Mohon tunggu...
Deddy Huang
Deddy Huang Mohon Tunggu... Freelancer - Digital Marketing Enthusiast | Blogger | Food and Product Photographer

Memiliki minat di bidang digital marketing, traveling, dan kuliner. Selain itu dia juga menekuni bidang fotografi sebagai fotografer produk dan makanan. Saya juga menulis di https://www.deddyhuang.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Melihat Tradisi Ziarah Orang Tionghoa, Ceng Beng

31 Maret 2019   15:01 Diperbarui: 31 Maret 2019   16:26 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari tanah kembali ke tanah
Dari debu kembali ke debu
Dari orangtua kembali kasih pada anak

Ada dua tempat di dunia ini yang tidak saya suka untuk datang. Rumah sakit dan tempat pemakaman. Dua tempat yang meninggalkan kenangan sebuah perpisahan dan kesedihan. Seberapapun kita menjaga diri, dalam hidup, dua tempat ini pasti akan kita lewati prosesnya.

Pagi ini cukup mengantuk kelopak mata saya untuk terbuka. Gravitasi dari kasur lebih kuat. Saya sudah harus pergi lebih awal ke tempat pemakaman umum dekat rumah. Mengapa lebih awal sebab semakin tahun semakin ramai orang berziarah.

Dalam etnis Tionghoa, kami mengenal Qing Ming atau lebih dikenal sebagai Ceng Beng. Ceng Beng menjadi suatu tradisi turun temurun untuk ziarah tahunan. 

Hari Ceng Beng biasanya jatuh pada tanggal 5 April untuk setiap tahunnya selepas Imlek. Tetapi, seminggu sebelumnya juga sudah bisa berziarah atau nyekar. Selepas ziarah di makam, biasanya akan datang ke kelenteng untuk berdoa kembali kepada para dewa. Di Palembang, Kelenteng Chandara Nadi ramai dikunjungi sebagai kelenteng tertua di Palembang.

Makam leluhur
Makam leluhur

1

Aneka persembahan saat ziarah
Aneka persembahan saat ziarah

3

Kerabat keluarga kembali pulang untuk berkumpul
Kerabat keluarga kembali pulang untuk berkumpul
Warga Tionghoa biasanya akan datang ke makam kuburan orang tua atau leluhur untuk membersihkannya dan sekalian bersembahyang di makam sambil membawa buah-buahan, kue-kue, makanan, uang kertas, serta bunga. Kalian bisa intip tata cara orang Tionghoa bersembahyang di sini. 

Persembahan yang dibawa sebagai bentuk perantara cara kami berkomunikasi. Tradisi ini sudah saya ikuti dan belajar dari kecil. Di setiap kubur, di atasnya disebarkan kertas perak atau kuning setiap kali selesai dibersihkan sebagai tanda makam telah dikunjungi oleh keluarga mereka. Selesai berdoa maka uang kertas perak dan kuning nantinya akan dibakar.

Uang kertas perak yang habis dibakar
Uang kertas perak yang habis dibakar
Memaknai Ceng Beng ini sendiri agar supaya semua kerabat dekat, saudara, anak-anak, bisa berkumpul bersama, agar hubungan semakin erat terjalin. Ketika orang yang dituakan sudah pergi lebih dulu meninggalkan kita, biasanya harmonis keluarga akan renggang karena sudah tidak ada yang dituakan kembali. 

Salah satu makam yang mewah
Salah satu makam yang mewah

Ceng Beng membawa pesan untuk kita yang masih hidup dapat mengenang walau hanya satu tahun sekali bertamu. Setidaknya untuk keluarga inti kita. Keluarga besar saya, sudah banyak yang tidak di Palembang. Ada juga muslim, meski sudah berbeda agama atau kepercayaan, bukan berarti mereka lupa. Terkadang mereka juga ikut datang ke makam untuk membantu.

Ziarah ke kuburan orang tua tidak ada hubungannya dengan "memuja setan". Semua bisa menyesuaikan sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Dewasa ini, tanah makam kuburan sudah semakin mahal dan sulit dicari. Orang-orang yang mampu biasanya akan menandai tanah mereka sebagai batas kepunyaan mereka. 

Ada anggapan semakin bagus makam maka semakin tinggi strata sosial mereka. Jangan heran kalau kadang harga untuk renovasi makam bisa seharga sebuah rumah atau mobil. Selain itu juga bisa menjadi patokan untuk mengetahui letak makam, misalnya makam ayah saya bertetangga dengan salah satu makam orang kaya lama Palembang.

Mahalnya tanah makam membuat orang sudah tidak melakukan pemakaman dengan cara dikubur, melainkan dikremasi dan abunya dilarung ke laut atau sungai. Cara ini sekilas lebih praktis karena tidak perlu repot datang ke Ceng Beng bagi keluarga mereka di luar kota. Tidak perlu memikirkan biaya pesawat yang melambung tinggi. Namun, esensi datang ke leluhur atau orang tua sudah hilang dan berganti mengenang mereka lewat ingatan dan kenangan.

Walau di rumah, kami juga membuat altar untuk ayah saya. Tapi pagi ini tanpa kuasa air mata turun juga menetes ketika saya datang ke makam ayah saya. Seperti bisa bercerita langsung dengan beliau. Berkeluh kesah dan meminta restu dari orangtua.

Ada yang berpendapat bahwa jika sudah masuk agama tertentu, sudah tidak perlu sembahyang ataupun sekedar untuk datang ke kubur orang tua, karena akan dianggap berhala. Namun, tanpa orang tua, kita yang masih hidup tidak mungkin bisa ada di dunia tanpa jasa mereka.

***

Salam,

Kompal
Kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun