Ibu berkata kalau telok ukan ini bentuk dan rasanya unik. Tidak banyak penjual telok ukan di Palembang, bisa jadi makanan ini sudah hampir punah. Hanya bisa ketemu saat 17 Agustus saja.
Mataku melirik ke kakak melihat kedua tangannya sedang mengocek telok ukan dan mengeluarkan isinya. Tiba-tiba satu suapan masuk dalam mulutku sewaktu aku masih menolak untuk memakan telok ukan. Aku langsung membungkam mulut dengan kedua tangan. Ingin rasanya mengeluarkan kembali suapan itu keluar, namun cepat langsung ditahan oleh kakak.
"Enak?" Aku mengangguk perlahan. Hingga tanpa sadar suapan terakhir masuk dalam mulutku adalah telok ukan terakhir.
Kemana Rindu Membawa?
Keluargaku bukan keluarga yang besar. Ramadan dijalani normal seperti biasa. Hanya saja ayah sering berpesan kalau Ramadan bukan saja harus menahan haus dan lapar. Ada pengalaman spiritual yang harus selalu dikejar. Aku melihat ayah dan kakak sedang mengambil wudhu. Malam itu kami sholat berjamaah di ruang tamu. Ayah menjadi iman bagi kami.
Duduk sebelahan dengan ayah membuat tubuhku hangat. Mungkin itulah sifat anak bungsu yang sulit lepas dari kata manja. Malam itu ayah membenarkan posisi duduknya di sofa. Aku sedang membaca buku sedangkan kakak menonton televisi. Terlihat ada yang ingin ayah sampaikan kepada kami sambil dia mengelus dada kirinya. Namun, aku diam tak mengubris. Ibu masih tampak asyik di dapur untuk menyiapkan sahur kami.
Ayah sangat hebat dengan kesibukannya tetap mampu menggaransi bahwa anaknya akan selalu rindu terhadapnya. Dalam satu bulan bisa saja ayah berangkat.
"Ayah kenapa?" tanyaku.
"Eng.. oh tidak apa-apa," seru ayah langsung masuk ke dalam kamar. Sekejap aku melihat bayangan ayah menghilang membelakangi diriku dengan punggung. Pundaknya lebar membuatku betah untuk bersandar.
Ayah dengarkanlah...
Aku ingin berjumpa...