Mohon tunggu...
Ety Supriyatin
Ety Supriyatin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembaca

Menulis apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. â– JUST BE MYSELFâ– 

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Demi Orang Tua, Rela Dijodohkan

14 November 2022   19:27 Diperbarui: 15 November 2022   06:03 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Memulai kehidupan baru berumah tangga haruslah atas dasar saling mencintai antara keduanya. Sebuah pernikahan seharusnya didasari dengan rasa kasih sayang. Bagaimana akan saling menyayangi dan mengasihi kalau pondasinya sebuah cintapun tak pernah ada. Lalu, siapa sih yang mau menjalani pernikahan tanpa dasar rasa cinta? Tentu tak ada. Begitu juga dengan Sari, hatinya berontak tak ingin menjalani pernikahan yang sudah di depan mata. Sama sekali tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau dirinya dijodohkan dengan laki-laki yang belum diketahui karakter dan sifatnya. Tepatnya dia nggak ada rasa cinta untuk memasuki dunia baru, pernikahan yang dipaksakan!

Meskipun hatinya berontak, apa yang mau diperbuat untuk menghindari perjodohan oleh orang tuanya, hingga berhari-hari Sari belum menemukan jawaban. Tragisnya, kabar bahwa dia dijodohkan justru diketahui dari tetangga sebelah.

"Asiknya yang mau nikahan..." begitu kata bu Isah saat ngobrol-ngobrol di dekat pagar perbatasan depan rumah mereka.

"Lhoh, siapa bu yang mau nikahan?" tanya Sari kaget.

"Masa kamu nggak tahu mbak?" bu Isah malah balik tanya. Lalu tanpa merasa berdosa  diceritakannya semua yang didengar dari ibunya Sari sendiri. Sari mendengarkan hingga selesai meskipun jiwanya terguncang. Kakinya ingin cepat-cepat berlari masuk ke rumah meninggalkan bu Isah sendirian.

"Baiklah bu Isah, terimakasih infonya, saya permis mau masuk dulu..." kata Sari mengakhiri obrolan. Dan bu Isahpun pamitan masuk rumah.

Baca juga: Aku Perempuanmu

Di kamar Sari menangis sendirian. Rasa sedih, kecewa dan marah jadi satu. Dia bingung mau berbuat apa. Menanyakan pada ibunya tentang cerita yang baru saja dia dengar? Atau mau langsung minggat dari rumah? Bingung, pusing! Sari menjambak rambutnya sendiri dengan kedua tangannya. Diremas-remas kepalanya ingin sekali membenturkannya ke tembok. Sesekali dia bengong dan menyeka air matanya. Hingga menjelang petang dia berada di kamar sambil terus mengucurkan air mata. Ibunya menyuruh makanpun dia jawab masih kenyang.

Malam harinya, Sari nekat menanyakan pada ibunya, dia hanya butuh jawaban betul atau tidak yang disampaikan bu Isah. Ternyata benar, semua yang diceritakan bu Isah pada dirinya sama persis dengan yang disampaikan ibunya. Siapa orangnya yang akan menjadi calon suaminya sampai tanggal pernikahannya, membuat Sari tak percaya. Kali ini Sari hampir menjerit dan protes berat pada keputusan ibunya yang dirasa hanya sepihak. Tanpa ditanyakan dulu padanya, mau atau enggak menikah. Dengan orang yang dimaksud. Dalam jangka pendek pula. Segampang itukah proses menjalani sebuah pernikahan? Semudah itukah membangun rumah tangga tanpa dasar cinta? Lalu apa yang harus dilakukan jika ingin keluar dari masalah terberat itu?

Sari masuk ke dalam kamar setelah pamitan pada ibunya. Perasaan yang tidak menentu membuat rasa kantuknya hilang. Gelisah, kacau, dan shock berat. Air matapun seperti sudah habis. Kalaupun mau menangis sejadi-jadinya juga tak ada gunanya lagi. Keputusan ibu yang tentu atas dasar musyawarah dengan ayahnya, sudah tidak mungkin dirubah lagi.

Baca juga: Biarkanlah

Mau mengadu sama siapa, nggak ada untungnya. Percuma. Mau minggat kemana? Nggak ada teman sekolahnya dulu yang bisa dimintai tolong. Mereka tinggal di kota-kota besar jauh dari  kampungnya. Setelah lulus sekolah, teman-temannya saling berpencar mencari pekerjaan dan melanjutkan kuliah.

Sari berpikir keras. Otaknya seolah diperas. Bahkan sempat terlintas ingin mengakhiri hidup.

Tapi dia teringat kedua orang tuanya. Ada rasa sakit ketika harus berpisah sebelum membahagiakan orang tua. Dan kapan lagi waktunya untuk bisa membuat orang tuanya bahagia. Menolak perjodohan, sama saja membuat mereka kecewa. Marah-marah pada orang tua, dia nggak mau dicap sebagai anak durhaka. Melarikan diri dari rumah, rasanya nggak mungkin membuat geger  warga dan mempermalukan keluarga. Bunuh diri juga tidak menyelesaikan masalah di dunia. Bahkan urusan sampai di akhirat.

Kapan lagi kalau tidak sekarang membuat orang tua bahagia. Lagi-lagi pertanyaan itu yang muncul dalam pikiran Sari. Hingga menjelang pagi, dia mendapatkan jawaban sendiri. Niat hati untuk  mengikuti kemauan ayah dan ibunya. Rela dijodohkan. Menikah dalam waktu dua minggu lagi.

Sesaat Sari terlelap dengan wajah sedih namun tekad yang kuat demi kebahagiaan kedua orang tua yang dicintainya.

#docJay

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun