Mohon tunggu...
Gina RoudotulJannah
Gina RoudotulJannah Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Uin Sunan Gunung Djati Bandung

hobi saya memasak dan membuat video tutorial di tiktok

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pagi di Pegangsaan Timur

1 Juli 2024   23:35 Diperbarui: 1 Juli 2024   23:46 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mentari pagi baru saja menyembul di ufuk timur, mengusir gelap malam yang panjang. Udara Jakarta terasa hangat, menghembuskan aroma semangat dan harapan di tengah kegelisahan rakyat yang mendamba kebebasan. Di sebuah rumah sederhana di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, para tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia tengah berkumpul, mempersiapkan momen yang akan mengubah nasib bangsa.

Soekarno, yang akrab disapa Bung Karno, duduk di ruang tamu dengan tatapan penuh tekad. Di sampingnya, Hatta, rekan seperjuangan yang setia, mengamati sekeliling dengan raut wajah yang tenang namun tegas. Pagi itu, 17 Agustus 1945, mereka berdua telah memutuskan untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia, sebuah langkah yang sudah lama dinantikan.

Di luar rumah, ratusan rakyat berkumpul, menunggu dengan penuh harap. Mereka datang dari berbagai penjuru kota, membawa semangat yang sama, yakni kemerdekaan. Di antara kerumunan, tampak seorang pemuda bernama Sigit yang berdiri dengan penuh semangat. Ia mengenakan baju putih sederhana dengan kain merah yang melilit di lehernya. Bagi Sigit, hari ini adalah puncak dari perjuangan yang selama ini ia dukung dengan segenap hati.

Ketika waktu menunjukkan pukul 10 pagi, Bung Karno dan Bung Hatta keluar dari rumah. Dengan suara lantang dan penuh semangat, Bung Karno memulai pembacaan teks proklamasi. Setiap kata yang terucap menggema di udara, merasuk ke dalam jiwa setiap orang yang hadir.

"Proklamasi! Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun 05, atas nama bangsa Indonesia, Soekarno/Hatta."

Suasana hening sejenak setelah teks proklamasi selesai dibacakan, sebelum akhirnya pecah menjadi sorak-sorai penuh suka cita. Air mata bahagia mengalir di pipi banyak orang, termasuk Sigit. Ia merasakan sebuah kebanggaan dan kebahagiaan yang tak terbendung. Kini, Indonesia merdeka, bebas dari penjajahan yang telah berlangsung selama ratusan tahun.

Setelah proklamasi, bendera Merah Putih dikibarkan dengan penuh kehormatan. Bendera itu berkibar megah di langit Jakarta, menjadi simbol kebanggaan dan kedaulatan bangsa. Sigit ikut serta dalam upacara pengibaran bendera, merasakan getaran kebanggaan yang luar biasa saat bendera itu naik perlahan-lahan.

Hari itu, 17 Agustus 1945, menjadi awal dari babak baru dalam sejarah Indonesia. Pagi di Pegangsaan Timur menjadi saksi bisu dari keberanian dan keteguhan hati para pahlawan bangsa yang dengan tegas memproklamasikan kemerdekaan. Dan bagi Sigit, serta jutaan rakyat Indonesia lainnya, hari itu akan selalu dikenang sebagai hari di mana mimpi tentang kebebasan akhirnya terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun