki minat di bidang digital marketing, traveling, dan kuliner. Selain itu dia juga menekuni bidang fotografi sebagai fotografer produk dan makanan. Saya juga menulis di https://www.deddyhuang.com

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Titik Temu Dua Orang Saling Memaafkan

22 Mei 2020   20:34 Diperbarui: 22 Mei 2020   20:26 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Imron dan Gahril (Sumber : BBC)

Apa rasanya berjumpa langsung dengan pelaku yang sudah membunuh ayahnya dengan cara sadis? Hingga jasad ayahnya sudah tidak bisa dikenali lagi karena sudah seperti ayam gosong.

Mungkin saja saat itu ingin langsung membalas kekejaman yang dilakukan oleh pelaku ketika diberikan kesempatan untuk berjumpa pertama kalinya di balik jeruji penjara. Ada luapan emosi yang tertahan selama 17 tahun oleh Garil Arnandha, salah satu putra korban bom Bali ketika itu.

Ayah Garil, Aris Munandar, pada saat menjadi salah seorang korban naas ketika sedang berada di depan Sari Club. profesinya sebagai sopir tengah menunggu penumpang yang selesai mencari hiburan malam. Aris juga menjadi salah satu 38 WNI yang meninggal pada peristiwa bom bali. Saat peristiwa terjadi, putra sulung Aris baru berusia 10 tahun. Dan dia meninggalkan tiga anak dan seorang istri yang tengah sakit.
Membaca kembali berita peristiwa bom Bali memang seperti menaburkan garam di atas koreng yang hampir kering. Perih dan ingin mengecam atas setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang jahat. Bahkan seperti salah satu teman saya yang masih sulit untuk memaafkan orang tuanya dibunuh secara sadis oleh orang yang ia kenal. Ia harus melihat jasad kedua orangtuanya di saat bulan Ramadan sudah bermandikan darah kering.

Sama halnya dengan jenazah Aris yang ditemukan sehari setelah serangan teroris dan Garil terdiam ketika sudah tidak bisa mengenali mayat sang ayah saat diturunkan dari mobil. Saya ikut merasakan ada goncangan trauma bahkan depresi yang sulit untuk dipendam sendiri. Kehilangan orang satu-satunya yang menjadi tulang punggung keluarga bahkan figur ayah saat kecil memang tidak setiap orang kuat menjalaninya.

Dalam satu waktu, atas izin dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memberikan kesempatan Garil dan ibunya untuk bertatap temu langsung dengan pelaku pengeboman, Ali Imron, yang satu-satunya pelaku masih hidup karena menjadi terpidana seumur hidup. Sedangkan Amrozi dan dua orang temannya sudah terlebih dahulu dieksekusi mati pada tahun 2008.

Barangkali kalau saya berada di posisi Garil tidak akan setegar dia berdiri di hadapan salah satu orang yang membuat kekacauan karena agama. Tetes air mata Garil tumpah saat semua isi hatinya dengan mata berkaca-kaca dikeluarkan. Tak ada hal yang bisa disampaikan Ali Imron selain menunduk, meminta maaf, merasa bersalah, dan menyesal.

Mengapa sampai bisa otak manusia berpikiran seperti itu, melakukan serangan dengan membunuh ratusan orang.

Untuk anak seusia Garil pada saat umur 10 tahun, sedangkan kedua adiknya masih balita. Tentu belum mengerti apa yang terjadi dan masih bisa bermain seperti biasa. Kondisi ini pun sempat saya alami ketika ayah saya meninggal. Saya masih mengira besoknya ayah akan pulang.

Belum lagi kondisi ibu Garil menderita Rheumatoid Artistic, penyakit autoimun yang menyebabkannya tak bisa bangun karena nyeri pada sendi seluruh tubuh. Ada beban secara psikis yang seharusnya tidak dialami oleh anak seusia 10 tahun. 

Bayangkan ketika dia berangkat ke sekolah, dan biasanya ada ayah dan ibu yang mengantar. Atau ketika anak-anak lain bertanya di mana ayahnya. Tentu perasaan berkecamuk ini sulit untuk ditutupi. Ada rasa kurang percaya diri dan ingin lari ke tempat di mana orang tidak ada yang mengenal seorangpun.

Hidup seakan tidak ada tujuan hidup, bingung tak tahu bagaimana.

Lain halnya cerita Zulia Mahendra, putra sulung Amrozi, saat bertemu langsung dengan Garil dan sang ibu. Berkaca dari sisi Zulia sebagai korban yang dia pun tidak tahu apa yang dilakukan oleh ayahnya bersama teman-teman. Bertahun-tahun merasa seperti "sampah" karena dijauhi masyarakat, kesulitan mencari kerja, dan merasakan depresi.

Saya seperti terseret oleh emosi membayangkan Zulia berjumpa dengan Garil. Dua orang anak korban yang mungkin tidak mengetahui apa-apa.

Satu terbebani oleh rasa bersalah ayahnya, dan satu lagi terbebani sebagai korban. Dua orang ini pula mengalami situasi yang sama-sama berat selama 17 tahun, kehilangan sosok figur ayah.

Imron dan Gahril (Sumber : BBC)
Imron dan Gahril (Sumber : BBC)
Memang sikap yang dilakukan oleh Imron dan kawan-kawan ditebus apa pun tidak akan terbayar. Nasi sudah menjadi bubur. Apa yang dilakukan seperti sebuah papan kayu yang dipaku bertubi-tubi. Tidak akan kembali menjadi sebuah papan kayu yang mulus. Seperti air tak selalu jernih, begitu juga ucapanku. Kapas tak selalu putih, begitu juga hatiku. Langit tak selalu biru, begitu juga langkahku.

Titik temu nasib anak korban bom bali dan putra mantan teroris ini membuat saya memaknai bahwa butuh hati yang sangat sangat lapang untuk dapat memanfaatkan. Rasa memanfaatkan yang tulus dan niat untuk bertobat mudah-mudahan dapat diterima oleh Tuhan. Saya tahu memaafkan itu berat, tak semudah membalikkan telapak tangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun