Mata saya tak bergeming melihat Sang Merah Putih ditiup angin. Kami sedang di tengah laut bekas sisa badai ombak. Cakrawala biru laut memang tiada tandingan. Kapal yang kami tumpang adalah milik toke kapal dan tidak ada subsidi sehingga jadwal keberangkatan dalam satu minggu hanya ada dua kali berangkat dari dan menuju Banda Neira.Â
Banda Bikin Rindu
Saya diceritakan oleh Pak Agil, pemandu wisata lokal setempat mengenai Banda Neira. Pulau kecil di tengah lautan Banda ini menyimpan banyak sisa sejarah penjajahan bangsa Eropa di Indonesia. Konon, satu karung pala bisa untuk membangun istana megah. Â
Tidak butuh waktu lama untuk berkeliling Banda Neira. Namun akan butuh waktu lama belajar sejarah Banda Neira dan Maluku. Ini tahun kedua saya menjejakkan kaki di tanah Maluku. Ketika tahun lalu pergi ke Tidore, saya dibuat kagum dengan sejarah dan budaya setempat. Rindu itu tak tahu diri. Datang kadang tak mengetuk itulah yang saya rasakan terhadap Banda Neira.
Mengagumi Banda Neira
Masuk dalam rumah yang pernah dihuni oleh tokoh penting Indonesia apa yang dicari? Saya merasa banyak kenangan tersimpan. Di tiap lemari kayu, masih tersimpan benda-benda peninggalan mereka seperti pada rumah Bung Hatta ada sepasang sepatu, kacamata dan jas serta tempat tidur Bung Hatta dengan seprai putih serta kelambu. Di belakang rumah ada ruang-ruang kosong yang dijadikan sebagai kelas tempat Bung Hatta mengajar, serta papan tulis yang masih terbaca bekas tulisan Hatta "Sedjarah Perjoeangan Indonesia Setelah Soempa Pemoeda di Batavia Pada Tahun 1928". Perasaan senang bercampur sedih saat berada di tempat salah satu naskah proklamator ditulis.Â
Banda Neira tidak cuma memiliki sejarah yang mengagumkan serta kearifan lokal yang sulit dilupakan. Walau warga lokal pemalu, tapi mereka baik. Datang ke Banda Neira memang tidak boleh melewatkan untuk menikmati akuarium bawah laut Banda. Selama satu hari kita bisa menikmati island hopping mulai dari Pulau Hatta yang terkenal dengan habitat penyu, Pulau Rhun, Pulau Ay atau Pulau Nailaka. Hingga sekarang saya masih hampir tidak percaya membayangkan ketika Belanda rela menukarkan Manhattan dengan Pulau Rhun kepada Inggris. Semuanya demi menguasai Pala.
Berburu Asida Sampai ke Pelosok Pasar
"Ada nasi kuning, tapi Banda itu agak sulit karena sampai sekarang pasokan bahan makanan masih disesuaikan sama jadwal kapal," jawaban Pak Agil membuat saya jadi ingat ketika saat membeli nasi kuning untuk sarapan pagi di rumah warga. Sang penjual meminta maaf pada saya karena tidak ada telur karena kapal belum tiba ke Banda.
"Tapi ada namanya Asida, itu makanan khas Maluku yang biasanya ada pas puasa," lanjut Pak Agil dan berhasil membuat saya penasaran untuk mencari Asida sampai saya kembali ke Ambon. Saya selalu bertanya ke warga lokal di mana tempat mencari penjual Asida.
Konon, kue Asida yang merupakan jajanan khas Maluku dan terpengaruh budaya Arab ini memiliki rasa yang unik. Warna kue merah kecokelatan yang dulunya berasal dari kandungan kurma. Hanya saja sekarang demi menghemat biaya pembuatan diganti dengan gula aren. Di atas kue Asida dilumuri mentega cair agar rasa gurih manis. Membayangkannya saja sudah membuat saya menahan liur.
Akhirnya, saya bertemu satu toko kue di Ambon yang menjual aneka kue tradisional. Saya khilaf dan memesan semua kue khas Maluku termasuk asida! Bisa kalian bayangkan bahagianya saya dapat menemukan harta karun berupa kuliner lokal ini bukan.
"Ini apa mbak? Kalau ini? Ini... ini.. baiklah saya mau semuanya, termasuk Asida ya!" seru saya sekaligus memesan aneka jajanan tradisional Maluku.
Tuhan bawa saya seperti ke surga makanan, penuh nikmat tanpa kompromi dengan perut saya habiskan sendiri. Sempat berpikir sambil makan, mengapa Asida ini agak jarang dijumpai dan identik Ramadan? Mungkin, dengan aura padang pasir jadi dodol arab ini lebih afdol hadir tiap bulan suci. Ingin sekali saya jumpa penjual asida dan mengucapkan terima kasih karena telah menjadikan asida sebagai makanan unggulan Maluku di bulan Ramadan.
Lalu, saya baru sadar ketika kembali ke Palembang. Hanya foto asida saja saya lupa untuk difoto. Sungguh orang macam apa saya ini. Di saat orang-orang foto makanan terlebih dahulu, justru saya memfotonya saja lupa karena daya tarik asida begitu sedap untuk segera dimasukkan ke mulut.
Ah.. andai ada penjual asida di Pasar Bedug Palembang atau haruskah saya kembali lagi ke Maluku untuk berjumpa penjual asida?
Baca tulisan saya seri THR Ramadan lainnya. Klik disini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H